Sejak dulu hingga sekarang, aku selalu sama: tidak pantas untuk menjadi seorang pengeluh di hadapan orang lain. Tidak pantas jika aku meminta bertemu, hanya untuk menceritakan sekelumit masalah hidup yang mengganggu pikiranku.
Bahkan setelah menikahpun begitu. Aku kira aku bisa bebas menangis dalam dekapannya. Aku kira aku bisa mengeluhkan ini itu, hal-hal yang membuatku merasa tidak puas dengan hidup. Tapi ternyata tidak. Suamiku sudah berkorban banyak. Rasanya tidak pantas jika kutambah-tambahi dengan masalah yang seharusnya bisa kutangani sendiri.
Pada akhirnya, aku tetaplah diriku yang sama, yang sama sekali tak pantas untuk mengadukan masalah kehidupannya kepada manusia. Semesta seperti tidak mengizinkanku melakukannya.
Mungkin aku memang terlahir untuk menjadi pelipur lara bagi orang lain.
Mungkin aku memang terlahir untuk menjadi penyapu kegelisahan orang lain.
Mungkin aku dititipkan misi untuk menyelamatkan manusia agar tidak tenggelam dalam silaunya dunia.
Mungkin aku diembankan tugas sebagai penebar kebahagiaan, dan haram hukumnya menjadi beban bagi orang lain, karena aku yang diberi kapasitas lebih untuk menampung segala cerita pilu orang lain, untuk kuolah lagi menjadi sesuatu yang menguatkan dan menginspirasi lebih banyak orang.
Mungkin aku dianugerahi kemampuan untuk merubah tangis menjadi senyum, dari duka menjadi suka, dari luka menjadi bahagia.
Oh, ayolah wahai diri. Bagaimana jika kita baca lagi kalimat-kalimat di atas dengan menghapus kata "mungkin" di dalamnya, lalu susunannya kita balik?
Aku memang terlahir untuk menjadi pelipur lara bagi orang lain.
Aku memang terlahir untuk menjadi penyapu kegelisahan orang lain.
Aku dititipkan misi untuk menyelamatkan manusia agar tidak tenggelam dalam silaunya dunia.
Aku diembankan tugas sebagai penebar kebahagiaan, dan haram hukumnya menjadi beban bagi orang lain, karena aku yang diberi kapasitas lebih untuk menampung segala cerita pilu orang lain, untuk kuolah lagi menjadi sesuatu yang menguatkan dan menginspirasi lebih banyak orang.
Aku dianugerahi kemampuan untuk merubah tangis menjadi senyum, dari duka menjadi suka, dari luka menjadi bahagia.
Karenanya...
Sejak dulu hingga sekarang, aku selalu sama: tidak pantas untuk menjadi seorang pengeluh di hadapan orang lain. Tidak pantas jika aku meminta bertemu, hanya untuk menceritakan sekelumit masalah hidup yang mengganggu pikiranku.
Bahkan setelah menikahpun begitu. Aku kira aku bisa bebas menangis dalam dekapannya. Aku kira aku bisa mengeluhkan ini itu, hal-hal yang membuatku merasa tidak puas dengan hidup. Tapi ternyata tidak. Suamiku sudah berkorban banyak. Rasanya tidak pantas jika kutambah-tambahi dengan masalah yang seharusnya bisa kutangani sendiri.
Pada akhirnya, aku tetaplah diriku yang sama, yang sama sekali tak pantas untuk mengadukan masalah kehidupannya kepada manusia. Semesta seperti tidak mengizinkanku melakukannya.
Lebih tepatnya, aku tidak bisa melakukannya, karena aku memang didesain seperti itu. Karena mengeluh, sama sekali bukan tujuan diciptakannya aku.
Katanya, kalau mau mengeluh, cukup kepada Dia, Sang Pemberi Misi. Itupun, kalau merasa pantas... Hihi.
Bahkan di mata dan di hatikupun, Dia terlalu baik untuk diberikan keluhan. Karena nikmat dari-Nya selalu jauh melebihi dari yang aku minta, di saat wujud terima kasih yang aku beri justru hanya seadanya. Malu.