Senin, 27 Januari 2020

Monday Love Letter #69 - Memeluk Diri, Mencoba Adil pada Diri Sendiri

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Alhamdulillah senang sekali bisa menulis surat untukmu lagi. Walaupun Monday Love Letter mendarat di email-mu sepekan sekali, tapi karena ditulis bergantian dengan Novie, saya jadi menulis dua pekan sekali yang membuat saya jadi merindukanmu dua kali lipat. Tapi tak apa, kerinduan ternyata menyimpan energi. Rasanya saya jadi lebih semangat berbagi untukmu, stay tune with me ya, sister! :)

Bicara tentang surat menyurat, saya termasuk orang yang senang menulis surat. Beberapa sahabat saya pernah saya tulisi surat, juga keluarga saya, bahkan orangtua dan suami sendiri pun pernah. Biasanya saya mengambil momen di hari spesial mereka seperti hari ulang tahun, hari kelulusan, hari perpisahan, atau kadang random aja gitu tiba-tiba ngasih. Sebenarnya tujuannya sederhana saja, yaitu untuk sekedar menyampaikan bahwa dirinya berharga untuk saya, juga bentuk terima kasih saya memiliki seseorang yang spesial seperti dirinya. Sebab, diri yang introver ini sering kesulitan mengungkapkan perasaannya sehingga menyampaikan lewat surat selalu menjadi andalan. Tak jarang, saya mendapat balasan yang membuat saya terharu. Siapa sangka, hal sesederhana menulis surat ternyata bisa menularkan kebahagiaan satu sama lain. Apakah kamu tertarik mencobanya? Cobain deh :)

Di zaman yang serba digital ini, kebiasaan menulis surat dengan tulisan tangan mulai terkikis. Adanya media sosial, membuat saya bisa menulis surat menggunakan blog, membuat postingan di Instagram tentang orang yang bersangkutan, dan... ini nih salah satunya, berkirim surat melalui email seperti ini juga menyenangkan. Internet membuat saya bisa menjangkau lebih banyak orang untuk saya kirimi surat, yaah walaupun menulis surat dengan kertas dan pena sensasinya nggak ada yang ngalahin siiih, hehe.


Mengapa saya tiba-tiba cerita tentang surat? Karena beberapa hari yang lalu saya baru saja mendapat "surat". Seorang teman dari kota lain membuat postingan tentang saya di Instagramnya. Tak ada angin tak ada hujan, sudah lama tak berkomunikasi juga, tiba-tiba ada notifikasi di Instagram saya bahwa seseorang menandai saya di postingannya. Membacanya, saya terharu sekali. "Terima kasih, it means a lot to me," balas saya di kolom komentarnya. Komentar singkat yang benar-benar saya tulis dari hati. Pasalnya, tulisan itu hadir di saat yang tepat, di saat saya sedang "berjauhan" dengan diri saya sendiri karena ada bagian dari diri saya yang sedang tidak saya sukai. Dan di saat saya sedang "membenci diri" seperti itu, tiba-tiba ada tulisan darinya, yang bilang terima kasih pada saya, yang secara tidak langsung berkata bahwa ada bagian dari diri saya yang berharga untuknya. Saat itu saya jadi berpikir; Jika orang lain melihat saya begitu berharga, mengapa saya tidak bisa melihat bahwa diri saya berharga? Mengapa saya menghancurkan diri saya dengan tidak menghargai diri sendiri?

Malam itu saya amat berterima kasih pada teman saya itu, pada surat yang ditulisnya, juga pada Allah yang membuat waktu dan momen secara tepat untuk menyelamatkan diri saya yang sedang kehilangan cinta dari dirinya sendiri.

Dari kejadian itu saya belajar banyak hal. Terkadang manusia itu aneh dan sulit dimengerti. Bagaimana bisa kita begitu gampangnya menganggap diri kita tidak berharga, gagal, memalukan, merasa tidak pantas, padahal jika kita bertanya pada orang-orang terdekat kita yang menyayangi kita, mereka justru bilang bahwa kita adalah berlian, kita adalah bintang, kita adalah orang yang hebat, yang kuat, pantang menyerah, bahkan menganggap kita adalah dunianya.


Pernahkah kamu merasa gagal, tapi ternyata orang-orang terdekatmu justru bangga pada gigihnya usahamu? Mereka tentu saja ikut bersedih dengan kegagalanmu, tapi mereka merangkulmu dan berkata bahwa usahamu sudah cukup baik dan membanggakan. Lihatlah, orang lain tidak meninggalkanmu saat kau gagal, mereka tetap mendukungmu dan mengapresiasi usahamu. Tapi kenapa kita begitu mudah menilai diri ini buruk dari hasil yang ada sehingga lupa memberi apresiasi pada usaha kita sendiri?

Di beberapa kesempatan, mungkin kita pernah ada di posisi menjadi "teman" yang menghibur kegagalan dari sahabat atau keluarga kita. Bukankah kita tetap akan terus ada di sampingnya dan memberi dukungan untuknya? Kita tidak akan membenci atau menjauhinya hanya karena dia gagal kan? Jika kita saja bisa se-suportif itu pada orang-orang yang kita sayang, mengapa kita begitu mudah "meninggalkan" diri kita sendiri, mencap diri kita bodoh, mencap diri kita gagal, dan mengasingkan diri dari diri kita yang sebetulnya butuh pelukan itu?

Kita maklum jika orang lain gagal dan kita dengan amat bijak berkata, "Nggak apa-apa gagal, yang penting kamu udah berusaha. Nggak apa-apa gagal, besok kita coba lagi. It's okay dear, you did well." Tapi kenapa kita tidak bisa merangkul diri kita sendiri? Bukankah kita juga membutuhkan kalimat itu untuk dan dari diri kita sendiri?

Kita mampu untuk menilai orang bukan dari hasil dan prestasinya, tapi dari kerja kerasnya. Lalu kenapa pada diri sendiri kita menentukan standar sukses kita dari hasil, sementara kita tau bahwa prosesnya jauh lebih penting? Kenapa kita seringkali merutuki diri sendiri padahal kita tahu bahwa kita sudah melakukan yang terbaik yang kita mampu?

Satu pertanyaanku; apakah itu adil untuk diri kita?


Mungkin, saat ini kamu juga sedang merasakan hal tersebut. Mungkin saat ini kamu sedang membenci dirimu sendiri. Mungkin saat kamu melihat pantulan wajahmu di cermin, ada perasaan kesal atau jijik pada dirimu sendiri. Mungkin kamu merasa dirimu memalukan atau tidak cukup baik. Tenang, kamu tidak sendiri. I've been there, too. Sometimes I lost myself too.

Tapi ingatlah, bahwa di saat-saat seperti itu, kita paling membutuhkan diri kita sendiri. Kita membutuhkan diri yang menerima kekurangan kita, kita membutuhkan diri yang tetap suportif dan memberikan apresiasi pada diri kita, kita membutuhkan rangkulan dan pelukan dari diri kita sendiri.

Peluklah dirimu, katakan kata-kata apresiasi yang menguatkan untuk dirimu, cobalah untuk adil pada diri sendiri. Jika orang lain bisa melihat berlian dalam diri kita, kita yang seharusnya lebih tahu dan melihat itu lebih dulu. Jika kita bisa cinta dan hadir untuk orang lain, seharusnya kita juga bisa cinta dan hadir untuk diri kita sendiri.

Selamat memeluk diri, selamat mencoba adil pada diri sendiri.


Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Monday Love Letter #67 - Menjadi Hamba Profesional

Bismillahirrahmanirrahim. 
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Bagaimana kabarmu? Lama tak berkirim surat, rasanya kami rinduuu sekali. Sebelumnya kami mohon maaf jika jeda kemarin terasa begitu tiba-tiba untukmu. Ada beberapa hal yang harus kami tata ulang dan kami maknai kembali. Alhamdulillah, Allah membelajarkan banyak hal melalui proses jeda tersebut and here we are, kembali menyapamu dengan surat-surat cinta di setiap Senin, dengan sedikit penyesuaian. Jika sebelumnya setiap suratnya kami tulis berdua, mulai hari ini kami akan menulis bergantian di setiap pekannya.

Dan surat hari ini akan dimulai oleh saya, Husna. :)

***

Sedikit bercerita tentang kontemplasi saya di akhir tahun lalu, ternyata ada banyak sekali pembelajaran yang Allah berikan kepada saya di tahun 2019. Tahun 2019 menjadi tahun yang cukup banyak tekanan, namun di awal tahun ini saya baru menyadari bahwa berbagai macam tekanan itu Allah berikan bukan untuk membebani saya, tapi justru sebagai media Allah dalam menyiapkan saya menjadi pribadi yang lebih tangguh dan dewasa. 

Tahun 2019 kemarin, saya membuat resolusi berdasarkan peran-peran yang saya miliki. Alih-alih berisi rentetan bucket list atau impian-impian yang ingin dicapai, saya lebih memilih untuk berusaha lebih optimal pada peran-peran yang saya miliki. Hal ini tentu saja bukan tanpa sebab. Jika kamu mengikuti Monday Love Letter dari awal tahun lalu, saya pernah menulis surat judulnya "Jika Tahun 2019 Menjadi Tahun Terakhirku" yang membuat target-target saya berubah drastis, dari yang asalnya ingin ini dan itu menjadi fokus pada perbaikan-perbaikan diri.

Jika membayangkan kematian ada di depan saya, saya jadi merenung panjang bahwa kita tidak akan ditanya tentang apa-apa yang belum kita miliki, tapi kita akan ditanya tentang apa-apa yang telah Dia beri. Sudah dipakai apa, sudah berbuat apa, dan sudahkah kita bersyukur akan itu. 

Kelak di akhirat nanti, Allah tidak akan bertanya tentang pencapaian dunia kita. Allah tidak akan bertanya mengapa kita lebih tertinggal dari orang lain dalam banyaknya harta. Allah tidak akan bertanya mengapa kita tidak seterkenal orang lain. Bahkan ngerinya, bisa jadi apa-apa yang kita upayakan belum tentu bernilai di hadapan Allah. Kan sedih, udah capek-capek mengorbankan banyak hal, tapi di mata Allah tidak ada nilanya. :(

Dan bicara tentang peran, sebelum peran yang lain tersemat pada diri, peran yang paling pertama dan utama adalah peran kita sebagai hamba Allah. Maka sebetulnya yang PALING PERTAMA berhak atas resolusi dan target kita adalah Allah. Coba tengok lagi, adakah Allah dalam resolusi kita? Apakah kita sudah menjadi hamba yang lebih baik dari tahun lalu, atau justru kita dan Allah semakin jauh? Adakah rencana untuk mendekatkan koneksi kita dengan Allah dalam target-target kita? 

Setelah itu, baru kita bicara tentang peran yang lain yg beririsan dengan manusia. Sudahkah kita menjalani peran sebagai anak dengan baik, sebagai kakak, sebagai adik, sebagai istri, sebagai ibu, sebagai tetangga, sebagai anggota masyarakat, sebagai profesi yg kita jalani, dan lain-lain. Sudahkah kita menjalani peran-peran itu dengan baik? Atau justru kita menjadi beban di keluarga, masyarakat, atau lingkungan pertemanan kita. Bukankah selain habluminallah juga ada habluminannas? Keduanya perlu seimbang dan profesional; sebagai hamba, juga sebagai khalifah-Nya. 

Jangan sampai resolusi kita hanya tentang pencapaian-pencapaian dunia yang tujuannya untuk memuaskan diri kita sendiri. Tidak ada hubungannya dengan peran kehambaan kita, pun kekhalifahan kita. Semoga Allah melindungi kita agar tidak menjadikan hawa nafsu sebagai raja di hati.

Jika Allah menakdirkan kita meninggal di tahun ini, apakah pencapaian-pencapaian dunia itu yang akan Allah tanya? Tidak. Allah akan bertanya tentang amalmu, tentang waktumu, tentang seberapa baik engkau menjalani tugas kehambaanmu. Allah tidak akan bertanya tentang mengapa kamu belum punya rumah, belum punya mobil, belum menikah, belum naik jabatan, dan sebagainya. 

Karenanya,, coba tengok lagi resolusimu. Semoga isinya adalah tentang bagaimana agar diri menjadi hamba yang lebih taat dan pribadi yang lebih bermanfaat. Jika ternyata tidak, masih belum terlambat kok untuk merevisinya :)

Semoga kita bisa menjadi hamba yang profesional, yang optimal di setiap peran, dan optimal menjalani tugas kehambaan. Barakallahu fiik..

Bagaimana denganmu? Apa saja resolusi atau targetmu di tahun ini? Apa saja hikmah yang kau dapatkan selama tahun 2019? Jika ingin berbagi, balas pesan ini ya. I would love to hear your story ;)

Your sister of Deen,
Husna Hanifah