Senin, 29 April 2024

April

Sejak ayah berpulang, bulan April tak lagi sama di mataku. Rasanya aneh berulangtahun di bulan yang sama dengan bulan wafatnya ayah. Tapi mungkin ini cara Allah untuk mengingatkanku bahwa hari kelahiran justru adalah untuk merenungi hari kematian yang bisa datang kapan saja. Sebab berulangnya hari lahir berarti jatah usiaku semakin berkurang. Entah berapa lama lagi kesempatan hidup yang Allah berikan.

Terima kasih untuk Ramadhan tahun ini yang berhasil membuatku memandang hidup dari kacamata hari akhir. Sejak Ramadhan kemarin, aku belum pernah memikirkan kematian sesering ini --memikirkan seperti apa keadaanku saat mati nanti.

Dari kepulangan ayah di Ramadhan kemarin, aku banyak mendapat kisi-kisi bagaimana mengupayakan kematian yang indah. Aku menjadi lebih serius mencita-citakan kematianku sendiri agar husnul khatimah. Walau masih sesekali dibayangi rasa khawatir, akankah aku berpulang seperti yang aku idam-idamkan?

Mulai April tahun ini, rasanya hari lahir bukan lagi untuk dirayakan, melainkan untuk merenungi sudah sebanyak apa bekal pulang, sudah sesungguh-sungguh apa memproseskan takwa, serta untuk lebih menghargai dan mensyukuri orang-orang tersayang yang masih ada.

Semoga Allah perkenankan saat tiba waktunya pulang nanti.. aku bisa 'dijemput' dalam keadaan yang baik, dalam keadaan hidup yang lurus, dalam keadaan sedang beribadah dan berjuang untuk-Nya. Aamiin.. :')

Barakallah fi umriik, Na.. :)

Rabu, 24 April 2024

Mencari yang Tersirat

Aku selalu penasaran apa yang ada di kepala ayah sehingga semangat juangnya sehebat itu. Lalu aku mendapat rezeki yang membuat tanyaku sedikit terjawab.

Malam ini, bunda memberi lihat buku catatan ayah kepadaku. Tintanya masih baru sebab itu catatan ayah di bulan Maret. Tak sampai sebulan sebelum kepulangannya.

Secuplik yang bisa kubagi dari sekian banyak :)

Sebagai seseorang yang suka menulis, aku paham sekali bahwa ada banyak hal yang tersirat di balik yang tersurat. Membacanya, aku seperti sedang membaca isi pikiran ayah. Apa yang penting bagi ayah, apa yang memenuhi pikirannya, apa yang sedang diperjuangkannya dan apa yang melandasinya, semuanya tertuang dalam buku catatan yang masih baru itu.

Membacanya, aku bergumam dalam hati, tak heran kiprah ayah sehebat itu dan kematiannya seindah itu. Ternyata isi kepalanya hanya tentang program berdarmabakti kepada-Nya, bahkan hingga hari-hari terakhirnya. Apa yang ayah sampaikan di forum-forum diskusinya adalah apa yang tercatat pada bukunya. Apa yang ayah lakukan adalah implementasi dari apa yang tertuang dalam catatannya. Sungguh sangat walk the talk.

Ayah, hari ini aku belajar lagi darimu.
Masih dengan buku catatanmu di tanganku, aku menangis lagi.
Kali ini, aku menangisi diriku sendiri.
Menangisi diriku yang masih terseok memproseskan diri sebagai hamba-Nya.
Mempertanyakan diriku sendiri, bisakah aku mewarisi buah pikirmu dan meneladani jejak-jejak juangmu?
Semoga masih ada waktu untukku memperbaiki segala kurang hingga nanti bisa tersenyum saat tiba panggilan pulang.

Yah, di tahun-tahun terakhirmu, sering sekali aku mendengar kalimat "Ayah bangga sama kalian." yang kau ucapkan untuk anak-anakmu.

Malam ini, aku ingin bilang, aku bangga punya ayah seperti ayah.

Rabu, 17 April 2024

Rezeki

Suatu pagi di bulan Oktober, jam 8 pagi aku udah diajakin jalan-jalan dan jajan-jajan sama suami. Tujuan utamanya mau beli Kopi Aroma di tengah kota (jaraknya lumayan jauh dari rumah kami). Terus melipir beli dendeng batokok ijo favorit kami di deket terminal (udah lama banget ga makan ituu karena belinya jauhh huhu). Lanjut beli takoyaki mentai favorit di buah batu karena punya voucher diskon 20ribu yang batas berlakunya hari itu. What a perfect morning!

Kami nyampe rumah lagi jam 10an. Sambil nyuap takoyaki, suami nyeletuk, "Asalnya Aa mau ajak temen buat beli kopi dan makan dendeng bareng. Tapi dia nggak bisa dikontak. Mau ngajak adik, dianya masih tidur. Berarti ini mah rezeki kamu, Neng. Banyak rezekinya ya kamu teh."

"Iya alhamdulillah." Aku merespon sambil senyum seneng.

Tapi kemudian aku mikir. Yang bayar semua itu kan suami ya? Jadi yang sebenernya banyak rezeki siapa hayo? Aku atau suami? Wkwkwk. Bisa jadi suamiku yang sebenernya banyak rezeki karena sayang dan baik sama istrinya. Hehehe.

Alhamdulillah, i'm a lucky wife. I'm a happy wife. <3

***

Di hari yang lain, aku sedang berboncengan sama suami dan melihat "insiden" seorang bapak2 muda pengendara motor yang marah-marah ke supir taksi blue bird. Aku nggak sempat lihat duduk perkaranya, tapi keliatannya nggak ada yang jatuh atau terluka, jadi si bapak marah-marahnya kenapa juga kayak nggak jelas aja gitu. Kalau kata suami sih, katanya supir taksinya nggak nabrak, cuma ngeklakson aja. Tapi mungkin bapak itu lagi sensitif jadi ngegas benerr..

Dan bapak itu tuh nggak sendiri, ada istrinya yang duduk di jok belakang. Kuperhatiin istrinya cuma ngusap-usap punggung suaminya tanpa berkata sepatah katapun. Tapi si suami tetep marah-marah sampai si taksi berlalu.

Aku yang menyaksikan itu rasanya antara takut sekaligus heran. Ai si bapak kunaon..? Masalah hidupnya berat banget kayaknya ya.. :v

Lalu ada celetukan dari suami, "Itu dia ke orang lain yang nggak dikenal aja marah-marahnya sampe kayak gitu, gimana ke orang deket?"

"Ih iya, aku juga mikirin istrinya tadi. Jangan-jangan di rumahnya sering marah-marah juga. Heu.."

Lalu aku melanjutkan, "Untung suami aku mah baik." Sambil memberikan senyum yang nggak bisa dilihat suami karena posisiku di jok belakang.

Aku bersyukur dalam hati. Dan kayaknya doi mesem-mesem dalam hati karena tiba-tiba dipuji wkwk

Jumat, 12 April 2024

Rindu yang (Mungkin) Tak Akan Pernah Selesai

Sudah 5 hari sejak kepulangan ayah ke sisi-Nya. Dan sampai hari ini, pikiranku masih belum bisa lepas dari ayah. Terutama saat sedang sendiri, pasti yang diingat ayah. Otakku berusaha mengeluarkan memori-memori tentang ayah. Suaranya ayah, kebiasaan ayah sehari-hari, momen-momen bersama ayah, pesan-pesan dan perkataan ayah, apapun itu. Rasanya ingin kuakses semuanya karena ternyata banyak sekali hal yang tidak bisa kuingat. 

Pagi ini aku pindah tanam bibit melon yang sudah kusemai dan yang kuingat adalah ayah. "Teh, lagi nanam apa sekarang? Mana melon teh udah berbuah belum?" Ayah adalah orang yang selalu antusias bertanya tentang kegiatan berkebunku, sementara tak banyak orang yang kepengen tahu tentang itu.

"Sini peluk ayah dulu." adalah hal yang selalu diucapkan ayah saat menantunya ini datang atau pulang berkunjung dan menyalami tangannya. Tidak cukup mencium punggung tangannya, beberapa tahun terakhir ayah selalu minta dipeluk dan dicium kedua pipinya jika aku datang atau pulang ke rumah ayah. Awalnya aku kaget dan kagok, tapi lama kelamaan jadi nyaman dan terbiasa. Dan justru hal itu yang saat ini paling aku rindukan. Aku rindu memeluk dan dipeluk ayah T_T

Sebelum ini, kukira orang-orang yang sering menulis atau mem-publish tentang kematian orang tersayangnya adalah mereka yang belum selesai menerima takdir-Nya. Ternyata ini bukan tentang itu. Ini tentang rasa rindu yang tak tahu harus diungkapkan kepada siapa karena di dunia sudah tak mungkin bertemu. Ternyata aku pun begitu. Rasanya ingin kutulis semua tentang ayah agar besok-besok bisa kubaca dan kuingat-ingat lagi. Tersebab orangnya sudah tak lagi bisa kutemui, maka memori-memori itulah yang hari ini menjadi barang berharga yang tak ingin aku hilangkan.

Tapi mengakses memori bersamanya bukan tanpa resiko, beberapa memori harus dibayar dengan air mata dan rasa rindu yang semakin bertambah. Hhhh.. serba salah memang. Aku hanya berharap semoga nanti akan tiba masanya dimana saat aku mengingat ayah, emosi yang hadir adalah full rasa bahagia tanpa ada lagi rasa sedih dan kehilangan. Entahlah apakah bisa atau tidak, tapi harusnya bisa :)

Lalu pikiranku terbang memikirkan suami dan adik-adik iparku yang merupakan anak kandung ayah, juga bunda. Jika aku yang baru bertemu ayah 8 tahun lalu saja rasa rindunya seperti ini, apalagi mereka ya? Suami dan adik-adik ipar sudah bersama ayah sejak mereka lahir, tentu mereka punya memori lebih banyak lagi bersama ayah. Apalagi bunda yang sudah hampir 34 tahun hidup bersama ayah dan sudah mengenalnya sebelum itu. Belum lagi rumah yang setiap sudutnya menyimpan memori tentang ayah, sementara bunda dan adik-adik (yang tinggal di rumah bersama bunda), masih tinggal di situ. Semoga bunda, suami, dan adik-adik, Allah mampukan mengatasi rasa rindunya. 

Ternyata rindu ini berat, ya.. Dan sepertinya tak akan pernah selesai sampai nanti betul-betul bertemu lagi di kehidupan yang selanjutnya. Sejauh ini caraku mengatasinya adalah dengan menulis, mendoakan, dan terus berkata pada diri sendiri, "Berbahagialah, karena insya Allah saat ini ayah sedang berbahagia dan dimuliakan oleh Allah."

Hidup harus terus berjalan. Ayah sudah selesai tugasnya di dunia dengan membawa bekal yang banyak untuk menemui-Nya. Tinggal aku, dan semua yang masih hidup, yang masih harus mengumpulkan bekal agar bisa kembali pulang dengan selamat. Seperti doa kami semua di malam pertama Ramadhan saat itu, semoga kami bisa saling menyelamatkan di akhirat supaya nanti bisa sama-sama Allah kumpulkan lagi di surga. Aamiin..

Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu..

Rabu, 10 April 2024

Jamuan Ramadhan dan Hidangan Penutupnya

"Alhamdulillah terasa sekali banyak peluang amal shaleh dan banyak peluang digugurkannya dosa-dosa di Ramadhan tahun ini. Walau begitu, peluang tersebut bisa saja menjadi kesempatan yang hilang jika tidak ada keikhlasan dalam menjalani takdir demi takdir dari-Nya. Semoga Allah mampukan untuk ikhlas dan ridho "diperjalankan" oleh Allah supaya pahala dan ampunannya beneran dapet. Allahumma innaka 'afuwwun kariim, tuhibbul 'afwa fa'fuannaa.."

***

28 Ramadhan 1445 H, 7 April 2024, hari Ahad. Pukul 14:58 WIB di ruang ICU Rumah Sakit Al-Islam, Allah panggil salah satu hamba kesayangan-Nya. Alhamdulillah, di usianya yang ke 58, ayah (mertua) berpulang di bulan yang baik, di hari yang baik, di waktu menjelang ashar.

Ramadhan kali ini banyak sekali jamuan yang Allah hidangkan. Dan ternyata hidangan penutupnya adalah nasihat kematian. Sedih karena kini aku sudah tidak bisa bertemu dan memeluk ayah lagi, tapi juga bahagia sebab kepulangannya begitu indah yang diam-diam membuatku iri, bisakah kelak saat Allah panggil pulang nanti, aku juga bisa membawa bekal yang banyak seperti ayah untuk bertemu Allah? :')

Ada banyak hal yang ingin kuceritakan tentang ayah, tapi biarkan aku bercerita dulu bagaimana Ramadhanku berjalan sejak hari pertama. Malam pertama Ramadhan di tahun ini adalah malam yang paling aku syukuri dan mungkin tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Malam itu adalah malam dimana aku dan keluarga suami (ayah, bunda, semua anak-anak dan mantu) berkumpul untuk saling mengobrol dari hati ke hati. Obrolan yang dalam sekali sampai semua orang bebas mengungkapkan segala unek-unek dan ganjalannya satu sama lain. Obrolan kami berlangsung lama sekali dari setelah tarawih hingga menjelang sahur. Ya, malam itu kami tidak tidur.

Ada banyak air mata yang tumpah, tapi ada lebih banyak lagi rasa syukur yang tumpah. Malam itu, tuntas semua hal-hal yang mengganjal di hati. Malam itu, kami saling islah dan memaafkan. Saling memberi pesan dan menunjukkan rasa sayang. Dan setelah ayah berpulang, aku baru menyadari bahwa sepertinya segala kejadian di malam itu adalah hadiah dari Allah untuk ayah. Sebab ayah berpulang dalam kondisi ayah sudah ridho dan memaafkan anak-anaknya serta anak-anaknya pun ridho dan sudah memaafkan ayah. Malam itu betul-betul menjadi awal yang baik untuk mengawali Ramadhan. Lalu dimulailah pendidikan dari Allah melalui Ramadhan ini…

Aku sakit di hari ke-3 Ramadhan. Demam, badan linu, lemes, mual, entah sakit apa, tapi cukup membuat aku kepayahan terutama di 3 hari pertama sakit. Alhamdulillah Allah beri kesembuhan dan bisa beredar lagi setelah 6 hari bedrest. Dan ternyata Allah tetap beri kekuatan untuk bisa shaum (karena kalaupun nggak shaum karena sakit, kerjaanku cuma di kasur dan makan pun cuma masuk dikit, jadi mending shaum aja sekalian ya kan wkwk), bahkan tanpa diduga Allah masih memberi kekuatan untuk nggak skip tarawih dan bisa tetep tadarus 1 hari 1 juz. Walaupun rasanya struggling bangett.. Alhamdulillah selalu ada kemudahan bersama kesulitan. Setelah sakit alhamdulillah bisa keluar rumah lagi, bersilaturahim lagi, beribadah dengan lebih mudah karena badan sudah lebih kuat, dan ada beberapa amanah yang aku kerjakan juga.

Malam ke-13 Ramadhan aku berkesempatan mabit bersama sahabat-sahabat terdekatku. Sudah menjadi agenda tahunan tiap Ramadhan kami selalu mengagendakan mabit bersama. Aku diminta mengisi sharing session untuk belasan perempuan yang hadir malam itu dan setelahnya ada sesi sharing lagi menyampaikan rasa syukur dan harapan atas dipertemukannya dan diperjalankannya kami semua oleh Allah. Lagi-lagi Allah menganugerahkan malam yang indah untuk saling belajar dan merekatkan ikatan ukhuwah kami. Alhamdulillah..

Hari ke-18 Ramadhan, subhanallah aku diuji sakit lagi. Kali ini sakitnya dari sakit gigi yang bikin demam, sakit kepala, mual, dan… badmood (wkwk). Demam karena sakit gigi ini berlangsung 4 hari dan lumayan struggling karena di sakit kali ini aku ada agenda-agenda yang nggak bisa di skip. Soalnya sakit gigi tuh sakit yang agak nanggung sebenernya ya, dibilang sakit kayaknya nggak sakit-sakit banget, tapi dibilang nggak sakit juga da badannya nggak enakeun buat diajak ngapa-ngapain hahaha. Jadi ya udah disabarin aja wk.

Hari ke-20 Ramadhan, walau masih dalam kondisi sakit gigi dan agak demam, tapi aku bersyukur karena di hari itu aku berkesempatan mendampingi ayah mengisi sebuah diskusi Ramadhan. Ayah meminta aku duduk di sebelahnya dan aku mendengar dan mencatat apa-apa yang disampaikannya. Hari itu ayah bersemangat sekali berbagi ilmu walau seberesnya ayah berkeringat banyak sekali. Besok dan besoknya lagi, ada forum-forum lain yang juga ayah isi. Itulah ayah, selalu bersemangat untuk menjemput amal-amal shalehnya.

Sampai tibalah hari yang mengagetkan itu datang. Siang hari di tanggal 24 Ramadhan, Bunda tiba-tiba menelepon menyuruh semua anak-anaknya yang sudah menikah (karena sudah beda rumah) untuk segera pulang dan melihat kondisi ayah. Dalam kondisi bingung namun khawatir karena suara bunda terdengar parau, aku dan suami bergegas pergi ke rumah ayah. Saat sampai, ayah sedang dituntun dzikir oleh adik iparku. Alhamdulillah kondisinya sadar dan masih bisa mengikuti berdzikir. Ternyata sebelum itu ayah sempat kejang selama 5 menit, yang setelahnya baru diketahui bahwa ayah terkena serangan stroke. Badan sebelah kirinya sulit digerakkan. Sore itu, ayah segera dilarikan ke IGD. 

Di IGD sambil menunggu ruangan, ayah masih bisa kami ajak ngobrol bahkan masih sempat-sempatnya bercanda. Minum susu, minum obat, ditunggui bergantian oleh anggota keluarga sampai akhirnya menjelang tengah malam ayah bisa masuk ruangan untuk dirawat. Malam itu aku khawatir tapi tetap optimis ayah insya Allah akan sembuh. Setelah ayah dirawat di ruangan, anak-anak dan bunda membuat jadwal untuk bergantian jaga di rumah sakit.

Sayangnya, aku ada kegiatan kepanitiaan sanlat selama 3 hari jadi aku belum bisa ikutan jaga di RS sampai tanggal 27 Ramadhan. Jujur, pikiranku bercabang. Dan semakin khawatir setiap kali mendapat update kabar ayah di grup WA keluarga.

Ayah masuk ICU di hari ketiganya di rumah sakit dan saat ayah masuk ICU aku masih belum bisa menjenguk ayah. Pulang sanlat, sore harinya di jam besuk aku langsung ke rumah sakit menengok ayah karena rasanya sudah kangen sekali. Sedih sekali melihat kondisi ayah dengan berbagai selang dan ventilator yang dipasang dimulutnya untuk membantunya bernafas. Ayah sudah tidak sadar sejak dirawat di ICU.

Aku berusaha tegar dan bicara di telinga ayah. Aku bercerita tentang kegiatan sanlat, menyampaikan betapa aku kangen sama ayah, membacakan doa-doa tentang kesembuhan, memberi semangat kepada ayah untuk sembuh, menyampaikan siapa saja orang-orang yang hari itu menjenguk ayah, dan meminta doa karena aku dan Novie (menantunya ayah juga) ada agenda mengisi zoom sharing Ramadhan sekaligus galang dana infaq Ramadhan. Aku bicara di telinga ayah cukup lama, bercerita seolah-olah ayah mendengarku. Bukan tanpa alasan, karena ayah memang selalu seantusias itu mendengar cerita anak-anaknya. Jadi kupikir, ayah pasti ingin tau update kegiatan anak-anaknya.

Kata dokter, ayah kondisinya tak sadar dan memang tidak bisa menjawab saat aku bercerita. Tapi aku senang sekali karena sore itu aku melihat beberapa respon dari ayah. Seperti beberapa kali menelan, satu kali mulutnya bergerak dan matanya sempat seperti mau terbuka. Entahlah apakah itu betul respon dari ayah atau hanya gerak motorik otomatis. Tapi yang pasti aku senang dan merasa ayah sedang mendengarkan.

Esoknya, aku dan suami memutuskan jaga di RS pagi hingga siang. Namun hari itu kondisi ayah terus menurun. Berkali-kali kami dipanggil dokter ke ruang ICU menjelaskan kondisi ayah yang semakin menurun dan bisa henti jantung sewaktu-waktu. Keluarga diminta bersiap untuk kemungkinan terburuk. Haahhh rasanya nano-nano. Menyalakan harapan sambil menyiapkan hati untuk kemungkinan terburuk itu sulit sekaliiii..

Saat itu rasanya ingin standby aja di RS tapi aku harus mengisi zoom jam 15.30. Sekitar jam 2 siang aku dan suami berganti jaga dengan adik iparku dan suaminya. Sebelum pulang, aku sempat berbisik kepada ayah, "Ayah, ayah harus terus berjuang untuk sembuh ya sampai Allah menurunkan ketetapan-Nya.. Kalaupun akhirnya Allah menurunkan ketetapan ayah harus pulang, insya Allah kami ikhlas. Tapi sebelum ketetapan itu datang, ayah jangan menyerah untuk sembuh ya.." Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tidak menangis di depan ayah.

Ternyata di perjalanan pulang, kabar demi kabar berdatangan di grup WA keluarga. Ayah sempat dikabarkan henti jantung. Kemudian nadinya sempat kembali setelah di pompa jantung. Namun 5 menit kemudian ayah meninggal dunia. Aku sudah di rumah saat adik iparku menelepon menyampaikan berita kepulangan ayah. Aku dan suami menangis. Satu orang yang kami cintai kini telah pergi menghadap Rabb-nya. Innalillahi wa innailaihi rajiun.. Saat itu juga zoom aku batalkan dan aku langsung kembali ke RS setelah shalat ashar.

Prosesi memandikan, mengafani dan menyolatkan pun segera dilakukan di rumah. Lalu Ayah dimakamkan beberapa menit sebelum adzan isya. Saat itu malam hari, tapi masya Allah banyak sekali yang melayat. Banyak yang sayang sama ayah. Banyak yang kehilangan. Dan banyak yang mendoakan ayah. Aku sedih, tapi lega dan bahagia karena ayah dipanggil pulang insya Allah dalam kondisi terbaiknya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya.

Semoga ayah husnul khatimah, mendapatkan rahmat dan ampunan-Nya, dan telah gugur dosa-dosanya saat Allah beri sakit. Kini, ayah yang selalu bersemangat menjemput peluang-peluang amal shaleh sepanjang hidupnya, sudah Allah istirahatkan dari tugas-tugasnya di dunia.

Diam-diam aku merasa iri pada ayah. Ayah betul-betul membawa bekal pulang yang banyak untuk bertemu Allah. Walau aku merasa khawatir kepada diriku sendiri, bisakah kepulanganku nanti juga seindah itu? Semoga.

Itulah cerita Ramadhanku. Masya Allah sekali hidangan Allah di Ramadhan ini, tapi insya Allah ini hidangan yang sehat untuk iman. Zoom sharing Ramadhanku akhirnya dilaksanakan besok sorenya. Dan alhamdulillah Allah masih memampukan menyelesaikan khatam tadarus al-Quran di sore terakhir Ramadhan walau dengan segala ke-hectic-an yang ada.

Semoga segala tempaan di Ramadhan tahun ini mampu aku sikapi dengan benar sehingga mengundang rahmat dan ampunan-Nya. Rabbana taqobbal minna, innaka antassamii'ul 'aliim..

***

Yah, aku sedih. Aku merasa kehilangan. Ayah baik sekali dan aku merasa sangat disayang oleh ayah. Tapi aku yakin, saat ini Allah sedang menggembirakan dan memuliakan ayah. Semoga kami bisa menggembirakan ayah dengan meneruskan segala kebaikan dan perjuangan ayah. Terima kasih sudah menjadi teladan yang mengajari kami bagaimana seharusnya hidup dan bagaimana seharusnya mati. Selamat berbahagia, Yah. Sampai bertemu lagi di keabadian, dalam ridho dan limpahan rahmat-Nya. Aamiin.

Rabu, 03 April 2024

Sampai Titik Mana Aku Diuji?

"Kenapa sih aku diuji lagi, diuji lagi? Kenapa masalah hidup kok ada teruus? Sebenernya Allah mau bawa aku kemana sih?" Pernah nggak mikir begini?

Memangnya sampai titik mana sih Allah ingin menguji kita di dunia? Sampai titik mana sih Allah ingin menempa kita dengan segala amanah yang ada?

Sampai titik keAKUan kita 0%.

Ya, sampai setiap gerak dan niat kita sama sekali tidak digerakkan oleh keinginan maupun ego diri. 100% KARENA dan UNTUK Allah saja.

Berat? Sangat berat. Yang menulis ini pun masih berjuang untuk bisa meng-nol-kan diri di hadapan Allah. Tapi perjuangan hidup di dunia memang begitu. Berjuang untuk menjadi hamba Allah yang sepenuh-penuhnya.

Setiap perintah dan larangan-Nya adalah ujian. Mampukah kita tunduk dan taat tanpa tapi?

Setiap nikmat dari-Nya adalah ujian. Mampukah kita tetap MENJADI hamba saat dunia ditundukkan untuk kita?

Setiap kehilangan adalah ujian. Mampukah kita rela melepas apa-apa yang sebenarnya tak pernah kita miliki?

Setiap "panggilan" adalah ujian. Mampukah kita memprioritaskan undangan Allah di atas agenda diri?

Selayaknya para shahabat dan mujahid yang jika ada panggilan jihad, semua rela ditinggalkan. Saat keAKUan sudah nol, jangankan harta dan keluarga, jiwa dan nyawa pun rela dipersembahkan untuk-Nya.

Maka tak heran jika syuhada itu Allah beri jalur VVIP untuk masuk syurga. Mulus tanpa hisab. Sebab sudah tak ada lagi keinginan diri, semua hanyalah tentang keinginan Allah. Semua keinginan diri diselaraskan dengan keinginan-Nya.

Berat? Ya. Sekali lagi, inii beratt sekali.

Walaupun begitu, kita tetap tak ingin berhenti mencita-citakannya, bukan? Sebab Allah yang Maha Penyayang lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil. Selama kita berupaya terus berproses dan berprogres walau hanya 1% setiap harinya, insya Allah Tuhan kita yang Maha Pengasih tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun kebaikan itu.

Mari terus berikhtiar sembari berharap, semoga saat Allah panggil pulang nanti, kita bisa sampai pada keAKUan yang sudah nol.

Dan Ramadhan adalah salah satu kesempatan terbaik untuk berlatih mengikis segala keAKUan di dalam diri. Selamat berjuang, kita! 🏃🏃🏃



#RamadhanReflection