Rabu, 03 November 2021

Masa Kritis Menjelang Akhir Tahun

  *dikutip dari Monday Love Letter #146, yang kutulis untuk Sister of Deen

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Saya baru saja menyadari satu hal. Semakin mendekati akhir tahun, biasanya saya semakin banyak berkontemplasi. Lebih banyak hening, lebih banyak mengamati, lebih banyak mengobrol dengan diri sendiri. Apa karena sudah memasuki musim hujan, ya? Suasana akhir-akhir ini sering membuat saya menjadi lebih banyak merenung dan ingin melakukan me-time. Kamu juga begitu nggak, sih? Apa saya saja? Hehe.

Tapi memang, sejauh yang saya ingat, masa-masa di akhir tahun seringkali menjadi "masa kritis", khususnya bagi saya. Sudah banyak waktu terlalui yang menguras energi, namun di sisi lain, masih ada beberapa minggu yang harus dihadapi yang seringkali berkejaran dengan target-target yang masih ingin dikejar. Ingin berjalan santai, tapi waktu tinggal sebentar lagi. Ingin berlari, tapi sudah mulai capek. Dilema yang sungguh menyebalkan, bukan? Wkwkwk :')

Masa-masa seperti ini juga menjadi masa di mana saya semakin membuat jarak dengan media sosial. Membuka medsos menjadi lebih cepat bosan, karena yang riuh bukan hanya timeline feeds tapi juga pikiran di dalam kepala saya, hehe. Intensitas posting konten juga secara otomatis menjadi berkurang drastis karena energi lebih banyak terkuras di dunia nyata. Pokoknya sesuatu sekali, deh!

Menjelang akhir tahun, salah satu pertanyaan yang paling sering muncul di kepala saya adalah, "Tahun ini sudah ngapain aja, ya?" Rasanya takut dan panik kalau tiba-tiba menyadari bahwa ternyata lebih banyak kesia-siaan yang dilakukan sehingga pertumbuhan diri menjadi tidaklah seberapa. Rasa takut dan panik ini sungguh terasa seperti ujian, karena di satu sisi bisa membuat makin pesimis dan semakin malas berubah. Tapi di sisi lain, fase seperti ini sebetulnya bisa digunakan sebagai momentum dalam mengembalikan keberhargaan diri.

"Masa sih, selama setahun ini kamu tidak berprogres? Masa sih selama setahun ini tidak ada pencapaian yang berhasil kamu raih? Coba ingat-ingat lagi, sekecil apapun itu, apresiasi yuk!"

Bertanya seperti itu kepada diri sendiri adalah cara saya agar bisa menghargai pencapaian-pencapaian kecil, mengapresiasi usaha diri, mensyukuri berbagai nikmat yang Allah berikan sehingga tidak terlalu berfokus pada ketidakberdayaan diri yang saya rasakan.


Bahkan jika diperlukan, saya sampai lihat-lihat lagi buku agenda, buku harian, tulisan-tulisan di blog, feeds dan IG stories selama setahun ke belakang, untuk menelusuri hal-hal apa saja yang sudah saya lakukan selama setahun ini sehingga akhirnya saya menyadari bahwa ternyata ada banyak hal yang berhasil saya capai yang mungkin selama ini luput untuk saya apresiasi. Dan semakin saya mengapresiasi keberhasilan-keberhasilan kecil itu, semakin saya sadar bahwa ada banyak nikmat dan pertolongan dari-Nya yang sering sekali luput untuk disyukuri. Subhanallah walhamdulillah.. :')

"Jadi, siapa bilang kalau selama ini kamu sama sekali tidak berprogres? Siapa bilang kalau selama berbulan-bulan lalu kamu tidak memiliki pencapaian apapun?"

Perlahan, keberhargaan diri saya kembali lagi. Dengan semangat yang baru, rasanya menjadi lebih enteng untuk menghadapi hari-hari ke depan. Tidak perlu terlalu tergesa-gesa, tapi juga tidak terlalu santai. Tugas kita hanyalah berikhtiar seoptimal yang kita bisa dan biarkan tangan Allah yang bekerja memberikan tuntunan dan pertolongan-Nya, seperti halnya keberhasilan-keberhasilan kita di masa lalu yang tak mungkin tercapai jika tanpa bimbingan dan pertolongan dari-Nya.


Dan atas kegagalan yang telah terjadi atau harapan yang masih belum terkabul, semuanya adalah cara Allah untuk mengajarkan kepada kita arti sabar-syukur-ikhlas-tawakal, menguatkan iman kita agar senantiasa bergantung pada-Nya, serta cara-Nya mengenalkan bahwa bentuk cinta-Nya tidak hanya dengan memberi kita bahagia, tapi juga dengan ujian kegagalan, kesedihan dan ketakutan agar kita tidak terjerumus pada jebakan kesombongan yang membuat kita lupa pada-Nya.

Selamat berkontemplasi, sister! Apapun kondisi yang sedang kau lalui, semoga hati dan jiwa selalu terhubung dengan-Nya, sehingga akal selalu memiliki ruang untuk mampu berbaik sangka pada setiap ketetapan-Nya dan langkah tidak pernah berhenti dalam menapaki perjalanan meraih ridha-Nya. Barakallahu fiik.

 

Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Pantaskah Aku Disebut Muslim?

 *dikutip dari Monday Love Letter #144, yang kutulis untuk Sister of Deen 


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Kenapa ya rasanya kok waktu cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin bulan berganti dari September ke Oktober, lalu sekarang sudah tanggal 11 saja, subhanallah.. Semoga seiring berjalannya waktu, bertambah pula amal sholeh kita dan semakin cukup bekal kita untuk menghadapi perjalanan menuju kampung akhirat. Aamiin Ya Rabb..

Belakangan ini, saya kembali belajar dan berusaha memaknai ulang tentang bagaimana seharusnya seorang muslim menjalani kehidupannya. Ternyata, Islam menjelaskan semuanya, lengkap. Dari mulai cara berpikir hingga pola tindak, dari bangun tidur hingga tidur lagi, dari interaksi dengan diri sendiri hingga interaksi dengan masyarakat, bagaimana menjalani peran yang ada, dan seterusnya. Semakin saya belajar, semakin ciut hati saya karena masih banyak sekali PR yang harus dikerjakan untuk bisa menjadi pribadi muslim yang ideal menurut Allah dan Rasul-Nya.

Seorang muslim adalah etalasenya Islam. Kalimat itu selalu terngiang di kepala saya. Saya yakin, kamu juga pasti pernah mendengarnya dari ceramah-ceramah di masjid atau di kajian-kajian keislaman. Dengan menjadi seorang muslim/muslimah, sadar maupun tak sadar, kita sebetulnya sedang mencitrakan Islam. Dan orang lain di luar sana, yang mungkin sedang belajar Islam, atau bahkan tidak mengenal Islam sama sekali, akan "melihat" Islam dari orang-orang muslim yang mereka lihat. Jika akhlak kita baik, maka indahlah Islam di mata mereka. Sebaliknya, jika kita menampilkan akhlak yang buruk, maka bisa jadi dapat tercoreng pula Islam di mata mereka.

So, it's time to reflect, sister. Apakah selama ini kita mencitrakan kebaikan atau keburukan terhadap agama kita sendiri? Semua dilihat dari bagaimana kita menjalani kehidupan kita sehari-hari. Apakah life style kita adalah life style-nya seorang muslim? Atau jangan-jangan kita malah terbawa arus tren dari Barat atau hype-nya Korea? Hmm..

Terlebih lagi, kita adalah seorang perempuan. Hijab yang kita kenakan adalah identitas keislaman yang semua orang bisa lihat dan kenali. Sadarkah bahwa sebagai perempuan yang diperintahkan Allah untuk berhijab, kita sedang diberikan peran penting oleh Allah untuk menampilkan citra Islam di mata dunia? Maka cara kita bertutur, cara kita bersikap, cara kita merespon sesuatu, cara kita menyelesaikan masalah, bahkan cara kita berpendapat, seharusnya sesuai dengan bagaimana Islam mengatur semuanya.

Menyadari hal tersebut, jujur pundak saya menjadi terasa agak berat. Rasanya seperti sedang dibebankan peran maha penting di pundak (hehehe sok penting banget ceunah), ditambah lagi ketika saya berkaca pada diri sendiri, duhhh rasanya jauh sekali dari profil muslim yang seharusnya. Ya masih belum sempurna ibadahnya, sholat kadang masih dientar-entar (ditunda-tunda maksudnya), masih banyak kekurangan menjalani peran sebagai istri-anak-menantu-kakak-kakak ipar-tetangga-dst, masih belum profesional kalo bermuamalah dengan orang lain, daaan lain-lainnyaa.. Takutnya malah makin mencoreng nama Islam ya kaaaan, hikss.

Tapi, inilah indahnya Islam. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk senantiasa menyeimbangkan antara rasa takut (khauf) dan rasa penuh harap (roja'). Jika kita terus minderan sebagai seorang muslim, lalu mau kapan mulai memperbaiki diri? Jika kita terus merasa tak pantas untuk mendapat surga, lalu mau kapan memulai mengumpulkan amal shalih untuk menutupi dosa-dosa yang telah lalu? Jika kita terus menerus merasa terbebani sebagai duta Islam, bagaimana Islam akan menyinari dunia jika para muslim dan muslimahnya tak percaya diri dalam menampilkan citra Islam?

Semoga kita semua dapat menyadari dan merasakan bahwa menjadi seorang muslim/muslimah adalah anugerah. Tidak semua orang Allah berikan hidayah dan diberikan nikmat iman dan islam. Di luaran sana, ada banyak orang yang masih terjebak dalam kejahiliyahan, kehilangan makna dan tujuan hidup, bahkan sama sekali tidak mengenal Islam and maybe they're suffering to find the truth, to find peace.

Bersyukurlah karena saat ini kita dikelilingi oleh informasi-informasi keislaman, begitu mudahnya mengakses kajian, dan diberikan kebebasan untuk beribadah. Hanya satu yang kita perlukan: KEMAUAN. Mau untuk belajar, mau untuk melangkahkan kaki ke majelis ilmu, dan yang paling penting mau mulai mengamalkan ilmu yang kita tahu. Menjalankan perintah-Nya tanpa kecuali, tanpa tapi, tanpa pilih-pilih.


Kita sama-sama ya, sister. Menjadi muslimah yang ideal memang akan membutuhkan waktu seumur hidup kita. Tapi Maha Baiknya Allah adalah Allah tidak pernah melihat hasil. Allah selalu melihat upaya kita, kesungguhan kita, dan kesabaran kita dalam menapaki jalan kebenaran ini. Semoga Allah mampukan kita untuk istiqomah. Aamiin.. :')

 

So, are you proud to be a muslimah?

Yes, I am.

 

Your sister of Deen,
Husna Hanifah