Sabtu, 07 Desember 2019

Pijit

"Neng pijitin Aa dong, Aa pegel banget nih," pinta suami di suatu malam.
Aku yang seharian pergi dari pagi dan pulang malam hari, langsung memelas, "Ih aku juga capek tau seharian ini kan aku pergi, pegel-pegel badan aku juga.."
"Aa dulu pijit aku.." lanjutku.
"Ga mau ih, pijitin aa atuh.."
"Iya aku mau pijitin aa, tapi aa pijitin aku dulu biar aku ada tenaga buat pijitin aa.."
Hahaha, tapi suami tetap bersikeras ga mau pijitin aku duluan. Lalu akhirnya perdebatan kami berakhir dengan tidak ada yang saling memijit. XD
Maafkan aku yang sudah terlalu lelahh :') 

Sabtu, 30 November 2019

Grabwhat?

Suatu malam, suami tiba-tiba ngomong dari balik gorden.
"Neng, mau kopi ngga"
"Mau"
"Grabfud mau?"
"Mau"
"Yaudah sini atuh"
"Hah?" aku ngga mudeng
"Siniii"
"Ngapaiin?" si gue mager karena lagi rebahan sambil main henpon
"Sini pegang kaki aa"
Itu GRAB FOOT woooy -___-

Selasa, 19 November 2019

Monday Love Letter - Jeda

Bukankah kita membutuhkan ruang jeda untuk memberi makna pada apa-apa yang ada?

JEDA.

Assalamu’alikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Apapun kondisi perasaanmu hari ini, kami berharap surat ini cukup tepat waktu untuk sampai kepadamu sore ini. Kamu tahu, diantara puluhan bahkan ratusan surat yang pernah kami layangkan untukmu, mungkin inilah satu-satunya surat yang paling membuat perasaan kami campur aduk. Di satu sisi kami bagaikan tidak sanggup untuk menuliskannya, namun di sisi lain kami merasa sangat perlu menuliskannya karena ada sesuatu yang ingin kami kabarkan padamu.

Hmm, sulit sekali menuliskannya! Dari mana kami harus memulainya?

Belakangan ini, kami semakin sering bertemu banyak orang, baik dalam kegiatan-kegiatan offline di berbagai kota, kelas-kelas online, atau bahkan pertemuan-pertemuan tanpa sengaja. Sebenarnya, sebagian besar dari kegiatan-kegiatan tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan Sister of Deen Project, namun, nyatanya kegiatan-kegiatan itu seringkali menjadi pintu temu yang mempertemukan kami denganmu, our beloved sister of Deen. Tak jarang kami mendapati cerita dan apresiasi yang bernada sama. Katanya, “Terima kasih sudah menulis Monday Love Letter, sister!”

Entah bagaimana, kami hampir selalu merasa kehabisan kata-kata untuk meresponnya. Sebab, tahukah kamu, siapa yang lebih layak mendapatkan ucapan terima kasih itu? Bukan kami, tapi kamu. Terima kasih karena sudah membersamai dan menerima kami dengan seluruh yang kami miliki atau pun yang tidak kami miliki. Ruang penerimaanmu itu luaaaas sekali, meski kami banyak kurangnya, minim ilmunya, dan … ah, sudahlah. Jazakillah khairan katsir, ya!

Dengan keberanian yang rasanya tak kunjung cukup, hari ini kami ingin menyampaikan sesuatu kepadamu, bahwa kami ingin mengambil jeda. Karenanya, barangkali ini adalah surat terakhir sebelum kita bertemu kembali. Di ruang jeda yang sedang kami masuki ini, kami tidak bermaksud pergi atau berlari agar dicari, juga tidak sedang iseng bersembunyi agar ditemukan. Kami hanya sedang memperbaiki segala sesuatu yang tersembunyi seraya berjalan di jalan-jalan sunyi untuk memberi makna pada apa-apa yang sedang belajar kami maknai.

“Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkan ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang?” – Dee Lestari

Bagaimana pun, kami memahami bahwa tak ada seorang pun yang nyaman dengan perpisahan, tapi kita juga tidak dapat selalu bergantung pada kebersamaan. Mohon doanya, kami berharap agar kami dapat memanfaatkan waktu dan ruang jeda dengan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan apa-apa yang telah dimulai dan memperjuangkan apa-apa yang lebih dari sekedar layak untuk diperjuangkan.

Selama kami sejenak tak ada, semoga tak terlepas jiwamu dari mengingat dan menghamba kepada-Nya. Selesaikan juga urusan-urusanmu dengan sebaik-baiknya, semoga Allah memudahkan senantiasa. Sampai bertemu Januari 2020, insyaAllah. Baarakallahu fiik.

Yang pergi untuk kembali,
Your sister of Deen,

Novie Ocktaviane Mufti dan Husna Hanifah

Selasa, 12 November 2019

Sang Maha Romantis yang Senang Disebut Nama-Nya

Malam ini, nggak sengaja buka OneNote di laptop. Disitu ada Page judulnya 'Books to Buy'. Isinya wishlist buku-buku yang aku pengen. Banyak banget, berderet. Ada lebih dari 20 judul buku yang aku tulis disitu. 

Deretan judul buku yang ingin aku miliki itu, pertama kali aku tulis di tanggal 16 Desember 2018. Masih inget banget, bikin wishlist itu karena saat itu lagi banyak buku bagus yang aku ingin beli tapi uang aku nggak cukup untuk beli semuanya. Awalnya cuma 4 buku, yang kalau ditotal sekitar 500ribuan. Sayang aja gitu kan, duit segitu keluar buat beli buku sementara keperluan rumah tangga juga kan banyak. Ternyata setelah aku list semua buku yang ingin kubeli, malah nambah totalnya jadi 20-an buku.

Di titik itu, bisa apa lagi aku, selain minta sama Allah. Iseng-iseng, di sebelah deretan wishlist bukuku itu, aku nulis:

Yaa Wahhab yang Maha Memberi,,
Yaa Razzaq yang Maha Memberi Rezeki,,
Yaa Fattaah yang Maha Pembuka,,
Yaa Mujiib yang Maha Memperkenankan,,
Yaa Barru yang Maha Dermawan,,
Yaa Ghaniyy yang Maha Kaya,,
Yaa Mughniiy yang Maha Mencukupi..
Pengen beli buku ya Allaaaah :''''')
Pengen gitu kalau mau beli buku teh nggak usah mikir XD :''')

Berdoa sambil menyelipkan nama-nama Allah yang kira-kira nyambung sama keinginanku untuk dilapangkan hartanya, simply karena ingin bebas buat beli buku tanpa mikir :')
Receh banget emang keinginannya, tapi waktu itu tuh beneran sepengen ituu! XD

Lalu hari ini, hampir setahun setelahnya, aku baru ngeh kalau 6 buku diantaranya udah kebeli.. Dan otw 3 buku lagi juga sudah masuk rencana akan dibeli bulan depan (karena bulan november ini aku udah beli 4 buku, haha).

Jadi, kalau dipikir-pikir, Allah ternyata beneran ngabulin keinginan aku ituuu! Entah bagaimana, pelan tapi pasti, pintu-pintu rezeki tiba-tiba pada kebuka aja gitu satu-satu. Sampai-sampai aku bisa nggak mikir untuk beli minimal 2 buku setiap bulannya. Uang bulanan yang awalnya harus aku irit-irit dan harus bener-bener ngatur cashflow, sekarang jadi sangat lebih dari cukup.

Mungkin, itu salah satu keajaiban Asma'ul Husna. Seorang guru pernah bilang, kalau minta sesuatu itu, "panggil" Allah-nya. Sebut nama-Nya. Kalau ingin diberi rezeki, panggil Allah-nya Yaa Razzaq.. Ingin dipermudah urusan, sebut Yaa Fattaah.. Jadi aku aplikasikan deh. 

Manusia aja senang kalau diingat dan disebut namanya. Mungkin Allah juga begitu. Akan lebih ngena kalau kita berdoa sambil menyebut nama-nama Allah. Konon, para Nabi juga ketika berdoa sering menyebut nama Allah didalam doanya. 

Malam ini, aku merasa bersyukur sekali karena ternyata diam-diam Ia mengabulkan doaku yang bahkan aku sudah lupa pernah meminta hal itu pada-Nya. Emang Maha Romantis Allah tuuh :')

Malam ini, dengan segala kerendahan hati, aku kembali membuka deretan nama-Nya yang tertulis dalam mushaf Quran milikku. Aku tulis lagi nama-Nya satu per satu. Kali ini bukan tentang buku. Tapi tentang harapanku yang lain, tentang satu doaku yang masih Ia tahan. Berbeda dengan doa-doa yang selama ini kupanjatkan, kali ini, aku meminta dengan menyebut beberapa nama-Nya..

Yaa Rahmaan Yang Maha Pengasih,,
Yaa Rahiim Yang Maha Penyayang,,
Yaa Qudduus Yang Maha Suci,,
Yaa Muhaimin Yang Maha Memelihara,,
Yaa Jabbaar Yang Maha Kuasa,,
Yaa Mutakabbir Yang Maha Memiliki Kebesaran,,
Yaa Khaliiq Yang Maha Pencipta,,
Yaa Baari' Yang Maha Mengadakan,,
Yaa Mushawwir Yang Maha Membuat Bentuk,,
Yaa Samii' Yang Maha Mendengar,,
Yaa Wahhaab Yang Maha Pemberi,,
Yaa Mujiib yang Maha Memperkenankan,,
Yaa Waarits Yang Maha Mewarisi,,
Ya Allah, izinkan aku menjadi seorang ibu..

Senin, 11 November 2019

Sakit

Suatu hari, aku sakit flu dan demam.
Aku: Aa, aku sakit nih.
Suami: *pegang dahi dan tangan buat ngecek suhu* ih iya, panas neng badannya..
Aku: *pasang muka tak berdaya*
Suami: Sini sini tangannya ke punggung Aa-in neng, enak anget.. 
Aku: -____-

Monday Love Letter #66: Stress-Free, Mungkinkah?


Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!
Ada candu pada setiap kesempatan menulis surat untukmu. Candu itu berisi kerinduan, semangat untuk menceritakan hal-hal baru terkait kehidupan, juga tentunya kesempatan terbaik untuk terlebih dahulu menasehati diri sendiri sebelum menasehati orang lain. Jika misalnya suatu hari nanti surat ini terhenti dan berjeda, akankah kita sama-sama bersedia untuk menukar rindu dengan selaksa doa-doa?

Bagaimana kabar hatimu hari ini? Kami dengar, katanya kamu sedang merasa seperti berada di tengah-tengah keriuhan, ya? Mungkin, rasanya seperti seseorang yang berjalan dengan tenang menyusuri labirin-labirin, namun ternyata bertemu dengan sebuah pagelaran orkestra yang, alih-alih terdengar syahdu dan memanjakan telinga, suara-suaranya malah bising dan memekakkan telinga. Atau, seperti tidurmu terganggu oleh suara-suara petasan dan kembang api pada malam tahun baru. Ah, riuh sekali! Seperti ingin pulang saja, namun entah kemana. Bukankah begitu?

Sisterku sayang, bolehkah aku memelukmu dulu sebentar? Dalam pelukan itu, aku ingin membisikkan sesuatu, bahwa dunia ini memang sedemikian riuhnya. Betapa tidak, bukankah dunia memang didesain sebagai ruang kelas raksasa dimana kita diuji untuk membuktikan keimanan kita kepada-Nya? Maka, wajar kiranya jika ia terasa riuh, sebab, diantara keriuhan itu kita sedang diminta berjuang melewati halangan dan rintangan, bertahan meski banyak hal terasa menyesakkan, bergantung pada sebaik-baik sandaran, dan tentunya menjadikan semua keriuhan itu sebagai ladang subur untuk kita memanen sebaik-baik bekal kepulangan.

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” – QS. Al-Ankabut : 2-3

Mendapat ujian adalah sebuah keniscayaan, kita jelas tak punya kuasa untuk menangguhkan atau berlari dari padanya. Apapun bisa terjadi tanpa kita duga, seringnya bahkan yang tak kita suka, hingga mungkin terbersit di benak kita, “Allah, belum cukupkah Engkau mengujiku dengan yang sebelum-sebelumnya? Kali ini, benarkah Engkau memintaku untuk berjuang lagi? Rasanya, energiku bagaikan sudah habis, aku harus bagaimana lagi?”

Stress! Mungkin itulah satu kata yang tepat untuk menggambarkan hari-hari kita belakangan ini. Selayaknya manusia, tak pernah ada yang merasa nyaman dengan kondisi itu. Inginnya segera terbebas, terlepas, melesat landas pada apa yang kita kira kebahagiaan. Bukankah begitu? Namun, sayangnya, hidup tanpa masalah itu adalah sebuah kemustahilan. Stress-free itu tidak mungkin terjadi selama kita masih hidup di dunia. Baik itu kebahagiaan atau kesedihan, keduanya sama-sama bentuk ujian yang harus kita menangkan dengan cara menjawabnya dengan sebaik-baik jawaban.

Kabar baiknya, stress jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda adalah rahmat bagi kita. Sebab, tanpa stress kita tidak belajar dan tidak punya ladang subur untuk mendulang pahala kesabaran. Jika kondisi kita selalu baik-baik saja, bagaimana kita menumbuhkan harap kepada Allah? Jika kita selalu bahagia, bagaimana rasa takut kepada Allah bisa hadir di hati kita? Jika semua yang kita inginkan dengan mudah kita dapatkan, bagaimana kita belajar makna berjuang?

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).” – QS. Al-Baqarah : 155-156

Ketika stress datang, semoga kita menerimanya dengan lapang, agar tak lama berpaku tangan dan langsung bergegas kembali pada satu-satunya sumber harapan: Allah. Semangat, sister! Semoga Allah memudahkan apapun yang sedang diperjuangkan, melapangkan apapun yang sedang menyulitkan, dan memberkahimu dengan petunjuk-Nya untuk selalu kembali “pulang.” Baarakallahu fiik.

Your sister of Deen,
Novie Ocktaviane Mufti dan Husna Hanifah

Senin, 28 Oktober 2019

Monday Love Letter #65 - Dimana Rasa Takutku?

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! 

Alhamdulillah tak terasa sudah sampai di penghujung Oktober dan semakin mendekati penghujung tahun 2019. Semoga semangat kita tetap terjaga untuk mengupayakan karya demi karya menjadi sebaik-baik manusia yang bermanfaat. 

Sebelum melanjutkan surat ini, kami mohon maaf karena akhir-akhir ini Monday Love Letter sering terlambat sampai ke emailmu, melebihi jam 16.00 WIB seperti yang pernah kami janjikan. Ada beberapa faktor yang membuat kami kesulitan mengirim surat tepat pada waktunya. Semoga bisa memaklumi dan tetap saling mendoakan. 

Siap berkontemplasi? Mari kita mulai dengan membaca ayat berikut:
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memberi petunjuk." (QS. Az-Zumar (39): 23)

Mungkin kamu pernah membaca ayat tersebut. Dan kita patut bersyukur sebab Al-Quran adalah hal yang begitu lekat di keseharian kita. Kita patut bersyukur sebab kita masih bisa mendengar lantunan bacaan ayat quran dari masjid dekat rumah. Sementara di belahan bumi lainnya, banyak orang-orang yang masih merasa asing dengan Al-Quran. 

Kita patut bersyukur sebab Al-Quran hadir dalam hidup kita, lalu ia menjelma menjadi keyakinan dan keimanan hingga kita merasakan betapa nikmatnya hidayah yang telah kita dapatkan. Kita merasakan betapa Allah sangat menyayangi kita sebab kita adalah  salah satu dari milyaran manusia yang dipilih Allah untuk dekat dengan petunjuk-Nya. 

Sebagai bentuk syukur, kita akhirnya mulai mendalami Al-Quran lebih dalam. Kita mulai memupuk keimanan kita dengan hadir ke kajian demi kajian. Kita memulai lembaran pertemanan yang baru, memperbanyak sahabat dari lingkungan pertemanan yang lebih baik. Kitapun sering berbicara tentang keindahan iman yang singgah di hati kita. Tentang romantisme ukhuwah yang akhirnya kita syukuri.

Tapi apakah di saat yang sama, kita juga merasa gemetar jika kita bersinggungan dengan kemaksiatan? Apakah kita merasa takut kepada Allah saat melakukan perbuatan yang Allah larang? Apakah kita masih santai-santai saja ketika kita melakukan hal yang tidak disukai-Nya?

Seringkali, kita sibuk memupuk keimanan tapi lupa membasmi "hama"nya. Kita sibuk meng-install hal-hal baik kepada diri kita tapi lupa memasang antivirusnya. Kita berjalan menuju Allah tapi ternyata kaki kita yang lain masih terjerat oleh jebakan hawa nafsu dan godaan setan. Hingga tanpa sadar, kita mengotori jiwa yang sudah Allah arahkan kepada kebenaran. Naudzubillah, semoga Allah senantiasa menjaga keistiqomahan kita.

Milikilah rasa takut dan peliharalah rasa malu, sebab keduanya adalah tameng ketika hati kita terkotori oleh niat dan tindakan yang menyimpang. Rasa malu adalah sebagian dari iman, dan takut adalah pangkal dari ketakwaan. Orang yang beriman akan merasa takut kepada Rabbnya jika melakukan kesalahan dan akan merasa malu jika tidak cukup melakukan kebaikan. 

Semoga bukan hanya kebaikan yang kita upayakan, tapi juga dibarengi dengan menghindari keburukan. Semoga bukan hanya keimanan yang kita pupuk, tapi juga rasa takut kepada-Nya. Semoga Allah tidak hanya menunjuki kepada kebenaran, tapi juga memberi perlindungan dari kedzaliman dan kejahiliyahan. 

"Mereka itulah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu dari (golongan) para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang yang Kami bawa (dalam kapal) bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil (Ya'qub), dan dari orang yang telah kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih kepada mereka, maka mereka tunduk sujud dan menangis." QS. Al-Hasyr (19): 58

Ya Allah, lembutkanlah hati kami..

Your Sister of Deen, 
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Monday Love Letter #64 - Menyadari Yang Tak Disadari

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Tak terasa kita sudah memasuki penghujung Oktober. Sejauh ini, Sister of Deen sudah 64 kali mengirim surat ke-inboxmu. Terima kasih banyak sudah setia membaca dan bersabar dengan segala kekurangan dan keterbatasan kami. Alhamdulillah, meski hanya di dunia maya, perasaan bahagia karena punya banyak saudara ini benar adanya.

Sister, tahukah kamu apa masalah penting dan utama yang sering terjadi pada diri kita yang sering terjadi meski tanpa kita sadari? Ialah ketidaksadaran kita terhadap posisi kita di hadapan Allah. Kita sering lupa dan kehilangan kesadaran bahwa kita ini adalah hamba, kita adalah ciptaan-Nya. Sementara, Allah adalah Rabb, yang menciptakan kita dan seluruh alam semesta beserta isinya.

Selayaknya ciptaan dan yang menciptakan, sudah barang tentu bahwa yang menciptakan memiliki kendali penuh terhadap apa yang diciptakannya. Bayangkan saja sesuatu yang sederhana yang sering terjadi pada kehidupan kita sehari-hari, masak misalnya. Bukankah kita sebagai yang memasak punya kendali apapun atas bahan makanan kita? Mau kita masak dengan cara apapun, mau kita satukan dengan bahan makanan yang manapun, bukankah kita berkuasa untuk melakukannya? Analogi lain, bayangkan jika kita adalah seorang pembuat robot. Secanggih apapun robot yang kita buat, bukankah kita yang paling tahu tentang apapun yang berkaitan dengan robot tersebut sehingga kita pulalah yang paling paham tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap robot tersebut? Yup! Begitu pulalah Allah dan kita. Kita tak punya kendali apapun atas diri dan hidup kita, sebab Allah adalah yang menciptakan kita, yang berhak apapun atas hidup kita.

Masalahnya, kesadaran mendasar bahwa kita adalah hamba yang diciptakan-Nya ini seringkali hilang dari diri kita, meski tanpa kita sadari. Ketidaksadaran itu membuat kita seolah memiliki legitimasi untuk melakukan respon apapun atas segala yang telah ditetapkan-Nya.

Yuk, kita telusuri apa yang sering terjadi pada diri! Berapa kali kita protes pada-Nya, “Ya Allah, mengapa harus aku? Mengapa ini yang terjadi?” padahal Allahlah yang Maha Mengetahui, segala takdir yang terjadi telah tepat diukur dan diaturnya agar bisa terpikul dan tertangani. Berapa kali kita menggerutu pada-Nya, “Ya Allah, mengapa aku tidak mendapatkan apa yang sudah aku usahakan? Aku sudah bekerja keras, mati-matian. Mengapa ini yang Engkau berikan?” padahal Allahlah yang Maha Menetapkan hasil akhir, yang tak harus berbanding lurus dengan apa yang pernah menjadi usaha-usaha kita. Berapa kali kita mendikte-Nya, “Ya Allah, aku maunya begini, harus begini ..,” padahal sejatinya kita tak pernah punya daya tawar kepada Allah, untuk menangguhkan kebaikan atau menghindarkan diri dari ujian.

Tak salah lagi, ketidaksadaran kita akan posisi diri dan Allah inilah yang menimbulkan masalah, membuat kita tak berlaku sopan kepada-Nya sebab menganggap segala hal berpusat dari dan pada diri kita. Tentang hal ini, seorang kakak pernah memberi nasehat kepada kami, bahwa sikap seorang mukmin adalah menerima segala ketetapan-Nya, tanpa tawar menawar. Ibaratnya, jika dicelupkan ke tinta merah, menerima; pun jika dicelupkan ke tinta biru, menerima juga. Diberi kondisi apapun, penerimaan dalam bingkai ketaqwaanlah yang menjadi responnya.

Tanpa kita sadari mengeluh adalah salah satu pertanda ketidaksadaran diri akan posisi di hadapan Allah. Sedih sekali kami mendengar nasehat ini, sebab sadar bahwa diri ini masih sering mengeluh, bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak pantas untuk kami keluhkan. Ah, tapi kesedihan itu tak boleh membuat kita jadi tak berdaya, bukan? Maka, bersama-sama denganmu, kami ingin menjadi lebih baik lagi, utamanya dalam menerima segala ketetapan terbaik.

Hmm, andai saja kita tahu bahwa semua yang Allah tetapkan adalah yang terbaik, bahwa hitungan dan takarannya selalu tepat, dan bahwa tak sedikit pun Allah berniat untuk mendzalimi kita, mungkin tak akan sedikit pun terpikir di benak kita untuk menentang-Nya, melakukan tawar-menawar dengan-Nya, seolah kitalah yang paling tahu tentang yang terbaik bagi diri kita. Astaghfirullah, yang berlalu sudah menjadi debu, semoga kita senantiasa berbenah dan memperbaiki diri setiap kali menyambut hari yang baru.

Selamat merenda kesadaran tertinggi bahwa Allah adalah Rabb dan kita adalah hamba, hingga tak ada lagi ruang di hati dan benak kita untuk tawar-menawar dengan-Nya.

Your sister of Deen,
Novie Ocktaviane Mufti dan Husna Hanifah

Monday Love Letter #63 - Mensyukuri Hidayah

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! 

Bagaimana kabarmu hari ini? Rasanya baru kemarin kami mengirim Monday Love Letter untukmu, entah kenapa akhir-akhir ini waktu berjalan cepat sekali. Maafkan surat yang terlambat ini ya, dikarenakan satu dan lain hal, suratnya baru sampai malam ini. 

Tapi tak apa, sebab malam hari adalah waktu yang tepat untuk berkontemplasi setelah mungkin seharian ini kita disibukkan oleh berbagai aktivitas. Sesibuk apapun, Allah selalu bisa menjadi tempat pulang. Jangan lupa bersyukur, ya! 

Bicara tentang syukur, sekilas jika kita mendengar kata syukur, yang terpikir adalah bersyukur tentang hal-hal yang tampak. Seperti harta, rumah, mobil, dan benda-benda lainnya yang bersifat materi. Tapi bersyukur juga tidak hanya tentang materi, banyak hal-hal tak nampak seperti kesehatan, ketenangan hati, kepekaan untuk bisa merasa, bahkan hidayah. 

Ya, hidayah adalah salah satu rezeki dari Allah yang hanya diberikan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Hidayah diberikan kepada mereka yang terpilih. “Sesungguhnya Allah ta’ala memberi harta kepada siapa yang Dia cintai maupun yang tidak Dia cintai. Dan Allah tidak memberi keimanan kecuali kepada yang Dia cintai.” (HR. Bukhari) 

Hidayah itu rezeki. Seperti Nabi Muhammad SAW yang didampingi malaikat Jibril dan Mikail saat melakukan perjalanan Isra Mi'raj, ada peran Jibril yang bertugas menurunkan hidayah dan ilmu Allah saat kita menghadiri sebuah majelis ilmu serta peran Mikail dalam memberikan rezeki berupa pemahaman dan keyakinan dari ilmu tersebut. Sehingga jelaslah bahwa sejatinya setiap hamba “diperjalankan” oleh Allah dalam kehidupannya. 

Rangkaian kejadian dalam hidup dari mulai kita dilahirkan ke dunia hingga hari ini, bertemunya diri dengan ujian-ujian kehidupan, pertemuan demi pertemuan yang mungkin terkesan seperti sebuah 'kebetulan', bahkan perjuangan menuju cita-cita yang terasa jauh dan berkelok-kelok, itu semua adalah bukti kebesaran Allah bahwa Allah adalah pengatur skenario terbaik bagi kehidupan kita. Mungkin suatu waktu kita pernah mempertanyakan takdir Allah, namun percayalah bahwa melalui takdir itu Dia memberikan berbagai pelajaran hidup dan hikmah pada kita. 

Kita yang terlahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa, kemudian Allah ajarkan banyak hal melalui perantara-Nya. Kita yang mungkin dulunya terjebak dalam keburukan, lalu Allah hantarkan menuju kebaikan. Dari yang dulunya kongkow-kongkow tanpa tujuan, Allah tunjukkan teman-teman yang saling mengingatkan dan menguatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Dari yang dulunya jauh dari Allah, kini mendekat kepada-Nya adalah sesuatu hal yang sangat dirindukan. 

Bukankah indah, ketika menyadari bahwa Allah sudah terlampau baik dengan mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya? Bukankah bersyukur, ketika kita sudah dipilihkan Allah jalan hidup dan wadah terbaik untuk kita menumbuhkan benih-benih fitrah ketauhidan kita? Apalagi ketika kita paham bahwa hidayah itu diberikan kepada orang-orang yang terpilih saja atas kehendak Allah. Dan kitalah yang terpilih itu. Kitalah yang oleh Allah diberi kesempatan merasakan cahaya iman dan islam di saat orang lain banyak yang masih belum keluar dari kegelapannya. 

Maka kepada diri, jemputlah terus hidayah itu, seperti halnya rezeki yang perlu diupayakan. 

Kepada orang lain, bagilah keindahan itu, agar keMahaBaikan Allah tidak hanya dirasakan oleh kita seorang. 

Dan kepada Allah, berterima kasihlah, dengan sekuatnya mengupayakan syukur.

Barakallahu fiik, sister. Semoga kita bisa senantiasa menjaga nikmat hidayah ini sampai ruh berpisah dari jasad untuk kemudian kembali kepada-Nya dalam keadaan yang terbaik. Aamiin..

Your sister of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Rabu, 09 Oktober 2019

OOTD

Suamik mau pergi ke RSGM doang padahal, tapi bajunya kayak yang mau pergi latihan militer :v
"Aa serius mau pake baju itu? Kaos biasa aja ih."
"Biarin, kan OOTD. Tau ga kamu OOTD?"
"Tau lah, sini foto dulu atuh. Orang-orang kalo mau OOTD kan difoto dulu."
*Terus dia bergaya tp mukanya sengaja dijelek2in*
Ya udah aku rekam aja sekalian.

Senin, 07 Oktober 2019

Monday Love Letter #62 - Menghidupi Perjalanan, Menjalani Kehidupan

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!
Bertemu lagi di Monday Love Letter, sebuah surat cinta dari kami berdua para founder Sister of Deen. Jika ini menjadi surat pertamamu, selamat bergabung ya sister. Semoga tak ada hal lain yang kamu dapatkan dari surat ini selain kebaikan dan kebermanfaatan. Dan untukmu yang sudah mengikuti Sister of Deen dari mulai awal perjalanannya, kami ucapkan terima kasih banyak, semoga kita tetap bisa menjadi sahabat bertumbuh yang suportif satu sama lain. 
Surat hari ini akan diawali dengan sedikit wawasan mengenai psikologi, mengingat ada salah seorang dari kami yang sedang mendalami ilmu tersebut. Tapi tentu saja akan disampaikan dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dimengerti, selamat menyimak ya! :)
Kata orang, beranjak dewasa berarti memasuki waktu-waktu dimana kita mulai mempertanyakan banyak hal tentang hidup ini. Salah satunya adalah tentang makna dari hidup itu sendiri, yang seringnya menjadi pertanyaan kontemplatif saat sedang diam sendiri, “Apa sih makna hidup ini?” Apakah kamu juga pernah bertanya-tanya tentang pertanyaan yang sama?
Dalam dunia Psikologi (dan atau Psikiatri) ada seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa yang berasal dari Austria, beliau bernama Viktor Frankl. Pengalamannya dikurung dalam sebuah kamp konsentrasi di tahun 1942 membuatnya berpikir analitis dan kontemplatif sehingga pada akhirnya ia menawarkan sebuah corak baru dalam psikoterapi, yaitu Logoterapi. Adakah yang pernah mendengarnya? Logoterapi adalah sebuah terapi psikologi atau psikiatri yang mengakui adanya dimensi spiritualitas, yang beranggapan bahwa makna hidup dan hasrat untuk hidup bermakna adalah motivasi utama yang dimiliki seorang individu untuk meraih kehidupan yang didambakannya. 
Berkaca pada apa yang menjadi pandangan Frankl, katanya manusia hidup sebab menginginkan kehidupan yang bermakna. Seperti awan mendung yang menggantung, konsepsi ini seperti berujung pada pertanyaan lain yang jadi menggantung, “Iya sih ingin hidup bermakna, tapi memangnya hidup yang seperti apa sih yang disebut hidup bermakna itu?” Pertanyaan itu masih menggantung hingga suatu ketika seorang sahabat menuliskan dalam sebuah hand lettering cantiknya,

“Life is a journey from Allah to Allah.”

Ah yaa! Ini lebih dari sekedar bermakna. Makna hidup nyatanya memang sebuah perjalanan, dari Allah menuju Allah. Sebab, Allahlah yang menciptakan kita, membuat kita terlahir ke dunia, dan kepada-Nyalah nanti kita akan kembali. Seperti surat cinta dari Allah dalam Al-Qur’an,
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu, lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
– QS. Al-Baqarah : 28
 
Menariknya, perjalanan hidup selalu menawarkan begitu banyak dinamika, sehingga perjalanan hidup itu sendiri mengalami pendalaman makna: ada tentang bertahan, berjuang, memberi, menerima, bersabar, bersyukur, dan masih banyak lagi yang tentunya juga termasuk didalamnya tentang memaknai kematian dan kepergian. 
Setiap orang dapat memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang hidup, sebab masing-masing kita memiliki cerita dan jalan-jalan hidup yang berbeda. Tapi, selama masih dalam koridor yang benar, muara pemaknaan akan berujung pada memaknai hidup sebagai sebuah perjalanan; dari Allah menuju Allah. Maka, ketika kita sedang mencari dan ingin memberi makna pada kehidupan kita, datanglah kepada Dia yang memberi kehidupan kepada kita sebab pada Allah-lah tersimpan semua jawaban. Semoga dalam perjalanannya, kita tidak salah jalan dan berani melangkah di jalan yang benar. 
Selamat menghidupi perjalanan, selamat menjalani kehidupan. Baarakallahu fiik :”)

Your sister of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Monday Love Letter #61 - Andai Aku Boleh Memilih

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Alhamdulillah, tak terasa sudah sampai di Monday Love Letter ke-61. Terima kasih untukmu yang masih setia menunggu dan membaca surat-surat kami. Semoga kami bisa terus menemani proses perjalananmu untuk menjadi hamba Allah yang lebih baik setiap harinya. Mohon doanya juga untuk kelancaran proses pengerjaan naskah buku kami agar kelak semakin banyak inspirasi dan semakin luas manfaat dari Sister of Deen. Terima kasih sudah bersabar menunggu ya!

Ada sebuah tema yang terbersit untuk memulai surat kali ini, yaitu tentang jawaban doa. Adalah hal yang lumrah, kita sebagai manusia memiliki (sederet) keinginan. Dan banyak dari kita yang mengekspresikannya dengan berdoa kepada Allah. Tentu ini baik, apalagi berdoa adalah salah satu ibadah yang Allah sukai. Bagaimana denganmu? Apakah kamu juga memiliki keinginan yang sedang dimintakan kepada Allah?

Manusia boleh memiliki keinginan, tetapi Allah punya kehendak. Allah yang paling tahu jawaban apa yang paling terbaik atas doa kita. Dan jawaban terbaik itu ada dalam salah satu dari tiga jawaban YA;
Iya, sekarang.
Iya, nanti.
Iya, tapi Aku punya yang lebih baik.

Dari 3 jawaban itu, kira-kira jawaban mana ya yang paling enak? Kalau kamu, akan pilih yang mana?

Sepertinya kebanyakan orang akan memilih jawaban doa yang pertama, Iya, sekarang. “Baik hambaku, doamu Aku kabulkan sekarang,” lalu.. taraaaa.. apa yang kita inginkan langsung terrwujud. Kira-kira bagaimana perasaan kita? Pasti senang sekali. Logis sih, siapa sih yang nggak mau, berdoa minta sesuatu, lalu keinginannya itu langsung diwujudkan sesuai dengan keinginan kita. Seperti Nobita setiap kali curhat ke Doraemon, permintaan apapun Doraemon pasti akan mengabulkannya, di detik itu juga. Enak ya kayaknya kalau hidup semudah itu, nggak susah kayak Ferguso. Hehehe..

Sekarang, coba bayangkan kalau Allah kasih kita jawaban yang kedua. Iya, nanti. "Iya doamu akan Ku kabulkan, tapi nanti ya, karena waktu yang terbaiknya bukan sekarang.." Kira-kira bagaimana perasaan kita seandainya Allah bilang begitu? Respon pertama mungkin sedih dan kecewa ya? Udah doa serius-serius, tapi jawabannya nanti. :(

Jadi, apakah menurutmu lebih enak jawaban yang pertama? Eits, tunggu dulu.. Sadar nggak sih, ketika Allah memberi jawaban NANTI, itu berarti Allah sedang merencanakan hadiah tambahan untuk kita? Kita minta ke Allah A, ketika kita ikhlas dan bersabar dalam masa tunggu, biasanya nantinya Allah akan kasih A+. Pernah ngalamin nggak? Berdoa sesuatu dan ternyata jawabannya Allah tunda, ketika terkabul pasti ada tambahan bonus-bonusnya. Bonus-bonus itu mungkin semacam "upah menunggu" dari Allah karena kita berhasil sabar dan ikhlas dengan ketetapan-Nya.

Coba deh, inget-inget pengalaman kita berdoa sama Allah. Mungkin kita pernah berdoa kepada Allah untuk bisa langsung kuliah selepas lulus SMA. Ternyata, Allah baru mengabulkannya setahun kemudian. Tapi di masa tunggu itu ternyata kita diterima kerja sehingga di tahun setelahnya bisa menjalani kuliah dengan uang sendiri tanpa minta lagi ke orangtua. Adapula yang sudah berumah tangga, berdoa kepada Allah untuk segera memiliki anak dan baru Allah kabulkan 3 tahun kemudian. Ternyata, ketika hamil, anaknya kembar. Double repotnya, tapi double juga kebahagiaannya. Bagaimana denganmu, apakah punya kisah serupa? We would love to hear your story :)

Selain itu, adanya proses menunggu seringkali membuat kita menjadi lebih bahagia dan bersyukur ketika mendapatkan apa yang kita inginkan itu. Rasanya seperti mendengar adzan maghrib saat berbuka puasa, senangnya double! Dan lagi, kita jadi lebih menghargai makanan yang kita makan.

Nah, dalam berdoa pun sama, ketika Allah memberi jawaban NANTI, Allah sebetulnya sedang menyimpan double kebahagiaan untuk nanti diberikan ke kita. Allah juga ingin mengajarkan tentang seni berada di ruang tunggu, sehingga ketika kita akhirnya mendapatkan apa yang telah Allah janjikan, kita jadi lebih menghargai hal itu. Jadi, mau jawaban doanya SEKARANG ataupun NANTI, keduanya sama baiknya kan? ;)

Belum selesai sampai disitu, sekarang kita bahas jawaban doa yang ketiga. Iya, tapi Aku punya yang lebih baik. "Iya Aku akan kabulkan, tapi bukan yang itu, Aku punya yang lebih baik dari itu." Coba, gimana rasanya kalau Allah bilang begitu ke kita? Jawaban ini seringkali menguji keimanan kita. Kalau orang yang nggak percaya sama Allah, mungkin akan protes, "Kok gitu sih ya Allah? Aku kan maunya itu, kenapa malah dikasih yang lain?" Dirinya merasa bahwa pilihannya adalah yang terbaik sehingga protes ketika permintaannya Allah kabulkan dengan jawaban yang lain.

Tapi kalau orang yang percaya penuh pada Allah, walaupun mungkin awalnya dia bertanya-tanya, pada akhirnya ia akan menerima saja apa yang menjadi ketetapan-Nya. Sebab dia yakin bahwa jawaban Allah itu adalah yang terbaik untuknya. Sudah jelas Allah firmankan dalam QS. 2:216, bahwa yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah, dan yang buruk menurut kita bisa jadi baik baik menurut Allah. Allah Yang Maha Tahu, kita jangan sok tahu. :)

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Ketika aku meminta sesuatu kepada Allah, jika Allah memberinya padaku, aku gembira sekali. Namun, jika Allah tidak memberinya padaku, aku akan gembira sepuluh kali lipat. Sebab, yang pertama itu pilihanku, sedangkan yang kedua itu pilihan Allah.”

Pernahkah kamu mengalami jawaban doa seperti demikian? Minta kepada Allah A, tetapi Allah memberi kita C. Percayalah, didalam jawaban C itu ada banyak hikmah yang tidak bisa kita hitung, ada rasa syukur berlipat-lipat yang nanti akan kita rasakan. Tugas kita hanya satu; percaya pada apa yang menjadi ketetapan Allah.

Kebahagiaan dalam berdoa sebetulnya tidak terletak pada terkabul atau tidaknya doa kita, kebahagiaan ada pada proses berdoa itu sendiri. Dimana ketika kita berdoa, kita merasa didengarkan oleh Allah, merasa terkoneksi dengan Allah, merasa bahwa Allah selalu ada untuk kita KAPANPUN kita butuhkan. Hal ini persis seperti apa yang pernah disampaikan oleh Umar bin Khathab: “Aku tidak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan atau tidak, tapi yang lebih aku khawatirkan adalah aku tidak diberi hidayah untuk terus berdoa.”

Maka, teruslah berdoa, sebab doa adalah bukti bahwa kita membutuhkan Allah. Doa adalah bentuk pengakuan diri bahwa kita lemah tanpa Allah, bahwa kita amat sangat membutuhkan-Nya. Berdoalah karena doa adalah ibadah dan Allah menyukai hamba yang berdoa kepada-Nya. Apapun jawaban Allah, kita tentu sudah tahu bahwa ketetapan dari-Nya, pastilah itu yang terbaik.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal, jika kita berdoa, lalu Allah memberikan beberapa opsi jawaban, mana yang akan dipilih?

A. "Oke, sesuai inginmu, Aku akan kabulkan doamu."

B. "Iya doamu akan Kukabulkan, tapi nanti ya, karena waktu yang terbaiknya bukan sekarang.."

C. "Iya Aku akan kabulkan, tapi bukan yang itu, Aku punya yang lebih baik dari itu."

D. Gimana Allah aja.

Mau berbagi jawaban dengan membalas surat ini boleh, mau jawab didalam hati juga boleh :)

Barakallahu fiik, sister.


Your sister of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Monday Love Letter #60: Menjejak Sepi di Ruang Sendiri

Assalammualaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!


Awal pekan sudah datang lagi, hikmah apa yang kamu dapatkan sepekan kemarin? We’d loved to hear your stories, lho! Eh iya, bagaimana dengan shalat Dhuhamu pagi tadi? Masih lancar dan semangat, kan? Nah, berbicara soal Dhuha, di surat kali ini kami akan bercerita tentang hikmah-hikmah yang pernah kami petik dari surat cinta Allah dalam Adh-Dhuha, surat yang mungkin sering kita baca berulangkali setiap harinya terutama disaat shalat Dhuha. Check this out yaa!

Sebelumnya, yuk kita ucapkan dulu shalawat dan salam untuk Rasulullah SAW, sosok yang telah membuat cahaya Islam berpendar dan sampai kepada kita hari ini, juga yang membuat kita mengenal wahyu-wahyu Allah. Tahukah kamu, beliau pernah tidak mendapatkan wahyu dari Allah dalam beberapa waktu. Hal itu membuat beliau merasakan kegelisahan. Beliau meragukan dirinya sendiri sebagai orang yang Allah pilih menjadi Rasul. Hal ini juga diperparah dengan situasi masyarakatnya pada saat itu, yang menaruh ketidakpercayaan kepada beliau.

Dalam kondisi kegelisahan Rasulullah, Allah menurunkan surat Adh-Dhuha sebagai kabar gembira. Allah menyampaikan kabar bahwa sebenarnya Allah tidak pernah meninggalkan Rasulullah sendirian meskipun sedang tidak menurunkan wahyu. Coba perhatikan ayat ini,

“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidak pula membencimu.” QS. Adh-Dhuha : 3

Pada saat diturunkan, ayat ini memang tertuju untuk Muhammad, namun sebenarnya ayat ini juga adalah nasehat yang tak lekang oleh waktu untuk kita, ummat beliau meski terpisah jarak ribuan tahun jauhnya. Allah berjanji untuk tidak meninggalkan kita. Tapi, mengapa yaa kita justru lebih sering merasa sepi dan sendirian? Adakah yang salah dengan kita? Mungkinkah jika ternyata sumber masalahnya adalah karena tanpa disadari kita malah sedang berjalan menjauh dari-Nya?

Yuk, perhatikan juga di ayat pertama dan kedua. Disana disebutkan, “Demi waktu Dhuha (ketika matahari naik sepenggalah). Dan demi malam apabila telah sunyi,” Coba ditelaah, apa yang terjadi di kehidupan manusia pada waktu Dhuha dan waktu malam? Bukankah pada waktu-waktu itu kebanyakan dari kita sedang sendirian dan melakukan aktivitas-aktivitas pribadi? Lewat ayat-ayat, ini Allah seolah ingin menyampaikan kepada kita bahwa pada waktu-waktu tersebut, meski kita sendirian, Allah senantiasa mendampingi dan tidak akan meninggalkan.

Janji Allah itu pasti, namun bagaimana kita memercayainya itulah yang sulit sebab hidup dan kesehariannya selalu penuh dinamika. Tapi, memang disitulah uniknya. Kalau semua dibuat mudah, bagaimana lagi kita bisa berjuang? Kalau semua tanpa tantangan, apa yang akan kita jadikan ladang untuk membuktikan keimanan?

Sebagai manusia yang banyak memiliki kelemahan, terkadang kita mudah tumbang ketika dihadapkan pada permasalahan-permasalahan. Dengan mudah kita mengatakan, “Allah kemana? Mengapa aku masih saja dibiarkan sendirian tanpa jalan keluar?”, padahal sejatinya bukan Allah yang menjauh dari kita, kitalah yang menjauh dari-Nya. Allah mendampingi dan menguatkan kita, bahkan Allah juga berkata dalam ayat selanjutnya yaitu ayat keempat bahwa, “Yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.” Ya, Allah menjanjikan sesuatu yang baik di balik permasalahan yang kita alami.

Maa syaa Allah, setelah mengetahui apa yang Allah firmankan melalui surat Adh-Dhuha ini, masihkah kamu akan menyangkali bahwa Allah memang mendampingimu disaat-saat sendiri? Masihkah berburuk sangka mengenai rezeki Allah? Masihkah akan kufur terhadap nikmat-Nya? Yuk kita saling mengingatkan, karena kita akan pincang dan rentan lupa jika berjuang sendirian.

Your sister of Deen,
Novie Ocktaviane Mufti dan Husna Hanifah

Senin, 23 September 2019

Married Life

Married life itu seru. Kadang ada aja yang bikin ngakak dari percakapan sehari-hari antara suami dan istrinya. Jadi kayaknya seru kalo aku nulisin kejadian-kejadian lucu di keseharian married life aku. Tujuannya, biar nanti bisa ketawa-ketawa sendiri gitu kalo dibaca lagi. Kayak pengen diabadikan gituuu. Hahahaa..

Contohnya, pernah waktu itu aku mau beli makan ke warung nasi padang, terus nanya:
Aku: Aa mau sama apa padangnya?
Aa: Terserah lah apa aja Aa mah.
Aku: Apa, rendang? 
Aa: Ngga, jangan rendang.. 
Aku: Apa dong, ayam?
Aa: Nggak mau ayam.. 
Aku: Euh, terus apa, ikan?
Aa: Jangan.. 
Aku: Ya terus sama apa atuuh?
Aa: Telor aja telor..
Aku: Ya itu namanya bukan terseraaah
*biasanya yang suka terserah2 gitu tuh istri kan, kalo di aku sih justru malah suaminya wkwkwk

Atau pernah di kesempatan lain aku buka laci dan mendapati isi lacinya berantakan. Banyak barang yang tempatnya berubah. Terus aku protes, "Aa ini kenapa kapas jadi pindah tempatnya gini sih, kenapa jadi berantakan gini lacinyaa?"
Suami aku yang ga terima disalahin, terus nanya balik, "Eh bentar duluu, kalau korek kuping dikemanain hayoo?"
"Ehehe,, ini deng disini.." jawab aku sambil nunjuk karpet. Ternyata aku juga sama aja, ngambil barang terus gak disimpen lagi ke tempatnya. Wkwk.
"Heuuu Aa tuh berantakin laci tuh nyari korek kuping tauuuuk"
Baiklaaah~ Lalu aku ga jadi marah2nya karena aku juga salah hahaha. 

Yang paling baru tuh pagi ini, tiba-tiba aku menerima pertanyaan horror dari suamiku:
"Neng, kok Aa liat di email neng banyak transferan belanja ya?"
"....."
*ups 😂😂😂

Senin, 16 September 2019

Monday Love Letter #59: Menyemai Kini, Menuai Nanti

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! 

Apa yang sedang kamu rasakan saat ini? Senang, sedih, lelah, kecewa, bahagia? Apapun itu, yuk luapkan semuanya dengan syukur terbaik kepada Allah! Alhamdulillah, Allah masih memberi suatu nikmat kepada kita yaitu nikmat “merasa”. Semoga perasaan senang dan bahagia kita menjadi jalan untuk lebih banyak bersyukur, dan rasa sedih, kecewa, dan lelahnya kita menjadi jalan untuk menuai banyak pahala sabar. Tidak ada yang salah dengan “merasa”, yang salah adalah ketika perasaan-perasaan itu membuat kita menjauh dari-Nya. Semoga Allah senantiasa menuntun kita kepada ketenangan hati, apapun kondisi yang tengah kita hadapi. 

Sister, pernahkah kamu berjalan di suatu kerumunan? Atau berada pada satu tempat yang sangat padat oleh manusia yang berlalu-lalang? Berpapasan dengan si A yang hendak menuju ke arah timur, maju sedikit bertemu dengan si B yang berjalan ke selatan, lalu ada si C yang menyenggol kita karena ia terburu-buru berlari ke utara. Rasanya chaos sekali, bukan? Tak jarang kita kehilangan fokus pada tujuan kita sendiri, tergoda melihat si C yang berlari terburu-buru, atau kepo dengan si A yang arah tujuannya berbeda dengan kita. Terasa familiar? Jangan-jangan kita juga sering begitu, lihat sana sini sampai-sampai kita lupa pada tujuan kita sendiri, lupa bahwa kita juga harus bergegas mewujudkan mimpi-mimpi. 

Jika kita cermati, dunia ini sangat penuh dengan manusia yang berjalan dengan arahnya masing-masing, mengupayakan berbagai cara yang mereka bisa untuk sampai pada impiannya, berkorban ini dan itu agar ia bisa sampai pada tangga puncak kesuksesannya. Tentu, semua orang tahu bahwa kesuksesan bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah didapatkan. Tapi banyak orang yang berani untuk mencicilnya sedikit demi sedikit, berbekal keyakinan bahwa suatu hari ia pasti akan menikmati hasilnya. 

Kami yakin, pasti ada banyak sister di luar sana yang juga sedang berjuang menaiki satu demi satu anak tangga untuk sesuatu yang hendak dicapai. Semoga Allah selalu menuntun dan memberi petunjuk dalam setiap langkah. Kalau kamu, sedang “mencicil” apa? 

Untuk menjadi sarjana, ada sejumlah SKS yang harus dicicil di setiap semesternya. Dalam pengerjaan skripsi, ada bab demi bab yang harus diselesaikan. Semuanya dikerjakan dengan dicicil, sampai akhirnya 4 tahun berlalu tanpa terasa hingga gelar sarjana diselebrasi dengan wisuda. Yang sedang menuju pernikahan, tentu ada tahap demi tahap yang harus dilalui dan persiapan yang perlu dicicil sedikit demi sedikit hingga terselenggaranya akad. Yang sedang menanti kelahiran anaknya, pasti saat ini sedang mencicil ilmu tentang persiapan persalinan maupun parenting. Ada pula yang sedang membangun bisnis, sedang berusaha naik jabatan di kantor, sedang mencoba mempelajari ilmu baru, dan lainnya yang semuanya pasti tak akan terwujud tanpa usaha yang dilakukan secara terus menerus. Bahkan, untuk hal-hal yang bersifat materi seperti tabungan, motor, mobil, rumah, tak sedikit orang-orang yang mencicil untuk mendapatkannya. 

Kira-kira, kenapa ya banyak orang mau menjalani prosesnya? Padahal impian-impian tersebut mengambil banyak waktu darinya, mengambil banyak tenaganya, menghabiskan banyak uang, membuat ia harus mengorbankan banyak hal, dan lain sebagainya. Tapi banyak orang yang berhasil dan bersabar membayar “cicilan-cicilan”-nya itu dan akhirnya bisa menikmati akhir yang manis dari perjuangannya. 

Lalu pernahkah kita berpikir, jika kita bisa sesabar dan sekuat itu untuk meraih kesuksesan dunia, apakah kita juga segigih itu untuk mencicil kesuksesan akhirat kita? Sebab, setiap orang yang mengimani hari akhir, pasti akan sangat mendambakan syurga sebagai pencapaian tertingginya. Setiap orang yang sangat mencintai Allah, pasti akan sangat mendambakan ridho-Nya dan mengharapkan pertemuan dengan-Nya. Memangnya, syurga yang "mahal" itu tidak perlu dicicil? :’) 

Padahal dunia hanya sementara dan kita akan meninggalkan dunia ini beserta apa-apa yang kita miliki. Maka rugi sekali jika perjuangan demi perjuangan yang kita lakukan tidak berdampak pada kesuksesan akhirat kita. Masih banyak dosa-dosa yang harus kita taubati, masih banyak amal sholeh yang harus kita cicil untuk menutupi kesalahan-kesalahan kita, masih banyak pahala yang harus kita kumpulkan agar Allah selamatkan dari api neraka, masih banyak, banyaaaak sekali yang harus kita lakukan agar Allah ridho terhadap diri dan hidup kita. 

Sudahkah kita seserius itu membayar “cicilan” kesuksesan versi Allah? Jangan-jangan, panggilan sholat saja masih sering kita abaikan, membaca dan mempelajari Al-Quran tidak pernah ada dalam to-do-list kita, infaq dan sedekah masih berat kita lakukan, amar ma’ruf nahyi munkar tak pernah ada dalam jadwal kita. Sementara dosa terus bertambah dan jatah usia terus berkurang. Mau mengandalkan amal yang mana jika nanti kita diadili di pengadilannya Allah? 

Huhuhu, jlebb banget ya, surat hari ini. :’) 

Tentu saja, semua pengingat yang tertulis dalam surat ini, pertama-tama ditujukan untuk yang menulisnya. Tak apa, tak ada kata terlambat untuk kembali fokus pada tujuan akhirat kita. Kita cicil syurga-Nya sedikit demi sedikit, kita naiki tangga-tangga ujian yang disediakan Allah satu per satu, kita jadikan mardhotillah menjadi satu-satunya fokus dan tujuan hidup. Semoga sabar dan istiqomah menghantarkan kita pada kemuliaan sejati di mata-Nya. Aamiin.. 

“Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahannam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” –QS. Al-Isra’ (17) : 18-19 

Your sister of Deen, 
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Monday Love Letter #58 - Melirik Jejak

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Senang sekali rasanya karena masih bisa menyapamu melalui love letter di hari Senin ini. Meski dengan cara yang sederhana, semoga surat-surat ini bisa begitu bermakna, menemanimu belajar dan bertumbuh di setiap waktunya. Bagaimana kabarmu hari ini? Semoga tak lagi terrantai dengan kesalahan-kesalahan masa lalu yang masih menghantuimu hingga kini.

Kemarin, salah satu dari kami bertemu dengan seorang adik. Ia menceritakan tentang kasus-kasus yang sedang ramai diperbincangkan diantara teman-teman sepermainannya. Salah satu kasus yang menjadi bahan perbincangan mereka adalah kasus aborsi yang dilakukan oleh salah satu temannya karena sebuah “kecelakaan”. Kami tentu tidak kaget mendengar cerita ini terjadi di hari ini. Bukan berarti memaklumi, tentu saja tidak! Namun, di zaman dimana dinamika yang terjadi sudah seperti sekarang ini, cerita semacam itu bukan lagi sesuatu yang pertama kali kita dengar, kan?

Entah apa yang dirasakan oleh pelaku aborsi tersebut hari ini, kami tidak bisa benar-benar menebaknya. Hanya saja, dengan melihat bahwa kejadian itu telah menjadi sesuatu yang tidak bisa terlepas dari dirinya sebab sudah menjadi sebuah pengalaman yang tak bisa ditiadakan, kami merasa prihatin sekali. Tak terbayang di benak kami bagaimana seorang perempuan harus hidup dalam bayang-bayang dosa dan kelamnya masa lalu seperti itu. Sebanyak apapun cara dilakukan untuk mengubur atau melupakannya, suatu ketika ingatan tentang hal itu pasti akan muncul ke permukaan. Subhanallah. Semoga Allah memperkenankannya untuk menjadikan pengalaman ini sebagai jalan terbaik untuk kembali menemui-Nya.

Bagaimana pun, kita sebagai manusia tentu pernah punya kesalahan. Sebagian bisa kita terima dan maafkan dengan mudah, tapi sebagian lagi tidak. Mengapa bisa demikian? Tentu saja karena kita adalah manusia biasa, tempat bersarangnya salah dan lupa. Melakukan kesalahan itu jadi sesuatu yang niscaya. Barangkali, dengan itulah kita diminta-Nya untuk benar-benar menyadari bahwa kita adalah manusia, yang tidak selalu ideal, tidak selalu sempurna. Meskipun demikian, kita bisa memandang ini dari sisi yang lainnya, bahwa kesalahan adalah sarana belajar yang paling besar, sarana taubat yang paling handal, juga sarana bertumbuh yang paling dahsyat. Syaratnya, kita berani mengakui bahwa kita memang berbuat salah, lalu bersedia untuk bangkit dan memperbaikinya.

Apakah satu kesalahanmu yang begitu teringat saat kamu membaca surat ini? Kesalahan itu tak harus selalu tentang pengalaman masa lalu yang sudah terlewati bertahun-tahun yang lalu, sebab kemarin pun sudah menjadi masa lalu, bukan? Apapun ingatanmu tentang itu, sudahlah. Jika sudah terjadi berarti Allah menghendakinya untuk terjadi, meskipun menghendaki tidak sama dengan meridhoi. Bagaimana perasaanmu ketika mengingat kesalahan itu? Jika yang muncul adalah penyesalan, sudahlah, sempitkan ruang bagi penyesalan itu. Bukankah seringkali hanya menyesal tidak lantas menjadikan suatu perubahan? Seperti yang dikatakan dalam sebuah hadist, jangalah mengatakan ‘seandainya…’
 
“Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), dan janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah, dan jika kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu mengatakan : “Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu” tetapi katakanlah, “Ini telah ditentukan oleh Allah, dan Allah akan melakukan apa yang Ia kehendaki,” karena kata “seandainya” itu akan membuka pintu perbuatan setan.”– HR. Muslim
 
“Tapi nasi sudah menjadi bubur, lalu aku harus bagaimana?” Setelah menyadari bahwa menyesali perbuatan yang membuat kita ingin kembali ke masa lalu itu tidaklah dianjurkan, mungkin pertanyaan tersebut saat ini terbersit di kepalamu. Bagaimanapun, masa lalu tetaplah masa lalu, ia akan tetap disana, seingin apapun kita kembali kesana. Jadi, daripada energi kita habis untuk meratapi hari yang kemarin, akan lebih bermanfaat jika energi tersebut digunakan untuk melukis masa depan yang bisa kita warnai dengan hal-hal yang lebih baik.
 

Kami tahu, bagi sebagian orang, melepas diri dari belenggu masa lalu tentu amatlah berat. Maka dari itu, cara-cara berikut ini bisa kamu coba untuk membantumu melangkah dan membuat jejak yang baru.

1. Reframing mistake.
Ubah sudut pandang kita atas kesalahan yang pernah kita lakukan. Alih-alih menyesalinya berlarut-larut, alangkah baiknya jika kita melihat sisi lain dari kesalahan tersebut, bahwa itu adalah sebuah pembelajaran mahal yang tak setara dengan nilai tukar apapun. Tanpa kita sadari, sebuah kesalahan seringkali banyak memberikan hikmah dan pembelajaran berharga. Contohnya, kesalahan bisa membuat kita lebih berhati-hati dalam bertindak, mengikis kesombongan dan perasaan lebih baik dari manusia yang lain, membuat kita kembali kepada Allah, memiliki semangat untuk beramal sholeh, dan sebagainya. Fokus pada hikmahnya, bukan masalahnya.

2. Akui bahwa diri memang melakukan kesalahan.
Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan, bahkan manusia pertama yang Allah ciptakan pun melakukan kesalahan. Kita semua pasti tidak asing dengan cerita Nabi Adam AS yang Allah kisahkan dalam Al-Quran, tentang ia dan istrinya Siti Hawa yang melakukan kesalahan dengan mendekati dan memakan buah khuldi padahal Allah telah melarang. Lalu apa yang mereka lakukan? Mereka langsung menyesal, mengakui kesalahannya dan bertaubat kepada Allah. Tidak berkelit atau membuat-buat alasan, bahkan menyalahkan syetan yang menggodanya pun tidak.

Sebagian dari kita, mungkin akan mencari-cari alasan atau mencari seseorang/sesuatu untuk disalahkan untuk membela diri dari kesalahan yang jelas-jelas kita lakukan. Padahal, apa gunanya berkelit kepada Dia Yang Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Tahu, dan Maha Mengawasi setiap gerak-gerik hamba-Nya? Justru dengan kita melakukan kesalahan, sadarilah bahwa itu adalah petunjuk dari-Nya, reminder terbaik untuk kembali menyadarkan bahwa kita hanyalah manusia: tak mulia tanpa dimuliakan-Nya, tak bisa apa-apa tanpa pertolongan-Nya.

3. Evaluasi diri dan memohon ampunan kepada Allah.
Akui kesalahan, evaluasi diri, dan mohon ampunlah kepada Allah. Seperti Nabi Adam dan Siti Hawa yang langsung berdoa dan memohon ampun kepada Allah sebagai bentuk taubat dan penyesalahannya. Rabbanaa dzalamna anfusanaa wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal khaasyiriin. “Ya Tuhan kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” -QS. Al-A’raf (7) : 23

4. Buat rencana perbaikan.
Permintaan maaf butuh pembuktian, begitu pula permintaan maaf kepada Allah. Sebab, taubat yang sebenar-benarnya adalah ketika kita mengakui kesalahan, bertekad dengan sungguh-sungguh tidak akan melakukannya lagi, dan melakukan perbaikan diri setelahnya. Membuat rencana perbaikan diperlukan agar kita tidak lagi jatuh ke lubang yang sama, sekaligus sebagai bukti keseriusan atas taubat kita kepada Allah.

5. Perbaiki.
Go on. Melangkahlah ke depan dengan membawa tekad yang baru untuk berproses menjadi hamba-Nya yang lebih baik dan tidak lagi mengecewakan-Nya. Jangan berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah, sebab kasih dan sayang-Nya jauh lebih besar dan lebih luas dari murka-Nya.

Barakallahu fiik, sister..

Your sister of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti