Rabu, 15 Mei 2024

Sewindu Bersamamu

"Happy anniversary~" sambil tersenyum, aku menghampiri suami yang sedang duduk di depan komputernya. Masya Allah, udah 8 tahun aja.

"Eh iya, happy anniversary.." jawabnya sambil memelukku.

"Aa ridho nggak sama aku selama 8 tahun ini?" 

"Ridho."

"Alhamdulillah. Makasih ya udah bermudah-mudah memberi ridho untuk aku."


Lalu aku bertanya lagi, "Aa maafin aku nggak, aku banyak kurangnya loh selama 8 taun ini.."

"Iya, aman." Aku pasti pernah bikin salah, tapi kata "aman" ini kuanggap kesalahanku berarti masih termaafkan olehnya. Alhamdulillah.

"Walaupun aku jarang masak?" Tanyaku lagi, memastikan. Soalnya aku beneran sejarang itu masaknya.

"Iya, gapapa."

"Tapi kan kalau aku jarang masak aku jadi ngabisin uang aa lebih banyak?" Kali ini aku bertanya dengan setengah bercanda.

"Nah iya. Uang aa teh abis.. Sekarang mah harus sering masak ah"

😂😂😂

Tapi walaupun doi bilang begitu, istrinya ini tetep aja nggak diprotes kalo pesen Syopifood dan tetep dibeliin kalau aku minta jajan ini itu wkwkwk. Semoga Allah selalu melapangkan rezekimu ya suamik <3

***

Happy anniversary, sayangnya akoohh!🥳

Agak geli sebenarnya ngetiknya, tapi karena postingannya bisa dijadiin hashtag bagus, jadi gapapa sekali2😂

Intinya sih, nggak ada yang kepikiran selain ingin bilang makasih. Dan terima kasihku yang paling besar adalah:

Terima kasih sudah bermudah-mudah memberi ridho dan maafmu untukku, walau aku sebagai istri banyak sekali kurangnya.

Lega sekali rasanya setiap kali mendengar dari mulutmu sendiri, bahwa aku diridhoi dan dimaafkan. Rasanya seperti dilapangkan jalanku menuju surga.. 🥹

Terima kasih yaa sudah bersabar membersamai aku yang masih terus belajar jadi istrimu. Semoga dengan mengantongi ridhomu, Allah berkenan menurunkan ridho-Nya untukku :')

Semoga Allah mudahkan langkah-langkah kita untuk menjalani setiap amanah-Nya. Semoga Allah senantiasa menjaga dan menuntun kita dalam naungan kasih sayang-Nya. Semoga Allah karuniakan untuk keluarga kita, hasanah di dunia dan di akhirat.

Terus sama-sama sampai syurga ya.. Insya Allah, nanti bareng anak-anak juga (semoga Allah kehendaki🤲)

#sewindubersamamu #cie

Selasa, 14 Mei 2024

Pacaran

Aku dan suami punya langganan beli bakmie/nasi goreng jawa yang enak banget di depan komplek rumah mertuaku. Yang jualan bapak dan ibu yang merupakan sepasang suami dan istri. Makanannya beneran seenak itu dan saking seringnya kami beli di sana, bapak dan ibu penjualnya sampe hafal dan selalu ngajak ngobrol.

Sampai suatu hari di bulan Syawal kami kesana lagi beli nasi goreng. Si ibu menyapa dengan ramah seperti biasa, lalu si bapak sigap mengolah dan memasak bahan masakan. Kami mengobrol cukup lama sembari menunggu makanan siap.

Lalu sebelum kami pamit, si ibu nanya ke suamiku, "Ini teh kalian suami istri?"

"Iya.."

"Ooh kirain teh masih pacaraan," 

"Udah 8 taun nikahna ge Buu," kata suamiku sambil terkekeh.

Haha, ngakak dengernya. Umur udah kepala 3 masih dikira anak muda lagi pacaran ya ampuun wkwk. Alhamdulillah ya berarti kami awet muda XD

Tapi nggak salah sih Bu, kami emang masih pacaran kok. Pacaran halal :D

Selasa, 07 Mei 2024

Sebulan Tanpamu

Tak terasa sudah bertemu tanggal 7 lagi. Berarti sudah sebulan ayah berpulang. Campur aduk ternyata rasanya ya. Rindu, namun (alhamdulillah) masih tetap dengan perasaan lega yang sama, sebab masih segar dalam ingatan, kepergian ayah yang insya Allah husnul khatimah.

Tanpa bisa ditolak, pikiranku mengingat kembali ke tanggal 7, sebulan yang lalu. Seperti film yang sedang beralur mundur, otakku memutar kembali momen saat jasad ayah sedang dibaringkan di tengah-tengah rumah dalam kondisi tertutup kain samping, menunggu dimandikan.

Saat itu rumah duka belum begitu ramai karena jenazah ayah baru saja sampai diantar oleh mobil ambulans. Hanya ada satu orang sahabat ayah yang sedang mengaji di samping jenazah. Aku memandang jenazah yang tertutup kain itu dengan perasaan setengah tak percaya. Aku dekati jasad itu, tapi tak berani membuka kain yang menutupi wajah dan tubuhnya. Sambil berjongkok di sampingnya, aku pegang tangan ayah yang bersedekap di atas dadanya. Dingin. 

Ayah, beneran udah nggak ada? Tanyaku dalam hati. Aku elus-elus tangannya yang sudah dingin itu. Mungkin nggak ya, ayah bangun lagi? Walau hati kecilku sebenarnya tahu, itu adalah kesempatan terakhirku berdekatan dengan ayah secara fisik. Pada momen itu, aku hanya bisa mendoakan ayah sambil terus kuelus tangannya. Dan tentu saja, sambil menahan air mata karena tak mau melepas ayah dengan tangis.

Lalu aku bangkit dengan niat mau bergabung dengan para perempuan yang berkumpul di ruang tamu. Namun kakiku terhenti saat melewati kaki ayah. Seketika teringat momen-momen saat aku memijat kakinya. Tidak, aku tak bisa melewatkannya. Akhirnya aku terduduk lagi di dekat jenazah ayah, kali ini di depan telapak kakinya. Aku pegang kedua kaki ayah yang tak bergerak itu. Dingin juga. Aku pijat perlahan untuk yang terakhir kalinya. Kenapa kok ayah seperti masih ada, ya? Sungguh, aku akan rindu sekali dengan raga yang jiwanya sudah berpulang ini. :'(

Rasanya aku ingin berlama-lama bersama jasad ayah yang nanti tak akan bisa kutemui lagi, tapi aku sadar kemelekatan yang terlalu erat tentu tidak sehat untuk jiwa. Akhirnya, saat sudah dirasa cukup, aku "lepas" jasad itu. Aku terima kepergiannya sambil berusaha melapangkan hati. Hak jenazah ayah pun dituntaskan dengan melakukan proses memandikan, mengafani, menyolatkan, hingga memakamkan. Ada perasaan lega saat jenazah ayah selesai dimakamkan, tunai sudah tugas kami mengantarkan ayah pulang. Bersamaan dengan itu, ada rindu yang harus kami tanggung sepulang dari pemakaman.

Sepekan pertama setelah ayah dimakamkan, rasanya aneh sekali. Ada masa-masa dimana aku bertanya dalam hati, beneran udah nggak ada ini teh ayah? Ibarat ruangan yang awalnya penuh dengan barang, lalu tiba-tiba kosong entah kemana isinya. Otakku seperti masih mencerna dan belum terbiasa dengan ketiadaan ini. Sudah terbiasa ada ayah, tapi sekarang udah nggak ada. Sudah terbiasa kalau berkunjung ke rumah mertua pasti ada ayah, tapi sekarang udah nggak ada ayah lagi di sana. Sudah terbiasa kalau mau ngontak ayah tinggal chat atau telepon, tapi sekarang udah nggak bisa lagi. Kayak lagi buffering gitu otaknya. Sedih dan bingung jadi satu.

Tapi yang lebih aneh lagi justru fase setelahnya. Setelah itu justru mikirnya jadi "Ih ini mah rasanya ayah masih ada.." Pernah ada momen aku lagi di motor mau ke rumah mertua, rasanya kayak lagi mau ketemu ayah. Kayak ayah masih ada aja gitu, lagi nungguin aku di rumahnya. Jikapun aku tak menemukan ayah di rumahnya, seperti ayah sedang pergi kerja saja. Ada "kehadiran" yang sulit dijelaskan, tapi ya rasanya kayak ayah masih ada aja. 

Dan walau saat ini sudah 1 bulan ayah berpulang, ayah seperti tetap hadir. Hanya saja, kehadiran ayah ada dalam bentuk yang lain. Walau jasad ayah kini sudah kembali ke bumi, tapi ayah tetap hidup dalam obrolan-obrolan kami tentang ayah yang tak pernah habis.

Beberapa kali aku bertemu dengan teman-teman ayah, hampir selalu terselip topik tentang ayah. Begitupun obrolanku bersama bunda atau adik-adik. Ada saja obrolan tentang ayah dan segala kebaikannya. Ayah tak pernah habis dibicarakan dan selalu tersimpan di hati setiap orang yang menyayanginya. Hal ini membuatku lega karena ternyata ayah begitu berbekas di banyak hati orang yang mengenalnya.

Inilah yang membuat ayah terasa tetap ada. Kebaikannya abadi dan masih terus diperbincangkan hingga hari ini. Segala memori tentangnya masih terus dikenang hingga hari ini. Pesan dan nasihatnya masih terus diingat sampai hari ini. Jejak-jejak juangnya masih dilanjutkan hingga hari ini. Dan insya Allah, masih banyak yang mendoakan ayah hingga hari ini.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu. Semoga Allah merahmatinya, memuliakannya, melapangkan dan menerangi kuburnya.

***

Ayah, sungguh bangga kami padamu. Begitu nyata legacy yang kau tinggalkan sehingga saat kau sudah dipanggil oleh-Nya pun, kau tetap hidup, menjadi teladan dan memberi kehidupan untuk kami yang kau tinggalkan. Kalau aku punya anak nanti, aku pasti akan ceritakan tentang kakeknya. Anak-anakku harus tahu siapa kakeknya. :)

Kau ternyata selalu ada, ya, Yah. Walau begitu, aku tetap rindu.

Senin, 29 April 2024

April

Sejak ayah berpulang, bulan April tak lagi sama di mataku. Rasanya aneh berulangtahun di bulan yang sama dengan bulan wafatnya ayah. Tapi mungkin ini cara Allah untuk mengingatkanku bahwa hari kelahiran justru adalah untuk merenungi hari kematian yang bisa datang kapan saja. Sebab berulangnya hari lahir berarti jatah usiaku semakin berkurang. Entah berapa lama lagi kesempatan hidup yang Allah berikan.

Terima kasih untuk Ramadhan tahun ini yang berhasil membuatku memandang hidup dari kacamata hari akhir. Sejak Ramadhan kemarin, aku belum pernah memikirkan kematian sesering ini --memikirkan seperti apa keadaanku saat mati nanti.

Dari kepulangan ayah di Ramadhan kemarin, aku banyak mendapat kisi-kisi bagaimana mengupayakan kematian yang indah. Aku menjadi lebih serius mencita-citakan kematianku sendiri agar husnul khatimah. Walau masih sesekali dibayangi rasa khawatir, akankah aku berpulang seperti yang aku idam-idamkan?

Mulai April tahun ini, rasanya hari lahir bukan lagi untuk dirayakan, melainkan untuk merenungi sudah sebanyak apa bekal pulang, sudah sesungguh-sungguh apa memproseskan takwa, serta untuk lebih menghargai dan mensyukuri orang-orang tersayang yang masih ada.

Semoga Allah perkenankan saat tiba waktunya pulang nanti.. aku bisa 'dijemput' dalam keadaan yang baik, dalam keadaan hidup yang lurus, dalam keadaan sedang beribadah dan berjuang untuk-Nya. Aamiin.. :')

Barakallah fi umriik, Na.. :)

Rabu, 24 April 2024

Mencari yang Tersirat

Aku selalu penasaran apa yang ada di kepala ayah sehingga semangat juangnya sehebat itu. Lalu aku mendapat rezeki yang membuat tanyaku sedikit terjawab.

Malam ini, bunda memberi lihat buku catatan ayah kepadaku. Tintanya masih baru sebab itu catatan ayah di bulan Maret. Tak sampai sebulan sebelum kepulangannya.

Secuplik yang bisa kubagi dari sekian banyak :)

Sebagai seseorang yang suka menulis, aku paham sekali bahwa ada banyak hal yang tersirat di balik yang tersurat. Membacanya, aku seperti sedang membaca isi pikiran ayah. Apa yang penting bagi ayah, apa yang memenuhi pikirannya, apa yang sedang diperjuangkannya dan apa yang melandasinya, semuanya tertuang dalam buku catatan yang masih baru itu.

Membacanya, aku bergumam dalam hati, tak heran kiprah ayah sehebat itu dan kematiannya seindah itu. Ternyata isi kepalanya hanya tentang program berdarmabakti kepada-Nya, bahkan hingga hari-hari terakhirnya. Apa yang ayah sampaikan di forum-forum diskusinya adalah apa yang tercatat pada bukunya. Apa yang ayah lakukan adalah implementasi dari apa yang tertuang dalam catatannya. Sungguh sangat walk the talk.

Ayah, hari ini aku belajar lagi darimu.
Masih dengan buku catatanmu di tanganku, aku menangis lagi.
Kali ini, aku menangisi diriku sendiri.
Menangisi diriku yang masih terseok memproseskan diri sebagai hamba-Nya.
Mempertanyakan diriku sendiri, bisakah aku mewarisi buah pikirmu dan meneladani jejak-jejak juangmu?
Semoga masih ada waktu untukku memperbaiki segala kurang hingga nanti bisa tersenyum saat tiba panggilan pulang.

Yah, di tahun-tahun terakhirmu, sering sekali aku mendengar kalimat "Ayah bangga sama kalian." yang kau ucapkan untuk anak-anakmu.

Malam ini, aku ingin bilang, aku bangga punya ayah seperti ayah.

Rabu, 17 April 2024

Rezeki

Suatu pagi di bulan Oktober, jam 8 pagi aku udah diajakin jalan-jalan dan jajan-jajan sama suami. Tujuan utamanya mau beli Kopi Aroma di tengah kota (jaraknya lumayan jauh dari rumah kami). Terus melipir beli dendeng batokok ijo favorit kami di deket terminal (udah lama banget ga makan ituu karena belinya jauhh huhu). Lanjut beli takoyaki mentai favorit di buah batu karena punya voucher diskon 20ribu yang batas berlakunya hari itu. What a perfect morning!

Kami nyampe rumah lagi jam 10an. Sambil nyuap takoyaki, suami nyeletuk, "Asalnya Aa mau ajak temen buat beli kopi dan makan dendeng bareng. Tapi dia nggak bisa dikontak. Mau ngajak adik, dianya masih tidur. Berarti ini mah rezeki kamu, Neng. Banyak rezekinya ya kamu teh."

"Iya alhamdulillah." Aku merespon sambil senyum seneng.

Tapi kemudian aku mikir. Yang bayar semua itu kan suami ya? Jadi yang sebenernya banyak rezeki siapa hayo? Aku atau suami? Wkwkwk. Bisa jadi suamiku yang sebenernya banyak rezeki karena sayang dan baik sama istrinya. Hehehe.

Alhamdulillah, i'm a lucky wife. I'm a happy wife. <3

***

Di hari yang lain, aku sedang berboncengan sama suami dan melihat "insiden" seorang bapak2 muda pengendara motor yang marah-marah ke supir taksi blue bird. Aku nggak sempat lihat duduk perkaranya, tapi keliatannya nggak ada yang jatuh atau terluka, jadi si bapak marah-marahnya kenapa juga kayak nggak jelas aja gitu. Kalau kata suami sih, katanya supir taksinya nggak nabrak, cuma ngeklakson aja. Tapi mungkin bapak itu lagi sensitif jadi ngegas benerr..

Dan bapak itu tuh nggak sendiri, ada istrinya yang duduk di jok belakang. Kuperhatiin istrinya cuma ngusap-usap punggung suaminya tanpa berkata sepatah katapun. Tapi si suami tetep marah-marah sampai si taksi berlalu.

Aku yang menyaksikan itu rasanya antara takut sekaligus heran. Ai si bapak kunaon..? Masalah hidupnya berat banget kayaknya ya.. :v

Lalu ada celetukan dari suami, "Itu dia ke orang lain yang nggak dikenal aja marah-marahnya sampe kayak gitu, gimana ke orang deket?"

"Ih iya, aku juga mikirin istrinya tadi. Jangan-jangan di rumahnya sering marah-marah juga. Heu.."

Lalu aku melanjutkan, "Untung suami aku mah baik." Sambil memberikan senyum yang nggak bisa dilihat suami karena posisiku di jok belakang.

Aku bersyukur dalam hati. Dan kayaknya doi mesem-mesem dalam hati karena tiba-tiba dipuji wkwk

Jumat, 12 April 2024

Rindu yang (Mungkin) Tak Akan Pernah Selesai

Sudah 5 hari sejak kepulangan ayah ke sisi-Nya. Dan sampai hari ini, pikiranku masih belum bisa lepas dari ayah. Terutama saat sedang sendiri, pasti yang diingat ayah. Otakku berusaha mengeluarkan memori-memori tentang ayah. Suaranya ayah, kebiasaan ayah sehari-hari, momen-momen bersama ayah, pesan-pesan dan perkataan ayah, apapun itu. Rasanya ingin kuakses semuanya karena ternyata banyak sekali hal yang tidak bisa kuingat. 

Pagi ini aku pindah tanam bibit melon yang sudah kusemai dan yang kuingat adalah ayah. "Teh, lagi nanam apa sekarang? Mana melon teh udah berbuah belum?" Ayah adalah orang yang selalu antusias bertanya tentang kegiatan berkebunku, sementara tak banyak orang yang kepengen tahu tentang itu.

"Sini peluk ayah dulu." adalah hal yang selalu diucapkan ayah saat menantunya ini datang atau pulang berkunjung dan menyalami tangannya. Tidak cukup mencium punggung tangannya, beberapa tahun terakhir ayah selalu minta dipeluk dan dicium kedua pipinya jika aku datang atau pulang ke rumah ayah. Awalnya aku kaget dan kagok, tapi lama kelamaan jadi nyaman dan terbiasa. Dan justru hal itu yang saat ini paling aku rindukan. Aku rindu memeluk dan dipeluk ayah T_T

Sebelum ini, kukira orang-orang yang sering menulis atau mem-publish tentang kematian orang tersayangnya adalah mereka yang belum selesai menerima takdir-Nya. Ternyata ini bukan tentang itu. Ini tentang rasa rindu yang tak tahu harus diungkapkan kepada siapa karena di dunia sudah tak mungkin bertemu. Ternyata aku pun begitu. Rasanya ingin kutulis semua tentang ayah agar besok-besok bisa kubaca dan kuingat-ingat lagi. Tersebab orangnya sudah tak lagi bisa kutemui, maka memori-memori itulah yang hari ini menjadi barang berharga yang tak ingin aku hilangkan.

Tapi mengakses memori bersamanya bukan tanpa resiko, beberapa memori harus dibayar dengan air mata dan rasa rindu yang semakin bertambah. Hhhh.. serba salah memang. Aku hanya berharap semoga nanti akan tiba masanya dimana saat aku mengingat ayah, emosi yang hadir adalah full rasa bahagia tanpa ada lagi rasa sedih dan kehilangan. Entahlah apakah bisa atau tidak, tapi harusnya bisa :)

Lalu pikiranku terbang memikirkan suami dan adik-adik iparku yang merupakan anak kandung ayah, juga bunda. Jika aku yang baru bertemu ayah 8 tahun lalu saja rasa rindunya seperti ini, apalagi mereka ya? Suami dan adik-adik ipar sudah bersama ayah sejak mereka lahir, tentu mereka punya memori lebih banyak lagi bersama ayah. Apalagi bunda yang sudah hampir 34 tahun hidup bersama ayah dan sudah mengenalnya sebelum itu. Belum lagi rumah yang setiap sudutnya menyimpan memori tentang ayah, sementara bunda dan adik-adik (yang tinggal di rumah bersama bunda), masih tinggal di situ. Semoga bunda, suami, dan adik-adik, Allah mampukan mengatasi rasa rindunya. 

Ternyata rindu ini berat, ya.. Dan sepertinya tak akan pernah selesai sampai nanti betul-betul bertemu lagi di kehidupan yang selanjutnya. Sejauh ini caraku mengatasinya adalah dengan menulis, mendoakan, dan terus berkata pada diri sendiri, "Berbahagialah, karena insya Allah saat ini ayah sedang berbahagia dan dimuliakan oleh Allah."

Hidup harus terus berjalan. Ayah sudah selesai tugasnya di dunia dengan membawa bekal yang banyak untuk menemui-Nya. Tinggal aku, dan semua yang masih hidup, yang masih harus mengumpulkan bekal agar bisa kembali pulang dengan selamat. Seperti doa kami semua di malam pertama Ramadhan saat itu, semoga kami bisa saling menyelamatkan di akhirat supaya nanti bisa sama-sama Allah kumpulkan lagi di surga. Aamiin..

Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu..