Senin, 31 Agustus 2020

Monday Love Letter #98: Rasanya Baru Kemarin

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Huwaaa besok sudah September! Di awal tahun ini kita digemparkan oleh adanya corona, lalu tak terasa 2020 sudah memasuki bulan ke-9.. Rasanya baru kemarin pula kita merasakan Ramadhan dalam kondisi yang berbeda, tak terasa, ternyata itu sudah 4 bulan yang lalu. Kini kita masuk ke lembaran baru, di bulan pertama tahun 1442 Hijriyah, bulan Muharram. Waktu tuh sering nggak berasa, ya? Perasaan baru kemarin saya mengeluh ingin cepat besar karena waktu kecil banyak dilarang ini itu, sekarang rasanya ingin lupa hari ulangtahun biar nggak cepet tua. Hahaha..

Namun berjalan bersama waktu juga ada hikmahnya tersendiri. Pernahkah kita mengalami masa-masa sulit dalam hidup? Masa dimana waktu terasa berjalan lambat sekali dan kita bertanya-tanya kapan semua kesulitan akan berakhir. Ternyata seiring berjalannya waktu, segala lelah dan payah yang dulu kita keluhkan, hari ini sudah tak terasa lagi. Kejadian yang awalnya terasa lama saat dijalani, ketika sudah selesai, semua otomatis menjadi kenangan yang lagi-lagi membuat kita berkata, "Rasanya baru kemarin saya berjuang sepayah itu, alhamdulillah sekarang ada di titik ini." 

Ketika kita tersadar bahwa waktu ternyata berjalan cepat sekali, pernahkah kita merenungi, apa jadinya jika kita sudah sampai ke negeri akhirat. Apakah puluhan tahun hidup di dunia ternyata juga akan terasa seperti baru kemarin?

Ada sebuah percakapan yang Allah firmankan dalam Al-Quran ketika kita telah dibangkitkan selepas langit dan bumi Allah ratakan.
Dia (Allah) berfirman, "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?"
Mereka menjawab, "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung."
Dia (Allah) berfirman, "Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar saja, jika kamu benar-benar mengetahui."
-QS. Al-Mu'minun (23) : 112-114

Ternyata bertahun-tahun tinggal di bumi terasa lebih sebentar dari setengah hari! Tidak hanya itu, masa tunggu di alam kubur hingga hari berbangkit yang katanya ratusan hingga ribuan tahun, juga akan terasa sangat sebentar. Dalam QS. Al-Isra' (17) : 52, Allah mengabarkan, "yaitu pada hari (ketika) Dia memanggil kamu, dan kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya, dan kamu mengira, (rasanya) hanya sebentar saja kamu berdiam diri (di dalam kubur)." Subhanallah.

Maka benar adanya, ketika kita sering mendengar bahwa kematian itu dekat, atau hari kiamat itu dekat. Jangan-jangan memang sedekat itu. Sebab ketika kita sudah melalui semuanya, jarak antara hari ini dan hari kiamat, bisa jadi lebih cepat dari kedipan mata kita. Tidak terasa, hari ini masih di dunia, seketika sudah di alam kubur, lalu tiba-tiba sudah sampai padang mahsyar.

Jangan sampai kita baru sadar betapa berharganya waktu di saat itu, lalu protes sama Allah, "Kok sebentar banget di dunianya, ya Allah? Kembalikan aku sebentar saja maka aku akan banyak beramal sholeh.." Padahal, Allah sudah kasih waktu. Namun banyak dari manusia terlena dan menyia-nyiakan begitu saja waktu yang Allah berikan. Naudzubillahi min dzalik, semoga kita semua dilindungi dari sifat kufur terhadap nikmat waktu dan usia yang Allah berikan ya, sister.. :'(

Tak heran, Allah sampai bersumpah atas nama waktu dan berkata bahwa kebanyakan manusia merugi dan celaka dalam menggunakan waktunya. Artinya banyak sekali yang lalai terhadap waktu yang diberikan oleh-Nya. Mari kita azzam-kan, mulai detik ini, kita akan berusaha untuk lebih bijak dalam menggunakan waktu. Mengisi waktu hanya dengan hal-hal bermanfaat yang berdampak pada peningkatan kualitas iman kita, mengisinya dengan banyak-banyak melakukan amal shaleh, serta berkegiatan yang dikerangkai dalam rangka saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Bismillah.

"Demi waktu. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran." -QS. Al-'Asr


Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Monday Love Letter #96: Menjadi Diri yang Merdeka

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Bagaimana hari Seninmu? Menyenangkan atau menyebalkan? Apapun itu, semoga kita bisa menutup hari ini dengan hati dan jiwa yang tenang, terlelap dalam keadaan sedang memeluk syukur. Iya, sudah bersyukur kan hari ini? Dengan bersyukur dan menghitung-hitung nikmat dari-Nya hari ini, segala lelah, kesal bahkan sesal, insya Allah akan luruh dengan sendirinya. Luangkan waktu untuk banyak-banyak bersyukur sebelum tidur, ya!

Dalam 2 hari ini, kata merdeka terus menerus hinggap di kepala saya. Tidak hanya karena momen 17 Agustusan atau karena postingan orang-orang yang saat ini banyak sekali meneriakkan slogan "Merdeka!", tapi momen ini menjadi bahan saya bermuhasabah, merefleksi kembali tentang arti merdeka dan merdeka seperti apa yang seharusnya saya pahami dan jalani.

Merdeka seringkali disandingkan dengan kata "bebas". Bebas dari sesuatu yang mengikat, bebas dari keterjajahan. Tapi bebas yang seperti apa? Apakah jika kita bebas melakukan apa yang kita mau, bahkan hingga menabrak nilai dan norma, itu juga dikatakan merdeka? Ternyata jika kita renungi lebih dalam lagi, kebebasan yang benar-benar bebas itu tidak ada. Kita, manusia, butuh keteraturan. Kita butuh untuk diatur, kita butuh batas-batas yang sebenarnya fungsi batas itu bukan untuk mengekang, tapi menyelamatkan kita.

Seperti bagaimana Allah menciptakan segala ciptaannya dengan segala keteraturan yang sempurna. Bumi menjadi sebegini indahnya tidak lain adalah karena seperangkat aturan yang sudah dirancang oleh-Nya. Matahari yang terbit dan terbenam, awan yang menurunkan hujan, daun-daun yang berfotosintesis, komposisi lautan dan daratan yang seimbang, juga berbagai jenis hewan yang tinggal dan berperan penting dalam keseimbangan alam.

Jangankan bumi, tubuh kita sendiri saja terdiri dari seperangkat "aturan" yang jika salah satu bagiannya tidak berjalan sebagaimana mestinya, sakitlah tubuh kita. Ada sistem pernapasan, sistem pencernaan, alur mengalirnya darah, degup jantung, hela nafas, kedipan mata yang telah diatur-Nya sedemikian rupa sehingga bagian-bagian tubuh kita bisa berfungsi dengan baik dan sehat.

Faktanya, kita tak pernah bisa lepas dari segala keteraturan itu. Termasuk juga (seharusnya) kita tak lepas dari bagaimana Allah mengatur diri dan kehidupan kita. Seperti segala ciptaan-Nya yang tunduk dalam aturan yang dibuat oleh-Nya, kita sebagai manusia juga seharusnya tunduk pada apa yang menjadi aturan-Nya.

Namun, saya pribadi, terkadang masih merasa bahwa aturan-aturan dari Allah terhadap hidup saya, terasa mengekang dan memberatkan sehingga terkesan "tidak bisa bebas" dalam menjalani hidup. Tanpa sadar, terbersit rasa ingin bebas, yang sebenarnya jika digali lebih dalam lagi, rasa ingin bebas itu berujung pada: keinginan untuk bebas dari aturan Allah. DEG. Astaghfirullah.. :(

Memang inilah ujian terberat manusia. Manusia diberi keleluasaan oleh Allah untuk memilih, apakah ia akan hidup dengan caranya sendiri atau dengan caranya Allah? Apakah hidup dengan menuruti keinginannya sendiri atau hidup menuruti kehendak Allah terhadap dirinya? Apakah hidup memakai aturan yang dibuatnya sendiri atau hidup dengan aturan dari Allah? Kedua pilihan ini rasanya seperti magnet yang terus menarik kita dari dua arah yang berlawanan. Hanya jiwa yang merunduk yang bisa dengan mudah menuju Allah dan lepas dari jeratan hawa nafsunya.

Apakah kita masih sering merasa terbebani dengan aturan-aturan dari-Nya? Apakah keikhlasan dalam beribadah selalu menjadi PR yang tak pernah selesai? Apakah kita masih terus saja terjerumus pada kesalahan yang itu-itu lagi? Apakah kita masih merasa kesulitan menyelaraskan ilmu yang kita tahu dengan amal yang seharusnya kita lakukan? Jika kebanyakan jawabannya adalah ya, alih-alih menjadi diri yang merdeka, itu adalah pertanda bahwa kita masih menjadi diri yang terjajah. Terjajah oleh kesombongan kita sendiri, oleh hawa nafsu kita, oleh cinta kepada dunia, oleh kebergantungan kepada selain Allah.

Mungkin ketika kita bisa terlepas dari aturan Allah, kita merasa menjadi jiwa yang bebas, sebab bisa menjalani hidup sebagaimana maunya kita. Tapi, setidaknya sejauh yang pernah saya alami, kita tak akan pernah menemukan jiwa yang tenteram. Hidup akan dirundung kegelisahan yang tak ada habisnya, dipenuhi oleh rasa hampa yang tak juga mereda. Mengapa bisa begitu? Sebab kita menyalahi apa yang menjadi kodrat kita yaitu sebagai hamba dan ciptaan-Nya Allah, menyalahi apa yang menjadi kecenderungan alami jiwa kita yaitu beribadah dan tunduk kepada Allah.

Menjadi merdeka adalah tentang melepaskan diri kita dari keterjajahan kecenderungan diri kepada selain Allah serta MENYERAH dan BERSERAH sepenuhnya kepada Allah, maka kita akan menemukan jiwa yang BEBAS, yang penuh dengan rasa tenteram sebab berhasil mengikatkan dan menggantungkan diri kepada yang seharusnya, Allah.

Allah menetapkan aturan-aturan, memberikan batasan-batasan, semata-mata bukan untuk mengekang kita. Allah justru ingin membebaskan kita dari kebergantungan kita kepada diri sendiri dan kepada selain-Nya. Definisi bebas yang sesungguhnya ialah bebas dari hal-hal yang menghalangi kita dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah. Berada dalam kepengaturan Allah, adalah merdeka yang sesungguhnya.

Jadi, sudahkah diri kita merdeka?


Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Monday Love Letter #94: Akankah Berakhir Sia-Sia?

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Bagaimana suasana Idul Adha di tempatmu? Kira-kira apa yang bisa termaknai dari Idul Adha tahun ini? Semoga bukan hanya daging dan bakar-bakar sate saja ya yang kita dapatkan, hehe, tapi kita juga bisa merenungi makna dibalik momen besar ini.

Bagi saya pribadi, sepertinya ini adalah bulan Dzulhijjah paling berkesan yang pernah saya lewati. Bulan pengorbanan, katanya. Dimana ada sebuah event besar rutinan di penghujung tahun (Hijriyah) dan di event itu Allah meminta pengorbanan terbaik dari hamba-hamba-Nya untuk ditukar dengan kebaikan yang berlipat-lipat, insya Allah.

Ibarat sebuah pesta dimana orang-orang pasti menampilkan pakaian terbaik, riasan terbaik dan kendaraan terbaik, maka momen Idul Adha menjadi ajang "pamer" di hadapan Allah untuk memberikan persembahan terbaik untuk diqurbankan.

Saya pribadi merasa terharu, ketika ada seorang kawan yang selalu menyambut ajakan berkurban dan ketika ditanya alasannya, "kalau saya sih mumpung ada, diusahakan. Karena kita nggak pernah tau tahun depan masih diberi kesempatan berqurban atau tidak," jawabnya mantap.

Tak sedikit juga yang ragu-ragu sebab situasi saat ini yang masih dalam pandemi, bersamaan dengan banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi, membuat beberapa dari kita menjadi lebih banyak berhitung. Tapi ternyata tidak semua begitu. Ada orang-orang yang tetap semangat berupaya, memberanikan diri untuk memberikan segenap harta yang dimiliki, menepis segala rasa khawatir sebab yakin bahwa Allah pasti mencukupkan rezeki. Masya Allah :"

Ada pula yang tidak hanya berqurban untuk dirinya, tapi juga membantu saudaranya yang ingin sekali berqurban agar saudaranya ini dapat berqurban. Ini sih lebih terharu lagi, tak ada yang lebih indah dari saling tolong menolong agar sama-sama bisa melaksanakan perintah Allah. Diam-diam saya berdoa, semoga suatu saat saya juga bisa seperti itu. Aamiin!

Di sisi lain, ada pula sebagian lainnya, yang walau telah berupaya sebaik mungkin, hartanya tetap tak cukup untuk membeli hewan qurban untuk disembelih. Tapi karena mengerti bahwa ibadah qurban adalah juga tentang memaknai esensi, maka diberikanlah segenap harta terbaiknya dalam bentuk shodaqoh qurban. Ada pula yang berqurban dalam bentuk tenaga, membantu memfasilitasi mereka-mereka yang hendak berqurban. Masya Allah, semuanya berlomba memberikan yang terbaik yang bisa diberikan.

Bagi saya pribadi, cerita-cerita itu membuat diri saya memaknai lebih dalam momen bulan Dzulhijjah ini. Bahwa untuk menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, kita memang harus seberjuang itu!

Idul Adha ini event besar! Kesempatan besar untuk "cari muka" di hadapan Allah, peluang besar untuk menjadi lebih dekat dengan Allah. Sebuah kesempatan emas bagi hamba-hamba yang ingin membuktikan cinta dan pengabdian kepada-Nya. Ya Allah, kemana saja aku ini, baru sadar kalau momen Idul Adha tuh ternyata maknanya sedalam itu! :"

Lalu setelah dua hari kemarin saya membantu prosesi penyembelihan, berkali-kali menyaksikan satu per satu domba dan sapi disembelih, yang terpikir oleh saya adalah, "Ya Allah, inilah hewan qurban yang dipersembahkan oleh pada muqorrib untuk-Mu.. Semoga amal kami semua bisa Kau terima ya, Allah.."

Kita tentu tahu, uang yang harus dikeluarkan untuk menyembelih satu ekor domba atau kambing saja, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bahkan, ada yang harus menabung hingga berbulan-bulan untuk bisa membelinya. Apa jadinya jika ternyata amalan yang kita lakukan tidak diterima oleh-Nya? Sia-sialah selama ini perjuangan.

Maka Nabi Ibrahim a.s mengajarkan, selepas kita mengupayakan sesuatu untuk Allah, berdoalah pada-Nya; Rabbana taqobbal minna innaka antassamii'ul aliim.. Ya Allah terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Kita tak pernah tahu, apakah ada hal-hal dari diri kita yang menghalangi sampainya amal kita, mungkin dosa-dosa kita, mungkin niat yang tak lurus, atau apa saja. Maka selepas ibadah yang kita lakukan, mintalah kepada Allah, semoga semuanya tak jadi sia-sia di hadapan-Nya.

Bismillah, terimalah amal kami, ya Allah.. Semoga apapun yang kita persembahkan untuk-Nya di momen Dzulhijjah ini, baik dalam bentuk harta maupun jiwa, dapat diterima oleh-Nya sebagai sebentuk cinta, pengorbanan dan rasa syukur kepada-Nya. Aamiin ya Rabbal 'alamin.

Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Monday Love Letter #92: Aku Ingin Pulang dengan Selamat

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Alhamdulillah, saya masih bisa diberi kesempatan untuk menyapamu di hari Senin ini. Walau masih dalam pandemi, beberapa dari kita mungkin sudah mulai beraktivitas, sudah mulai bepergian walau dengan intensitas yang tentunya sangat dibatasi. Belum lagi protokol kesehatan kini diberlakukan dimana-mana, walau tidak semua tempat umum masih belum diperbolehkan beroperasi. Bagaimana perasaanmu? Semoga sudah cukup terbiasa dengan perubahan ini, ya! Kalau ada apa-apa, curhatin aja sama Allah. Kita punya Allah yang tidak mengantuk dan tidak tidur, serta tak pernah lengah dalam mengurus makhluk-Nya. Karena itu segala kebutuhan kita pasti akan dicukupkan oleh-Nya. Insya Allah semua akan baik-baik saja :)

Anyway, pekan lalu, ada suatu urusan yang membuat saya harus pergi keluar kota, pulang pergi. Perjalanan kami tidak jauh, hanya berjarak 1 jam saja dari kota Bandung menggunakan tol. Entah kenapa, setiap bepergian keluar kota atau bepergian agak jauh, saya sering merasa sedikit khawatir. Pasalnya, kita tidak pernah tahu kan apa yang akan terjadi dengan kita di tengah jalan? Apalagi saat itu masih segar berita kecelakaan yang menimpa rekan-rekan saya beberapa waktu lalu. Alhamdulillah masih Allah selamatkan, walau mobil yang mereka tumpangi ringsek tak bisa diperbaiki lagi. Subhanallah.

Hal ini membuat saya merenung, jika kita baru saja bepergian jauh, sesampainya di rumah, tentunya kita bersyukur bahwa kita bisa kembali pulang ke rumah dengan selamat.

Kira-kira ada berapa data kecelakaan per harinya yang terjadi di jalanan? Banyak! Maka ketika kita sedang di perjalanan, sebetulnya ada banyak sekali potensi kita (naudzubillah) tidak selamat sampai rumah. Ada peluang kecelakaan yang tinggi ketika kita melakukan perjalanan, apalagi perjalanan jauh. Maka dari itu Rasulullah SAW ajarkan kita berdoa ketika mau bepergian atau naik kendaraan agar perlindungan Allah senantiasa ada bersama kita. Bagi saya, berdoa cukup mengurangi kekhawatiran saya selama di perjalanan.

Nah, pernah nggak sih berpikir bahwa di dunia ini juga kita sedang melakukan perjalanan, lho. Namun bedanya, tujuan akhir perjalanannya bukan rumah atau kampung halaman kita, melainkan pulang ke negeri akhirat. Bukankah dunia ini hanya tempat transit? Setelah kita "berjalan-jalan" di bumi, numpang sama raga (jasad) kita, mampukah kita kembali "pulang" dengan selamat?

Kelak ketika kita bertemu dengan malaikat maut, dimulailah gerbang perjalanan kita yang baru menuju negeri akhirat, ke pemberhentian terakhir yang entah saat ini masih belum jelas apakah kelak kita akan sampai disana dengan selamat dan masuk ke surga-Nya, atau terjadi "kecelakaan" di tengah jalan sehingga neraka menjadi tempat dimana kita menghabiskan keabadian. Naudzubillahi min dzalik..

Sebelum perjalanan panjang itu dimulai, ada baiknya kita mulai bertanya ke diri kita sendiri, "Apakah bekalku cukup? Apakah aku sudah cukup ilmu tentang bagaimana caranya pulang dengan selamat? Apakah aku sudah cukup waspada terhadap ancaman dan rintangan yang bisa mencelakakanku?"

Sungguh, kita kelak akan melakukan sebuah perjalanan yang penuh dengan kekhawatiran jika tidak mempersiapkannya. Tidak seperti perjalanan-perjalanan kita di dunia yang bisa kita lakukan sambil bersenda gurau dan bermain-main. Namun Allah menjanjikan perjalanan paling nyaman jika kita berhasil mempersiapkan kepulangan kita sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

Rabbanaa aatinaa fi dunya hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa 'adzaabannaar.. Semoga kebaikan dan keselamatan senantiasa Allah limpahkan kepada kita, bukan hanya untuk perjalanan-perjalanan di dunia, tapi juga perjalanan kita ke negeri akhirat kelak.

Semoga kita semua bisa kembali pulang dengan selamat ya, sister. Pulang ke rumah di surga. Aamiin..

Your sister of Deen,
Husna Hanifah