Senin, 05 Mei 2014

Renungan Kematian

Setiap orang diberi jatah waktu. Yang namanya makhluk ya begitu, akan ada saatnya ketika ia kembali tiada, karena yang kekal hanya Penciptanya. Beberapa hari yang lalu, teman seangkatanku dipanggil oleh-Nya, batas waktunya hidup di dunia telah habis. Kejadian ini membawaku ke dalam renungan tentang kematian (lagi). Bahwa ternyata hidup bisa saja sesingkat itu. Belum sempat mencari pekerjaan, belum sempat menikah, belum sempat meraih mimpi-mimpi, bahkan usia pun belum sampai pada seperempat abad. Padahal yang kebanyakan orang pikirkan saat ini mungkin hal-hal seperti itu. Pusing karena belum dapat panggilan dari perusahaan yang dilamar, galau karena keinginan menikah yang membuncah sementara belum dipertemukan dengan jodohnya, ada pula yang sedang jatuh bangun mati-matian mewujudkan impian dan cita-citanya. Semua orang sibuk dengan rencana masa depan mereka.

Terkadang aku pun terlalu sombong dengan menganggap bahwa hidupku akan lama, terlalu percaya diri bahwa aku akan sempat melakukan banyak hal yang aku inginkan. Padahal faktanya, bisa jadi kematian yang lebih dahulu menjemput, dan rencana-rencana tersebut tidak sempat diwujudkan. 

Bagaimana dengan rencana pulang ke kampung akhirat? Seserius apa kita merancangnya? Kita semua sedang menunggu giliran kematian kita. Sempatkah terpikir, di giliran keberapa kita akan dipanggil oleh-Nya? Hari ini mungkin giliran orang lain, tapi besok? Yakinkah bahwa besok jatah waktu kita masih ada? Jangankan besok, detik setelah ini kita masih hidup pun tidak ada yang bisa menjamin.

Mari, sama-sama menyiapkan diri menghadapinya. Karena bisa jadi, tau-tau sudah tidak ada hari esok untuk kita..

Jumat, 02 Mei 2014

Pagi-pagi udah kangen

Sang Detik

Kubertanya pada detik kesekian..
Sedang apa diriku?
Detik terdiam..

“Lihatlah dirimu sendiri!”
Coba tersenyum dan coba lagi tersenyum
Masih kecut? Coba sekali lagi
Tersenyum...!

Detik berikutnya berpesan
Kalau kau gagal tersenyum hari ini,
Jangan mudah menyerah!
Jangan mudah putus asa!

Detik akan tetap menemanimu
Sampai suatu hari
Melihat engkau tersenyum manis
Matamu berbinar, wajahmu bercahaya
Dan menjawab,
“Hidup itu anugerah!”

- T, 2004 (dari seseorang yang kupanggil Bunda)



Akhir-akhir ini aku selalu bermimpi di pagi hari, beberapa saat sebelum bangun tidur. Sehingga ketika aku bangun, rekaman mimpi-mimpi itu masih teringat jelas olehku (walaupun beberapa menit kemudian lupa, haha).

Tapi pagi tadi, ada seseorang yang sangat kurindukan, hadir dalam mimpiku. Seseorang yang kupanggil Bunda. Dia bukan ibuku, tapi kupanggil dia Bunda karena sudah kuanggap seperti ibu keduaku, walaupun sekarang sudah jarang sekali bertemu (ini bagian sedihnya, hiks hiks).

Lalu kenapa? Itu hanya mimpi. Oh, tidak, itu bukan mimpi biasa. Itu mimpi yang istimewa karena di dalam mimpi itu Bunda memelukku. Pelukan yang menenangkan tapi juga menguatkan. Kami berputar-putar pelan sambil berpelukan, tidak peduli dengan banyaknya orang yang menonton. Dia berbisik kepadaku. Sayangnya aku lupa apa yang dia katakan, aku hanya ingat, kata-kata itu sangat menenangkanku, bahkan ketika aku sudah bangun.

Ah, aku jadi kangen.

Mari kuceritakan sedikit tentang siapa itu Bunda.

Dia adalah orang pertama yang menumbuhkan kedewasaanku saat aku masih bertingkah seperti anak kecil. Waktu itu aku masih SMP, dan aku ga ada dewasa-dewasanya, sampai aku terbiasa menyetorkan buku harianku kepadanya dan dia membalasinya. Itu adalah awal mula kebiasaanku menulis, dan awal dari kedewasaan yang aku bangun secara sadar.

Ngomong-ngomong soal diari, diari itu seperti cermin yang menunjukkan secara jujur seberapa baik atau buruknya dirimu. Diari juga menunjukkan seberapa dewasa pemikiranmu lewat kalimat dan paragraf yang kau tulis. Itulah kenapa aku bilang menulis diari adalah awal dari kedewasaan yang aku bangun secara sadar. Karena aku baru sadar betapa kacrutnya aku ketika aku melihat “bayangan” diriku dalam diari. Hahaha!

Ah, aku jadi kangen menyetorkan lagi diariku kepadanya. Diari-diari itu masih kusimpan dengan rapi. Yang kadang-kadang kubaca kalau lagi kangen. Dan aku kangen dipanggil “kejora” olehnya. Bersinarlah seperti bintang kejora, begitu katanya. Aku suka sekali panggilan itu.

Terakhir kali kami bertemu, tanggal 20 Juli 2011. Sudah lama sekali ya? Setelah lama tidak bertemu, kalimat pertama yang Bunda katakan adalah, “Masih suka nulis, Na?” Glek. Aku memang sudah lama tidak menulis lagi sejak kuliah, paling hanya beberapa tulisan untuk blog. Gara-gara pertanyaan itu akhirnya aku langsung beli buku harian dan mulai menulis lagi. Hari itu juga. Haha.

Dia adalah orang yang menyuntikkan semangat optimisme di tengah-tengah pikiranku yang saat itu (saat SMP) penuh dengan pesimisme dan hal-hal negatif. Dia yang menyemangatiku dan mengajarkanku untuk berani ketika aku takut melakukan sesuatu. Dia yang menumbuhkan sisi kelembutan dari diriku yang saat itu sulit sekali mengontrol emosi. Dan masih banyak lagi jasanya untukku.

Bundaaaa kangen banget iiih.. Makasih udah mampir ke mimpi aku dan peluk akuuu.. Semoga Bunda dan keluarga sehat-sehat semua dan selalu dalam perlindungan Allah.. Semoga anak-anak Bunda jadi anak yang sholeh dan sholehah.. Aamiin..


P.S : Maafkan aku karena terlalu bodoh untuk selalu kehilangan nomor HP-mu. Huhu..