Senin, 30 Juli 2018

Monday Love Letter #2 - Say Hi to Your Productive Day!

Assalamu'alaikum! Alhamdulillah bisa sampai di Monday Love Letter yang kedua, buat kamu yang terlewat membaca yang pertama, bisa cari di label "Monday Love Letter" yang ada di sebelah kanan blog ini. Dan kalau kamu ingin mendapatkan suratnya secara personal ke emailmu, bisa dengan cara meninggalkan emailmu di komentar, ya! Nanti setiap hari Senin kamu akan mendapatkan 2 Monday Love Letter dariku dan dari partnerku (we're planning a project now, this is just a spoiler, hehe). Syaratnya satu untuk bisa subcribe: ini khusus UNTUK PEREMPUAN :)


***
Pernahkah kamu merasakan "haahhh today I don't feel like doing anything" di awal harimu? Susah beranjak dari kasur, leyeh-leyeh main gadget sementara banyak pekerjaan yang menanti untuk diselesaikan. Ah, kurasa semua orang pasti pernah begitu. Jika mengawali hari dengan bermalas-malasan seperti itu, yang biasanya terjadi adalah kemungkinan besar kamu memang tidak akan melakukan apa-apa hari itu, say bye to productive day. Bahkan terkadang kita membuat pemakluman kepada diri sendiri, "biarlah sekali-kali malas-malasan seharian, pekerjaan hari ini akan kukerjakan besok". Nyatanya, besok pekerjaan malah menumpuk dan kita jadi keburu malas mengerjakan serangkaian to do list yang bejibun. Hayooo siapa yang pernah begituu? Tenang, saja juga pernah kok. Hehe.

Tapi apakah jika manusia memang punya sifat malas, lantas kita memakluminya? Apakah setelah kita tahu betapa merugi orang yang menyia-nyiakan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna, kita tetap membiarkan 24 jam kita yang berharga berlalu begitu saja?

Hari ini sebetulnya saya sedang merasa ingin bermalas-malasan. Tapi nyatanya, diri ini tidak merasa tenang karena saya tahu jika saya tidak bisa produktif hari ini, saya pasti akan menyesal di akhir hari. Lalu bagaimana caranya memutus rasa malas? Tidak ada cara lain selain MEMAKSAKAN DIRI. Jika kamu harus menulis skripsi, maka segeralah bangkit dan buka laptopmu. Jika kamu sedang malas kuliah, maka segeralah bersiap dan berangkat ke kampus. Jika kamu seorang ibu rumah tangga yang sedang malas memasak, maka siapkan bahan-bahan dan mulailah memasak. Jika kamu bekerja di kantor dan harus menginput arsip yang begitu banyak, mulailah dengan mengerjakan satu arsip. Tidak ada rumus agar tidak malas kecuali kamu bergerak! Hanya itu yang bisa mengalahkan kemalasanmu. Tapi percayalah, once you get started, you'll keep going.

Pagi tadi, untuk menghalau rasa malas saya bergegas wudhu dan melakukan shalat Dhuha. Lalu sebuah ayat yang sangat saya hafal terlintas di kepala; wa minannaasi may-yasyrii nafsahubthighooa mardhotillah, wallahu raufum bil 'ibaad.. Surat Al-Baqarah ayat 207 yang artinya, "Dan diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridhoan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya." Ayat ini tentu saja bukan sekedar kalimat berita yang hanya perlu ditanggapi dengan "oohh begitu.." lalu selesai, bukankah seharusnya kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah saya yang termasuk kepada "diantara manusia" yang Allah sebutkan? Jika redaksi katanya adalah minannaas, maka berarti tidak semua manusia begitu, pada nyatanya hanya sebagian kecil saja. Masukkah saya pada yang sebagian kecil itu?

Sebetulnya semua manusia itu berkorban, bedanya adalah kepada apa dia berkorban. Ada yang berkorban untuk Allah dan ada yang berkorban kepada selain Allah. Kita kuliah, pasti banyak yang dikorbankan. Kita menikah, menjadi ibu, menggapai cita-cita, berkarir, akan ada banyak sekali hal yang dikorbankan oleh manusia demi tujuannya masing-masing. Pertanyaannya, itu semua untuk siapa? Jangan-jangan itu semua kita lakukan hanya sekedar memenuhi ambisi atau keinginan pribadi kita saja tanpa disambungkan kepada Allah atau kepada cita-cita akhirat kita. Kita bekerja siang malam, demi mewujudkan hal-hal yang mungkin hanya sampai pada sebatas tujuan duniawi saja. Jika untuk hal yang bersifat duniawi kita bisa mengorbankan banyak hal, apakah untuk Allah usaha kita juga sebesar itu?

Hmm.. Jadi kalau dipikir-pikir, sebetulnya orang malas itu tidak ada, ya? Semua orang pasti sibuk beraktivitas, menghabiskan 24 jam yang sama, yang membedakan adalah apakah aktivitasmu itu untuk Allah atau selain Allah? Jika kita bisa menghabiskan malam untuk mengerjakan tugas dari dosen, seharusnya kita juga bisa bangun di malam hari untuk shalat tahajud. Jika kita punya waktu untuk menghabiskan waktu berjam-jam untuk scrolling di sosial media, seharusnya kita juga bisa menyediakan waktu untuk membaca quran. Jika kita sampai rela menabung berbulan-bulan untuk bisa membeli gadget baru, kita juga seharusnya bisa menabung untuk berinfak atau berqurban. Hanya kita yang bisa menilai diri kita sendiri, sebenarnya selama ini saya sibuk menghabiskan waktu saya, untuk (si)apa?

Tulisan ini juga untuk diri saya sendiri. Saya pun sedang berlatih sedikit demi sedikit untuk memindahkan orientasi dunia saya kepada orientasi akhirat sepenuhnya. Tidak mudah memang, karena kita cenderung dibiasakan oleh lingkungan dan oleh stereotype yang berlaku di masyarakat bahwa punya harta banyak, punya jabatan tinggi, bisa menikah muda, atau menjadi terkenal itu keren. Seakan ridhonya Allah tidak lebih berharga dari itu semua. Hati-hati ah, kalau sudah begini, bisa-bisa kita tanpa sadar mengecilkan nilai dari keridhoan Allah itu sendiri sehingga merasa berat untuk berkorban dan merasa tidak worth it untuk kita jadikan tujuan. Ngeri.

Lho, kok dari malas jadi nyambung ke berkorban untuk Allah ya? Saya juga sempat heran kenapa ayat itu yang terpikir ketika saya sedang malas pagi tadi. Ternyata memang nyambung kok. Ingat, malas itu tidak ada. Jika saya merasa malas, sebenarnya saya bukan sedang malas, tapi kesibukan saya sedang bukan kepada Allah. Astagfirullah.

Alhamdulillah. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk membaca surat yang sebetulnya lebih tepat untuk ditujukan kepada diri sendiri ini. Selamat menjalani sisa hari Seninmu dan hari-hari berikutnya dengan lebih produktif, semoga kita termasuk satu dari sebagian manusia yang mengorbankan diri untuk keridhoan Allah. Aamiin..

Senin, 23 Juli 2018

Monday Love Letter #1 - Deep Lesson from Prophet Ibrahim's Story

Assalamu'alaikum! Mau ada sedikit pengumuman niih.. Insya Allah blog ini akan rutin posting setiap hari Senin karena sekarang aku lagi bikin project kecil namanya Monday Love Letter. Semacam tulisan yang dibikin ala-ala kayak surat gitu deeehh.. Kalo nggak kayak surat, ya anggep aja surat lah yaa.. wkwkwk.. Yah seperti yang kita tahu, bagi sebagian orang hari Senin adalah hari yang cukup bikin mager karena harus memulai lagi aktivitas setelah kita bersantai-santai di weekend ya kann.. Haha. Semoga Monday Love Letter ini bisa melecutkan semangat di hari Senin dan bikin kita bisa memulai pekan yang produktif. Bismillah!

So, Stay tune on my blog every monday and you'll find a new post insya Allah (jamnya terserah aku weh yah, mengingat inspirasi itu kadang datengnya ga menentu haha). Thank you! 

***

Di Love Letter perdana ini ada sesuatu yang ingin aku bagi. Jadi kemarin itu ada acara Hujan Safir Sharing Session, temanya Finding the True Love sambil mengangkat dan meneladani kisahnya keluarga Nabi Ibrahim a.s. Kalau denger kata "Ibrahim", tentu kita familiar banget dong sama kejadian fenomenal dimana Nabi Ibrahim harus melaksanakan perintah Allah yaitu menyembelih Ismail, anaknya.

Yang menarik adalah, satu keluarga itu (Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail kecil) semuanya KOMPAK dan SEPAKAT untuk melaksanakan perintah Allah yang secara logika sangat nggak masuk akal itu. Perintahnya nggak main-main loh, nyembelih anak sendiri! Orangtua mana yang tega, coba? Tapi ketika Nabi Ibrahim bertanya kepada istrinya Siti Hajar dan kepada Ismail anaknya, keduanya kompak menjawab, "Jika itu adalah perintah Allah, maka lakukanlah." Fyuhh, aku nggak kebayang kalau aku ada di posisi mereka, tauhidnya udah level tinggi banget itu mah. Tidak peduli pada logika yang bisa saja berteriak betapa tidak masuk akalnya perintah itu. Pun tidak gentar oleh rasa sayang orangtua kepada anaknya, rasa cinta anak kepada orangtuanya, semuanya dikorbankan demi menaati perintah Allah.

Hingga akhirnya perintah itupun dilaksanakan dan Ismail Allah ganti dengan seekor domba yang besar sebagai tebusan. Sampai-sampai kejadian ini Allah abadikan dalam QS. 37: 102-111 dan menjadi tonggak disyariatkannya ibadah qurban. 

Kisah itu Allah ceritakan dalam al-Quran bukan sebatas sebuah dongeng belaka, melainkan untuk kita teladani. Bisakah kita seperti Nabi Ibrahim yang rela "menyembelih" kecintaan terhadap anaknya demi kecintaaan kepada Allah? Sanggupkah kita meneladani Siti Hajar yang sigap mematuhi perintah Allah dan sukses mendidik anaknya menjadi seperti itu? Sudahkah kita mencontoh Ismail yang tak gentar pada satu perintah yang bahkan bisa saja merenggut nyawanya? Masya Allah. Maka tak heran jika Nabi Ibrahim dijuluki bapak Tauhid, karena ia betul-betul sukses menanamkan ketauhidan pada diri istri dan anaknya hingga bisa melahirkan karakter yang siap berkorban apapun demi Allah. Semuanya atas izin Allah.

Luar biasa ya? Sepertinya diri ini masih harus banyak bercermin dan merefleksi diri. Kisah ini jadi contoh nyata bahwa cinta akan selalu meminta pengorbanan. Begitupun cinta kepada Allah, pasti akan Allah uji hingga terbukti bahwa memang kita hanya mencintai Allah saja. Laa ilaaha illallah. Tidak ada yang patut disembah, diibadahi, dan dicintai, kecuali Allah.

Yuk, kita sama-sama belajar mulai sekarang untuk mulai mengikis satu per satu hal-hal yang bisa menjauhkan kita dari cintanya Allah. Mungkin keegoisan kita, kesombongan kita, ambisi, rasa malas, kebergantungan kepada manusia, kecintaan berlebih kepada selain Allah, dan yang lainnya.  Pelan-pelan belajar menyembelih "ismail-ismail" yang kita cintai untuk mengejar satu-satunya cinta yang hakiki, yaitu cinta kepada Allah. Siapkan stok sabar yang banyakk :)