Selasa, 31 Agustus 2021

Enjoy Your Every Growth

Ada kalanya, aku yang ritme hidupnya cenderung slow-but-sure ini, tiba-tiba ingin lari dan ingin buru-buru sampai. I think I should do better, I think I can do more, I need to accelerate myself. Pikiran-pikiran semacam itu biasanya muncul dalam beberapa bulan sekali. Tidak salah sih, tapi ternyata ketergesa-gesaan itu yang justru bikin aku kewalahan sendiri.

Ada kalanya aku silau dengan panggung orang lain, merasa bahwa jika orang lain sudah sampai di titik tertentu, aku juga harus segera sampai di titik itu. Padahal aku juga punya perjalananku sendiri dan hanya perlu menjalani semuanya seoptimal yang aku bisa. 

Enjoy every step, e-v-e-r-y step. Nanti lama-lama juga kamu akan sampai. Kamu hanya perlu melakukan apa yang kamu bisa, melakukan hal-hal baik yang membawa manfaat, menyambut peluang-peluang amal shalih yang Allah hadirkan. Nanti juga kamu akan jadi besar dan sampai di garish finish-mu sendiri.

Betul, fokus ke depan memang perlu. Tapi coba berhenti sejenak dan lihat sudah berapa banyak anak tangga yang berhasil kau tapaki di bawah sana. Sudahkah mensyukuri pencapaianmu hari ini?

Terkadang, saking inginnya mengejar sesuatu, kita jadi lupa untuk mensyukuri satu demi satu anak tangga yang sudah kita lalui. Lupa menikmati dan menghargai setiap proses dari tumbuhnya diri.

Tugasmu hanyalah terus dan terus tumbuh. Menguatkan akar, mengokohkan batang, meninggikan cabang, merimbunkan ranting, menghasilkan buah. Sampai bagaimana? Tidak ada batasnya. Bertumbuh tidak ada batasnya, bukan?

Tidak ada pohon yang akan berhenti tumbuh selama dia masih hidup. Dan tidak ada indikator kapan sebuah pohon dikatakan telah mencapai batas optimalnya.

Apakah jika tingginya sudah puluhan meter? Atau jika lebarnya sudah belasan meter? Atau jika sudah menghasilkan buah sekian ratus ribu? Tidak, kan? Selama dia hidup, dia akan terus tumbuh. Tanpa batas.

Sampai penciptanya sendiri yang memutuskan batasnya, yaitu ketika pohon itu akhirnya mati. Barulah ia berhenti tumbuh.

Maka, bertumbuh bukanlah tentang seberapa tinggi kamu meraih langitmu, melainkan tentang tetap bertumbuhnya dirimu inci demi inci, sampai Allah sendiri yang kelak memutuskan kapan kamu harus berhenti.

So, just keep growing and enjoy your every growth.

Senin, 30 Agustus 2021

Menyalakan Kembali Pijar Hati

 *dikutip dari Monday Love Letter #136, yang kutulis untuk Sister of Deen


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Alhamdulillah, masih dalam nuansa pergantian tahun hijriyah, semoga api semangat dalam diri kita terus berkobar untuk terus berupaya menjadi hamba Allah yang lebih baik lagi. Bertepatan juga dengan bulan Agustus yang identik dengan kemerdekaan, semoga kita bisa menjadi hamba yang merdeka, yang terbebas dari segala hal yang berpotensi menghambat penghambaan kita kepada-Nya. Sebab, hanya di dalam kepengaturan-Nya-lah kita bisa meraih kemerdekaan sejati, yakni merdeka dalam beribadah hanya kepada-Nya.

Apa kabarmu, sister? Bagaimana kabar keimananmu? Bagaimana hubunganmu dengan Allah saat ini, apakah sedang sangat dekat atau justru sedang merenggang? Bagaimana kualitas shalatmu dan ibadahmu yang lain, apakah tetap mampu mempertahankan kekhusyukan atau hanya sekedar menjalankan rutinitas dan menggugurkan kewajiban semata?

Makin hari, rasanya makin berat saja ya untuk bertahan dalam menampilkan performa terbaik sebagai seorang hamba. Kita pernah berada dalam masa dimana pintu masjid terbuka lebar untuk siapapun dan sebanyak apapun orang. Kita pernah berada dalam masa dimana kajian digelar dimana-mana, dari mulai di masjid besar sampai di rumah guru-guru kita. Support system dalam menjaga iman tersebar dimana-mana, mudah sekali menemukan tempat "isi ulang" untuk jiwa-jiwa kita yang rapuh dan hampa. Beruntunglah jika kamu masih bisa menjaga iman dalam situasi seperti ini.

Saya pernah berada pada masa dimana jiwa terasa begitu kosong. Berminggu-minggu terlewati dengan perasaan gelisah. Aktivitas dilakukan dengan perasaan hampa. Berusaha menghibur diri dengan pergi ke alam, menonton ceramah atau video motivasi, bersilaturahim dengan teman, terkadang curhat juga, namun tetap saja, kosong. Seperti ada lubang besar di dalam hati dan saya tidak tahu lagi harus mengisinya dengan apa.

Lama kelamaan, ibadah mulai kehilangan maknanya. Dijalankan hanya sebatas rutinitas saja. Beberapa amalan rutin harian ditinggalkan, tergantikan oleh aktivitas lain yang sama sekali tidak mendatangkan manfaat. Ah, biar sajalah buang-buang waktu seperti ini, pikirku saat itu. Sedih sekali jika saya ingat kembali masa itu. Saat saya seharusnya sedang merasa paling butuh dengan Allah, malah dengan sengaja menjauh dan mengabaikan-Nya. Sebuah kesalahan dan kebodohan yang nyata dari seorang hamba yang tidak tahu diri.

Setelah sekian lama, akhirnya saya merasa lelah. Lelah berlari dari-Nya. Lelah karena terus-menerus menolak fitrah jiwa yang terus memberi sinyal bahwa jalan yang saya tempuh sudah salah dan melenceng dari jalur. Ada rasa gelisah dan rasa bersalah yang tidak bisa saya hindari sehingga membuat saya akhirnya berhenti dan berbalik arah, mencoba menemukan kembali arah jalan "pulang".

Ternyata, proses kembali tersebut tidak semulus yang saya bayangkan. Saat saya mulai kembali membaca al-Quran dengan harapan diri ini dapat kembali tercahayai, ternyata hati saya tetap hampa. Saat saya berusaha khusyuk dalam shalat, saya sulit sekali merasa terhubung dengan-Nya, sekuat apapun saya berusaha fokus. Saat saya bersilaturahim atau menghadiri kajian untuk berusaha "mengisi ulang" jiwa, tetap saja tidak mampu mengisi bejana jiwa saya yang kosong. Ya Allah, kenapa? Ada apa ini? Kondisi ini lebih membuat saya gelisah, seakan sedang tersesat dan tidak juga bertemu jalan pulang. Saya seperti sedang kehilangan diri sendiri.

Berhari-hari saya menghadapi kebingungan itu. Hingga suatu hari seorang sahabat menyampaikan sebuah perenungan tentang suatu hikmah yang didapatkannya dari suatu kajian dan sampai menangis saat menyampaikannya. Saat itulah saya betul-betul sadar bahwa ada yang salah dengan hati saya. Di saat seperti itu, biasanya saya akan ikut menangis atau setidaknya terharu dan merasa hangat jika mendengar sebuah hikmah. Tapi ketika itu, rasanya kosong. Tidak ada yang bergetar sedikitpun di dalam hati saya. Dingin. Kaku.

"Hei hati, kamu kemana? Kamu kenapa?" Saya takut sekali saat itu, takut hati saya menjadi mati. Bagaimana bisa hati ini tidak bergetar saat ayat-ayat-Nya dibacakan? Ya Allah, saya ingin kembali!

Malam itu saya sulit tidur. Masih dengan harapan mendapatkan secercah cahaya untuk menembus jiwa, saya akhirnya berusaha tidur dengan sebelumnya berdoa terlebih dahulu. "Ya Allah, jika Engkau masih mau memberikan jalan untukku kembali, tolong bangunkan aku di waktu tahajud."

Ternyata, Allah mendengar doa saya. Tanpa alarm, saya bangun sendiri pukul 3 pagi, tidak lama setelah saya tertidur. Saya tangkap ini sebagai sinyal baik dari Allah sehingga saya bergegas ke kamar mandi dan berwudhu. Akhirnya, saya shalat tahajud lagi, setelah sekian lama.

Saya punya memori baik tentang shalat tahajud, waktu-waktu tahajud memang waktu-waktu paling syahdu dimana saya bisa berduaan dengan Allah, curhat dan berdoa sepuas-puasnya hingga menangis tersedu-sedu. Tapi malam itu berbeda. Saya tidak merasa betul-betul hadir dan tidak merasakan kehadiran Allah kekhusyuk apapun saya mencoba. Rakaat demi rakaat terlalui, dan hingga shalat itu selesai, saya tidak juga merasakan ketenangan yang saya rindukan itu. Frustrasi!

Akhirnya saya duduk di atas sajadah, beristighfar sebanyak-banyaknya. Saya teringat memori lama saat saya beristighfar setelah tahajud dan saya sesegukan setelahnya. Maka saya praktekkan kembali istighfar saat itu, berharap hati yang dingin ini dapat menghangat kembali. Tapi aneh! Istighfar dan dzikir-dzikir yang saya dawamkan saat itu, tidak juga membuat hati saya menghangat. Rasanya masih kaku, seperti ada sesuatu yang menghambat entah apa. Ya Allah, ini kenapa..

Setelah berdzikir, biasanya saya melanjutkan dengan doa. Tapi saat itu saya terdiam lama, tidak tahu harus berdoa apa. Jika dzikir-dzikir barusan tidak bisa membuatku terhubung dengan-Nya, bagaimana saya bisa berdoa dengan kondisi seperti ini? 

Perasaan hati saya sudah tidak karuan ketika itu. Saya hanya ingin kembali kepada-Nya, namun mengapa shalat dan dzikir saya tidak bisa menghantarkan diri saya kepada-Nya? Sampai-sampai saya tidak tahu harus berdoa apa untuk bisa "memanggil"-Nya. Bahkan saya tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan hati saya sendiri.

Di tengah kefrustrasian itu, karena saya tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar bisa terhubung dengan-Nya, saya memanggil-Nya dengan suara yang sangat lirih, "Rabbi..." Di saat itulah, di saat saya berada dalam titik yang paling pasrah dan tidak tahu harus bagaimana lagi selain memanggil nama-Nya, air mata saya akhirnya keluar. 

"Rabbi.." saya memanggil-Nya lagi dan tiba-tiba saya merasa sedang dipeluk oleh-Nya. Saat mengucap kata Rabbi, saya teringat kembali ayat tentang setiap ruh yang sudah pernah berjanji dan mengikrarkan bahwa Allah adalah Rabb-nya. Maka air mata yang saat itu keluar, pastilah merupakan dorongan dari dalam ruh (jiwa) yang sudah sangat rindu untuk kembali pada fitrahnya menghamba. Ya Allah, ternyata Engkau masih mau menerima hamba-Mu yang sudah sombong ini! :''''(

"Rabbi.." air mata saya tidak berhenti mengalir, rasa bersyukur dan merasa bersalah melebur jadi satu. Rasanya lega sekali ketika saya akhirnya bertemu dengan jalan pulang dan "rumah" yang selama ini saya rindukan.

Subhanallah, alhamdulillah, allahu akbar. Setelahnya, doa-doa yang malam itu saya panjatkan terasa nikmaat sekali. Besar harapan saya, agar Allah tidak mencabut kembali kenikmatan ini. Semoga saya bisa terus menjaga rasa syukur ini dengan lebih berhati-hati dalam bertindak. Pasti ada banyak dosa yang sebelumnya saya abaikan. Ada banyak kelalaian yang tidak segera saya taubati sehingga menutupi cahaya yang Dia hadirkan. Bismillah, semoga Allah menuntun saya dan kita semua dalam mengerjakan perbaikan-perbaikan diri hingga bisa mencapai derajat paling mulia di hadapan-Nya, yakni derajat takwa.

Sister, jika akhir-akhir ini kamu sedang merasa lelah dan gelisah, pertemuanmu dengan suratku ini pasti bukanlah kebetulan. Bisa jadi ini adalah sinyal baik dari-Nya untukmu memanggil kembali hati dan jiwa yang mungkin pendar cahayanya sedang terhalang. Jangan menunda terlalu lama. Kembalilah segera, semoga kamu pun menemukan rumah bagi jiwamu dan mendapatkan ketenangan yang selama ini hatimu rindukan. Allah pasti akan menuntunmu menemukan jalan pulang.


Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Saat Semua Tinggal Kenangan

 *dikutip dari Monday Love Letter #133, yang kutulis untuk Sister of Deen


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Sejujurnya, saya belum tahu mau menulis apa ketika saya mulai menulis surat ini. Tapi saya punya satu cerita yang masih hangat sekali terjadi, yaitu kemarin malam saat saya melakukan zoom bersama keluarga dari ayah saya. Malam itu, seharusnya saya bergabung dengan para tetangga untuk nyate bersama, selain untuk menjalin silaturahim, tentu saja untuk menghabiskan daging-daging qurban yang masih banyak! Hehe.. Tapi karena ada pertemuan online bersama keluarga, akhirnya saya di rumah saja. Ternyata, selepas zoom mata saya malah sembab karena banyak menangis. Nah lhooo, kenapa??

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, sudah sebulan lebih Kakek (dari ayah) saya wafat. Kemudian 2 minggu setelahnya, Om saya juga wafat menyusul Kakek saya yang sudah lebih dulu berpulang. Pertemuan zoom kemarin malam dimaksudkan untuk mengenang kedua almarhum, membaca yasin, dan berdoa bersama. Tentu saja saya senang karena bisa bertegur sapa dengan anggota keluarga yang tinggal di luar kota. Melihat wajah mereka di layar alhamdulillah sedikit mengobati kerinduan saya kepada mereka.

Lalu, ayah saya membuka forum dan ternyata acara pertama adalah memberikan pesan atau hikmah yang didapat oleh masing-masing anggota keluarga tentang kedua almarhum. Ah, saya sudah feeling bahwa saya pasti akan menangis. Akhirnya satu per satu anggota keluarga bergantian menceritakan kesan mereka terhadap kedua almarhum. Dan seperti yang sudah saya duga, semua kesan dari keluarga adalah kesan yang positif. Kami semua merasa dicintai dan merasa di sayang oleh almarhum dan keduanya punya tempat spesial di hati kami masing-masing. Ya Allah, semoga Engkau mengampuni dan melapangkan kubur mereka, aamiin.. :')

Sampai akhirnya tiba giliran saya untuk bercerita. Tiba-tiba di kepala saya berkelebat kenangan-kenangan dari Kakek dan Om saya yang sebenarnya cukup banyak. Dan tanpa bisa saya tahan, air mata mengalir begitu saja, membuat suara saya menjadi parau dan sulit melanjutkan bercerita. Akhirnya tidak banyak cerita yang bisa sampaikan saat itu karena jika dilanjutkan pasti tangisan saya semakin menjadi. Dan betul saja, semakin saya mendengar cerita dari keluarga yang lain, terlebih adik-adik saya yang juga memiliki banyak kenangan bersama kedua almarhum, membuat air mata saya tidak juga berhenti. Sesekali saya menjauh dari layar supaya nggak ketahuan kalau lagi nangis, takutnya malah bikin vibes-nya jadi sediih hahaha~ :''D

Saya sendiri sebetulnya tidak menyangka bahwa saya akan sesedih itu. Padahal ibu dan ayah saya selalu mengingatkan bahwa kita tidak perlu terlalu menangisi orang yang sudah meninggal, karena mereka sudah kembali kepada Allah. Apalagi jika meninggalnya dalam keadaan yang baik, husnul khatimah. Maka sepatutnya kita berbahagia karena dia akan segera menyongsong kehidupan yang lebih baik dan membahagiakan di akhirat. Tapi ternyata, rasa sedih akan kehilangan tak bisa begitu saja saya tepis. Rasanya sedih setiap kali mengingat bahwa saya tidak bisa bertemu mereka lagi dan segala hal tentang mereka hanyalah tinggal kenangan.

Setelah saya pikir lagi, kedua almarhum ternyata memiliki tempat spesial di hati saya. Saya cukup lama hidup bersama-sama dengan Kakek sejak kecil, maka peran beliau bukan hanya sebagai kakek, tapi juga rasanya seperti memiliki ayah kedua yang banyak mendidik saya dan memberi pelajaran hidup dengan caranya. Sedangkan Om saya, usia kami hanya terpaut 19 tahun dan beliau seperti sosok kakak laki-laki bagi saya. Beliau sangat dekat dengan keponakan-keponakannya, termasuk saya dan adik-adik saya. Kami sama sekali tidak merasa canggung berinteraksi dan bercanda dengan beliau, seorang yang baik dan kehadirannya dapat menghidupkan suasana. Kangen sekali rasanya :')

Berkali-kali saya mengajak ngobrol diri saya sendiri, "Kenapa harus sesedih itu sih, Na? Nggak apa-apa, nanti juga di akhirat insya Allah akan ketemu lagi.." Saya sadar bahwa orang-orang yang wafat dalam keadaan yang baik, sebaiknya tidak dilepas dengan tangis, tapi lepaslah dengan senyuman. Sebab "waktu ujian" dari Allah untuk mereka telah selesai, maka insya Allah mereka hanya tinggal menunggu reward-nya.

Yang justru harus kita khawatirkan adalah kita semua yang masih hidup, yang masih belum selesai mengerjakan ujian demi ujian yang disediakan-Nya di dunia. Waktu ujian kita belum berakhir sehingga belum saatnya bagi kita hari ini untuk pulang. Maka kepada mereka yang telah berpulang terlebih dulu, lepaslah mereka dengan senyuman, lalu bilang, "Alhamdulillah masa ujianmu sudah selesai, tunggu aku yah yang masih berkutat dengan soal-soal ujian dari-Nya, nanti aku menyusul, ya!"

Semoga kita semua bisa kembali pulang kepada Allah tanpa penyesalan apapun karena sudah berusaha memberikan yang terbaik yang bisa kita berikan dalam menyelesaikan ujian-ujian dari-Nya. Semoga kita bisa kembali pulang dengan hati yang riang dan mendapatkan "hasil ujian" yang baik, serta reward terbaik yang disiapkan-Nya untuk kita.

Ya Allah, ampunilah kami, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang muslim, baik yang masih hidup maupun yang sudah berpulang kepada-Mu.. Aamiin ya Rabbal 'Alamiin..


Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Adakah yang Benar-benar Menjadi Milik Kita?

 *dikutip dari Monday Love Letter #131, yang kutulis untuk Sister of Deen


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Pertanyaan 'apa kabarmu?' seringkali terdengar membosankan dan terkesan basa-basi, tapi sejak second wave pandemi hadir, bertanya apa kabar menjadi pertanyaan yang benar-benar kita ingin tahu jawabannya, setidaknya untuk saya. Apakah kamu juga begitu? Bagaimana kabarmu, sister? Semoga dalam keadaan sabar dan syukur yang baik.

'Alhamdulillah, baik' seringkali menjadi template balasan ketika ada orang lain yang menanyakan kabar kita. Sekarang, jawabannya beragam dan tak jarang membuat khawatir.

"Aku lagi isoman.."

"Keluargaku positif covid.."

"Saudaraku ada yang meninggal.."

"Aku lelah harus lembur terus karena pasien lagi banyak-banyaknya.."

Itu semua adalah jawaban dari pertanyaan apa kabar yang saya tanyakan kepada teman-teman saya. Tidak sedikit pula berita duka yang saya dapatkan, bahkan dari keluarga sendiri. Ya Allah, saat ini kita benar-benar sedang diuji dan diingatkan terus-menerus bahwa sakit dan kematian betul-betul berada di tangan-Nya. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan iman untuk menghadapinya.

Hari ini dan beberapa minggu ke belakang, mungkin menjadi hari yang gloomy bagi sebagian besar orang. Sejujurnya, akhir-akhir ini saya pun merasakan itu. Tapi malam ini saya membaca sebuah tulisan yang saya tulis setahun yang lalu, yang mengingatkan untuk kembali bersyukur.

Tahun lalu, saya membaca sebuah tulisan dari akun @berceritahikmah yang ditulis oleh seorang ibu yang baru saja kehilangan janin yang masih dikandungnya di usia kehamilan 4 bulan, di Hari Idul Fitri. Hari itu, ibu itu tiba-tiba pendarahan, keguguran dan bayinya harus dikeluarkan. Tapi masya Allah, penulisnya berhasil menemukan hal yang disyukurinya dengan sangat baik. "Untukmu yang juga sedang kehilangan, saat ada yang hilang dari kehidupan kita, lihatlah ada jauh lebih banyak hal yang Allah selamatkan" begitu tulisnya. Membacanya, saya mengangguk setuju. Sebab yakin bahwa di situasi apapun pasti ada banyak nikmat Allah yang bisa disyukuri.

Seporak-poranda apapun hidup kita saat diterjang badai, ternyata Allah banyak menyelamatkan banyak hal. Kalau dalam kasus ibu tersebut, dia bersyukur karena masih bisa melihat wajah tampan anaknya, bisa menggendongnya, dan bersyukur bisa diberi kesempatan untuk hamil walau hanya 4 bulan. Bagaimanapun, apa yang Allah beri itu adalah milik Allah, maka ketika diambil pun seharusnya tak menjadi masalah, sebab pemiliknya telah selesai menitipkan "titipan"-Nya. :')

Setelah saya renungi lebih jauh, Allah tuh ternyata nggak pernah ngasih kurang lho ke kehidupan kita. Ada jauuuh lebih banyak yang Allah beri, walaupun di saat yang sama kita berdoa berkali-kali meminta hal yang lain. Tidak apa sebenarnya meminta Allah untuk diberikan sesuatu, tapi kembali lagi ke konsep kepemilikan, bahwa apa yang menjadi milik kita tidak pernah betul-betul menjadi milik kita. Maka ketika meminta sesuatu, kita juga harus siap jika pemberian Allah itu diambil-Nya kapan saja. Ketika kita mendapatkan sesuatu dan mencintai sesuatu (atau bahkan seseorang) maka kita juga harus siap akan kehilangannya.

Cerita ibu tadi cukup menjadi pengingat bagi saya yang hingga hari ini masih berdoa untuk kehadiran buah hati. Bahwa ternyata anak bisa menjadi ujian bagi orangtuanya. Lalu jika saya mendengar cerita keguguran atau cerita ibu yang anaknya meninggal, suka langsung berpikir, kalau aku jadi ibu dan Allah memanggil pulang anakku lebih dulu, apakah aku siap? Sebab sejatinya anak bukanlah untuk dimiliki dan diatur semua kita, melainkan titipan yang harus dijaga sebaik-baiknya dan dihantarkan pada kepulangan yang baik kepada-Nya.

Konsep ini mirip konsep menggembala ya. Seorang penggembala bertanggungjawab menjaga gembalaannya, merawat dan mengurus hewan-hewan gembalaannya, memastikan makanan dan kebutuhan mereka terpenuhi. Tapi penggembala ini bukanlah pemilik hewan-hewan tersebut. Ia hanya bekerja untuk tuannya dan seorang penggembala yang bertanggungjawab adalah yang menjaga gembalaan tuannya tersebut dengan profesionalitas yang baik.

Lalu apakah ketika pemiliknya memutuskan mengambil/menjual semua hewan gembalaannya, atau menyembelih gembalaan yang menjadi miliknya, si penggembala ini patut marah? Harusnya kan nggak ya, karena pekerjaannya ya selesai sampai di situ.

Ya, sama seperti konsep kepemilikan kita di dunia. Harta benda, anak, pasangan, keluarga, waktu, kesehatan, bukankah semuanya hanyalah titipan? Tugas kita adalah menjaga semua titipan itu sesuai kehendak pemiliknya, yaitu Allah. Berpikir bagaimana titipan-titipan tersebut harus dijaga dan dikembalikan dalam keadaan yang baik.

Semoga kita bisa menjadi hamba yang amanah terhadap apa-apa yang dititipi oleh Allah kepada kita. Sebab sejatinya, seorang hamba tidak pernah memiliki apa-apa. Semua hanya pinjaman dan titipan, yang kelak akan ditanya oleh Allah tentang bagaimana kita menggunakan, mengurus, atau memeliharanya.

Yang sudah waktunya pergi, relakanlah untuk pergi karena memang sudah waktunya untuk kembali kepada Dzat yang memiliki. Namun, saat ada yang hilang dari kehidupan kita, lihatlah ada jauh lebih banyak hal yang Allah selamatkan dan ada jauh lebih banyak yang masih harus kita jaga sebelum diambil kembali oleh pemilik-Nya.


Yang sedang belajar melepas kepemilikan,

Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Sebelum Selesai Masa Tugas

 *dikutip dari Monday Love Letter #129, yang kutulis untuk Sister of Deen


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Akhirnya bisa kembali menyapamu setelah dua pekan lalu saya bercerita tentang hikmah silaturahim. Bagaimana kabarmu, sister? Di penghujung hari Senin ini, semoga ada banyak rasa syukur yang bisa kamu ungkapkan kepada Allah sebelum terlelap. Semoga segala amarah, sedih dan gundah yang barangkali sempat kau rasakan hari ini, dapat menguap dan berganti dengan ketenangan dan kebahagiaan di dalam hati. Jangan lupa bersyukur, ya!

Kali ini, walaupun lagi-lagi suratnya baru bisa kau baca di malam hari, saya tak sabar ingin berbagi cerita denganmu tentang sesuatu yang saya dapatkan dalam dua pekan belakangan ini. Saya yakin, setiap kejadian yang menimpa diri saya tak mungkin Allah hadirkan ke dalam kehidupan saya, jika tidak ada hikmah maupun pelajarannya. Begitu juga dengan kejadian yang menimpa orang lain. Saat kita mungkin tanpa sengaja mendengar suatu berita tentang kejadian yang menimpa orang lain, saya yakin Allah juga sebetulnya menyimpan pesan cinta-Nya lewat cerita yang Dia "hadirkan" untuk kita dengar. Karenanya saya selalu berdoa, semoga saya (dan kita semua) senantiasa diberikan kepekaan dan kejernihan hati untuk bisa menangkap pesan-pesan tersirat itu dan mengambil hikmah besarnya.

Dan tahukah apa "pesan" yang paling sering saya dengar dalam dua pekan terakhir, sister? Ternyata ada banyak berita kematian yang saya dengar, juga berita tentang ujian-ujian berupa sakit dari orang-orang yang saya kenal. Seperti ada pesan maha penting yang ingin Allah sampaikan sehingga berita tentang sakit dan kematian dihadirkannya lagi dan lagi, dan sukses membuat rentetan berita itu hinggap di dalam kepala saya dalam beberapa hari.

Saya masih ingat, ada sebuah kalimat yang betul-betul membuat saya tertohok saat membaca pesan salah seorang sahabat di salah satu grup whatsapp ketika ia mengabarkan sebuah berita kematian. "Innalillahi wa inna ilaihi rajiu'un, ayah fulan sudah selesai tugasnya di dunia.." ujarnya. Hanya sebaris kalimat yang ditulisnya, namun berhasil membuat hati saya terasa bergetar, seakan diingatkan kembali bahwa kehadiran saya di dunia ini tidak lain hanyalah untuk melaksanakan tugas dari Allah semata. Maka nasihat terbaik dari sebuah berita kematian adalah untuk mengingatkan bahwa akan ada saatnya kita yang masih hidup ini akan kembali kepada Allah untuk kemudian ditanya perihal tugas yang diamanahkan-Nya kepada kita, sudahkah dijalankan dengan baik?

Membayangkan hari pertanggungjawaban di "Pengadilan Allah" nanti, tak pernah gagal untuk membuat hati ini meringis karena sadar tidak banyak amal yang bisa kubanggakan. Masih banyak menit yang berlalu begitu saja tanpa bisa kupastikan apakah ia bernilai ibadah di hadapan-Nya? Masih banyak penundaan atas berbagai peluang kebaikan sehingga kesempatan untuk mendapatkan amal shaleh pun hilang. Lebih parahnya lagi, hilangnya kesempatan itu seringnya tak meninggalkan penyesalan, as if it wasn't a big deal for me. Sementara itu, di zaman ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya masih hidup, para sahabat Rasul akan merasa sangat menyesal jika tertinggal shalat berjamaah di masjid dan bersedih luar biasa jika tidak bisa ikut berperang bersama Rasulullah. Huhuhu, kualitas iman yang masih jauh sekali jika dibandingkan dengan mereka.. :'(((

Tapi Allah mungkin masih sayang kepada hamba-Nya yang imannya penuh dengan tambalan ini. Tanpa pernah kurencanakan, Dia merancang sebuah pertemuan tak terduga dengan salah seorang guru. Seseorang yang saya tahu betul bahwa hampir tidak ada ucapannya yang tidak mengandung hikmah. Yang jika dipandang, wajahnya teduh dan memancarkan ketenangan. Kebijaksanaan yang tak mungkin terpancar jika tanpa tempaan yang mengokokohkan iman. Di akhir pertemuan, saya mendapatkan peluk dari beliau serta beberapa pesan yang satu di antaranya ialah, "Semoga terus semangat dalam beramal shaleh, ya.."

Entah bagaimana, pesan itu terus terngiang di kepala saya dan selalu muncul setiap kali ada keinginan saya untuk menunda atau mengurungkan niat saat bertemu peluang-peluang amal shaleh. "Yuk, kerjain Na, kata Ibu harus semangat dalam beramal shaleh!" begitu suara di dalam kepala saya berbicara. Pertemuan yang awalnya tak disengaja itu, pada akhirnya menjadi sesuatu yang sangat saya syukuri.

Dari perjalanan perenungan selama beberapa hari ini, ternyata ada berbagai pengingat yang Allah sisipkan dari setiap kejadian. Pesan-pesan yang berisi kasih sayang dari-Nya agar diri ini selalu memperhatikan setiap gerak dan langkah untuk selalu berada dalam pelaksanaan tugas sebagai hamba-Nya. Semoga dalam keadaan apapun, kita mampu untuk senantiasa dalam keadaan sedang bertugas untuk-Nya, sampai nanti Allah panggil kita untuk kembali kepada-Nya, "Masa tugasmu di dunia sudah selesai hamba-Ku.."

Semoga kita bisa menyambut panggilan pulang itu dengan senyum dan tanpa penyesalan. Semangat beramal shaleh, sister!


Your sister of Deen,
Husna Hanifah

 

Tentang Cerita yang Tak Pernah Kudengar

*dikutip dari Monday Love Letter #127, yang kutulis untuk Sister of Deen

Beberapa hari belakangan saya sedang berusaha meningkatkan kualitas relasi dengan teman-teman terdekat. Kebanyakan interaksi saya selama ini paling hanya sekedar melihat atau mengomentari Instagram Stories, sedangkan menelepon atau mengirim pesan biasanya hanya kalau ada perlunya saja.

Padahal, pertanyaan 'gimana kabarnya?' yang dengan tulus kita lontarkan kepada orang-orang terdekat bisa jadi amat bernilai untuk mereka. Atau ketika kita menawarkan 'ketemuan yuk!' kepada sahabat-sahabat kita untuk mendengar ceritanya, mungkin pertemuan hari itu akan menjadi pertemuan yang berkesan untuk mereka.

Banyak orang bilang, semakin dewasa biasanya lingkaran pertemanan kita semakin sempit. Saya justru berharap sebaliknya, semoga saya diberi Allah cukup waktu dan energi untuk bisa memelihara silaturahim dengan banyak orang. Lho, mengapa?

Interaksi saya dengan beberapa orang akhir-akhir ini membuka banyak sekali obrolan yang tidak hanya meluas topiknya, tapi juga mendalam tentang cerita apa saja yang selama ini terjadi di hidup mereka. Tak disangka, ternyata ada banyak kisah yang berisi perjuangan untuk menghadapi realita dan takdir ditetapkan Allah untuk hadir di kehidupan mereka. Tak jarang pula, isak tangis menjadi pengiring dalam kisah yang mereka suguhkan untukku. Membuatku tersadar, "Wah.. Setiap orang ternyata diberi oleh Allah ujian yang berbeda-beda."

And the struggle is real! Ada banyak cerita yang membuatku tercengang sekaligus takjub ketika mendengar ujian-ujian hidup yang harus dihadapi oleh beberapa teman. Yang mungkin jika saya ada di posisinya, saya tak akan kuat, saya pasti tak akan bisa sabar. Tapi Allah memang Maha Mengenal hamba-Nya. Maka pastilah ujian yang Dia timpakan untuk seseorang sudah dalam takaran yang teliti sekali perhitungannya dan hamba-Nya itu pasti akan mampu melewatinya.

Silaturahim juga membuat saya menyadari bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Sekuat-kuatnya kita, kita tetap butuh orang lain untuk membantu kita di kala kesusahan, di kala kita butuh semangat, atau mendengarkan cerita kita agar sekedar merasa lega.

Satu lagi hikmah yang saya dapatkan, ternyata menjalin silaturahim itu tidak harus selalu menjadi seseorang yang serba bisa untuk sahabat kita. Terkadang sesederhana menjadi pendengar yang baik, sudah cukup untuk membuatnya tidak merasa sendirian.

Namun, ada pesan guru saya yang selalu saya ingat, bahwa makna dari silaturahim sejatinya ialah menyambungkan kasih sayang Allah. Maka sebaik-baik silaturahim adalah pertemuan yang tak hanya mempertemukan jasad, tapi juga pertemuan antar ruh (jiwa) untuk sama-sama mengingat Allah dan tujuan penciptaan kita di dunia, serta saling tolong menolong untuk keselamatan di dunia dan akhirat.

Jadi, kapan terakhir kali kamu menyapa sahabat dan orang-orang terdekatmu dan mendengarkan "the untold stories" mereka? Semoga silaturahim yang kita jalin dengan orang-orang tersayang, membawa kita pada kebersamaan yang kekal. Yang tidak hanya bersama-sama di dunia, tapi juga hingga ke syurga-Nya. Aamiin..

Your sister of Deen,
Husna Hanifah