Senin, 21 September 2020

Monday Love Letter #100: Malam Penuh Syukur

 Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Sebelumnya, bagi kamu yang bertanya (atau bertanya-tanya) mengapa Senin lalu tidak ada surat yang masuk ke inbox-mu, kesalahan bukan terletak di email-mu kok, tapi pekan lalu kami memang tidak mengirimkan Monday Love Letter. Maaf ya sister, jika kamu yang sudah menunggu-nunggu. Karena satu dan lain hal, dengan berat hati Monday Love Letter #100 harus tertunda.

But.. Here we are! Alhamdulillah senang sekali bisa kembali menulis surat untukmu lagi. Melihat angka seratus, saya excited! Angka seratus memang bukan angka yang besar untuk dirayakan, tapi juga bukan angka yang kecil untuk sebuah pencapaian. Memulai sesuatu mungkin adalah hal yang mudah, tapi bicara konsistensi, itu lain cerita. Alhamdulillah, di tengah berbagai aktivitas, Allah masih mampukan kami untuk mengasuh sister of Deen dan menulis surat untukmu di setiap Senin.

Sejujurnya, tadinya kami bermaksud mengumumkan sebuah kejutan untukmu di Monday Love Letter ke-100 ini, sister. Tapi ternyata "hadiah" itu harus tertunda. Mohon doanya, ada project kebaikan baru yang sedang kami rencanakan yang insya Allah bisa segera kamu nikmati.. :)

Di surat kali ini, saya hanya ingin bercerita. Sejujurnya, belum tahu mau menulis apa. Saya baru saja menghapus beratus-ratus kata yang isinya berisi curhatan tentang apa yang saya rasakan belakangan ini yang jadinya tulisannya ngalor ngidul kemana-mana, haha. Entahlah, akhir-akhir ini saya sering mengalami writer block. Jadi topik hari ini yang ringan-ringan saja ya. Biasanya jika sedang tak tahu mau menulis apa, cara terakhir saya untuk menuangkan pikiran menjadi kata-kata adalah dengan memikirkan hal-hal apa saja yang saya syukuri. Bersyukur tak pernah membuat saya kehabisan kata, karena nikmat Allah tak terhitung saking banyaknya!

Satu hal paling besar yang kini sedang amat saya syukuri adalah kehadiran keluarga. Kemarin, selepas bepergian menyetir seharian, saya menyempatkan diri ke rumah orangtua saya. Alhamdulillah kedua orangtua saya sedang ada di rumah. Kami cukup lama mengobrol sambil bercanda, rasanya sudah lama tidak mengobrol selepas itu bersama orangtua. Sejak menikah, entah mengapa saya menjadi lebih berani bercerita dan mengungkapkan apa yang saya pikirkan atau rasakan kepada orangtua. Bahkan memeluk dan mencium kedua pipi mereka yang dulu amat sulit dilakukan, kini terasa lebih mudah. Hal ini membuat saya semakin menghargai keberadaan mereka. Rasa sesal dan kesal yang dulu pernah ada, kini hilang entah kemana, berganti dengan rasa syukur yang luar biasa karena Allah hadiahkan mereka di dalam hidup.

Rasa syukur kedua yang amat-amat saya syukuri sejak sepekan yang lalu adalah ketika sahabat dekat saya, yang sempat menjauh karena suatu hal, mengajak bertemu kembali setelah sekian lama. Dia bercerita tentang rekan-rekan kerjanya saat ini yang sangat jauh dari kata islami. Dua tahun bersama-sama dengan mereka sampai hampir "terwarnai" membuat dia akhirnya sampai di puncak kegelisahan sebab tak nyaman berada di tengah-tengah arus yang deras tanpa pegangan. "Aku ingin mulai ngaji lagi Na, aku takut lama-lama kebawa sama mereka," katanya. Hangat sekali saya mendengarnya. Sekaligus bersyukur karena Allah masih menjaganya walau berada ditengah-tengah lingkungan yang kurang kondusif untuk mempertahankan iman. Siapa yang mampu menjaga rasa gelisah saat banyak melihat yang salah? Siapa pula yang mampu menggerakkan hati untuk mantap kembali menjemput hidayah, jika bukan karena-Nya? Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari keburukan dan menuntun kita agar istiqomah di jalan-Nya. Aamiin :")

Dan rasa syukur yang paliiing besar adalah ketika Allah masih mengizinkan saya menjadi perantara untuk menyampaikan pesan-pesan indah-Nya kepada orang lain. Padahal siapalah saya ini, dosa banyak, akhlak masih banyak remedial, masih banyak yang harus diperbaiki dari diri yang penuh kekurangan ini. Tapi saya masih diizinkan oleh-Nya untuk berbagi, untuk menebarkan manfaat, menjadi perantara cahaya bagi hati yang berteriak hampa. Persis seperti apa yang pernah saya mintakan kepada Allah.

"Allah, jika Kau butuh lisan untuk menyampaikan pesan-pesan kebenaran kepada manusia, pilihlah aku menjadi salah satunya. Tunjuk aku untuk menjadi orang yang dengan lantang menyuarakan kebenaran dari-Mu.. 

Allah, jika Kau butuh lengan untuk menuliskan berjuta-juta nikmat dan kebesaran-Mu, pilihlah aku menjadi salah satunya. Jadikan goresan tinta dari tanganku menjadi perantara menyadarkan jutaan kepala tentang kebesaran-Mu.

Allah, jika Kau membutuhkan kaki untuk berkelana di bumi-Mu. Tunjuklah aku menjadi salah satunya. Gunakan kakiku untuk mengarungi luasnya bumi ciptaan-Mu, untuk mensyiarkan nilai-nilai islam ke seluruh penjuru dunia. 

Apapun ya Allah, apapun yang ada padaku dan itu bisa kugunakan untuk berjuang di jalan-Mu. Ambillah, gunakanlah. Jadikan aku perantaranya."

Ternyata, Allah masih izinkan. Allah masih perkenankan. Hingga diri ini dipersaksikan kebesaran-Nya dalam membolak-balikkan hati dan menumbuhkan iman di dalam setiap hati. Semoga dengan potensi yang tak seberapa ini, dengan upaya yang masih seadanya ini, segala amal bisa bernilai ibadah dan menjadi jariyah. :"

Masya Allah, ini baru bicara tentang 3 hal yang disyukuri tapi rasanya sudah sebegini terharu. Gimana kalau jabarin syukur yang lain-lainnya. Huhuhu.. Terima kasih ya Allah, atas segala nikmat yang telah, sedang dan akan selalu Kau berikan. Maafkan jika wujud syukurku masih tak seberapa. Semoga Engkau selalu menuntun dan memampukanku untuk menjadi hamba yang tahu terima kasih.

Nah sister, kita penuhi langit malam ini dengan untaian syukur kita kepada Allah, yuk! Kalau kamu, apa saja hal yang paliing disyukuri saat ini? ;)

Yang masih belajar mewujudkan syukur,
Your sister of Deen,

Husna Hanifah

Kamis, 03 September 2020

Ketika Dunia Tidak Berputar Untukku

Tulisan ini adalah tulisan yang saya tulis dalam kulwap (kuliah WhatsApp) untuk Sister of Deen pada 12 Mei 2020 lalu, di malam ke-20 Ramadhan, 1441 H. Sepenggal cerita kehidupan yang semoga bisa diambil hikmahnya.

***

APA TITIK TERENDAH SAYA?

Sebenarnya, jika saya flashback perjalanan hidup saya bertahun-tahun ke belakang, saya sering kesulitan menjawab jika ada orang yang bertanya tentang titik terendah saya. Seingat saya, saya belum pernah mengalami ujian hidup yang ekstrim yang membuat saya stress berkepanjangan. Masalah hidup tentu saja ada, tapi jika saya mendengar pengalaman hidup orang lain, rasanya masih banyak orang-orang yang ujian hidupnya jauh lebih berat dari saya. Sementara untuk saya, rasanya banyak mudahnya dibanding sulitnya. Apakah menyenangkan? Sejujurnya iya, tapi tidak otomatis membuat hidup saya terasa "penuh". Kok bisa? Nanti saya ceritakan.

 

Walaupun begitu, saya pernah mengalami pahitnya ditampar oleh realita ketika saya menyimpan ekspektasi yang terlalu tinggi. Seperti ketika saya berekspektasi pada suami saya di awal menikah dulu, ketika saya mempercayakan sebuah tugas penting kepada orang lain dan berpikir bahwa hasilnya akan sempurna jika ia yang mengerjakannya, ketika saya menceritakan impian saya namun tidak diterima, dan seterusnya. Melelahkan sekali menjalani hidup dengan bergantung pada ekpektasi. Tanpa sadar, saya jadi sering mengeluh, susah bersyukur dan lebih mudah marah, membuat saya jadi lebih sulit bahagia. 

 

BERDAMAI DENGAN EKSPEKTASI

Perlu beberapa kali Allah memberi "tamparan" itu sampai akhirnya saya menyadari bahwa apa yang ada di luar diri saya adalah di luar kendali saya. Tidak semua orang harus sempurna dan tidak semua keadaan harus selalu terkendali. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah pikiran, perasaan, dan tindakan kita ketika menghadapi itu semua. Apakah mau menuntut keadaan terus-menerus atau menjadi yang menerima dan memperbaiki diri lebih dulu?

 

Sejak saya sadar bahwa rumus berdamai dengan keadaan pertama-tama adalah menerima, ini yang kemudian saya latih terus menerus ketika saya bertemu realita yang tak sesuai harapan. Awalnya sulit tentu saja, sebab hati ini sudah terlalu terbiasa untuk berkeluh kesah.

 

Untungnya, hati kita tidak bisa melakukan 2 hal dalam satu waktu. Jika saya mendapati diri saya mengeluh, saya langsung menepisnya dengan syukur. Daripada mencari banyak hal untuk dikeluhkan, saya paksa diri saya untuk menemukan hal-hal yang bisa disyukuri. Alhamdulillah, atas pertolongan Allah pula, kebiasaan mengeluh itu kini sudah berkurang banyak.

 

Kita mungkin tidak bisa menghentikan masalah yang datang, tapi kita bisa mengontrol energi kita, apakah energi tersebut mau kita fokuskan untuk mengeluh, atau mau kita gunakan untuk berikhtiar dan merapal syukur? Keduanya sama-sama membutuhkan energi, tinggal kita memilih, mau fokus pada yang mana?

 

PERJUANGAN SABAR YANG TAK MUDAH

Saya juga pernah mengalami ketika ikhtiar yang saya lakukan terasa begitu jauuh garis finishnya hingga menguras energi dan emosi saya. Seperti ketika saya menyelesaikan skripsi saya beberapa tahun lalu, membuat saya harus menahan malu karena baru lulus di semester ke-11, menyisakan beberapa kenangan buruk yang sejujurnya tidak ingin saya ingat lagi.

 

Ada pula beberapa ikhtiar kebaikan yang terkadang membuat saya berkali-kali ingin menyerah, membuat bimbang antara apakah saya perlu untuk tetap maju dan bertahan, atau memilih tidak peduli dan menghentikan perjuangan. Salah satunya, ketika datang masa-masa dimana saya mulai merasa "lelah" saat berikhtiar memiliki keturunan. Sebenarnya ini jarang terjadi, tapi terkadang menyisakan tanya didalam hati, "harus menunggu berapa lama lagi?" 


Atau ketika saya diamanahi melakukan sebuah project kebaikan. Nyatanya, mengupayakan kebaikan tidak selalu lancar dan disambut baik oleh orang lain. Jika sedang di puncak lelah, rasanya ingin menjadi orang yang juga melepas kepedulian dan menghentikannya. Tapi saya tahu ini pikiran yang salah, lalu saya beristighfar dan mencoba bangkit sekali lagi.

 

Memang, ketika kita mengupayakan sesuatu, ada saat-saat dimana kesabaran kita benar-benar diuji. Ketika menghadapi situasi seperti ini, jika saya hanya fokus kepada hasil, yang ada hanyalah frustasi dan kecewa. Setelah jatuh berkali-kali, akhirnya saya menemukan formulanya, bahwa bersabar adalah tentang menjalani proses, bukan menunggu hasil. Fokus kita adalah pada proses ikhtiarnya. Selama niat kita benar karena Allah dan bertujuan dalam rangka ibadah kepada Allah, tidak ada alasan untuk berhenti dari medan perjuangan. Hasil itu urusan Allah, maka tawakkal adalah kunci agar hati kita terselamatkan dari rasa kecewa.

 

TERNYATA, BERSYUKUR PUN TAK SEMUDAH ITU

Seperti yang tadi saya ceritakan di awal, dibanding ujian kesabaran, berbagai nikmat dan kemudahan hidup ternyata lebih membuat saya gelisah dan lebih nyata tantangannya untuk saya. Menerima banyak kebaikan dari Allah dan merasakan kasih sayang-Nya yang tiada henti, membuat saya merasa "berhutang" kepada Allah. Saya jadi berpikir, apa kiranya yang bisa saya lakukan untuk membalas semua kebaikan Allah ini? Apa yang bisa saya persembahkan sebagai wujud terima kasih kepada-Nya?

 

Bagi saya ini jauh lebih sulit karena kenyamanan hidup seringkali membuat saya terlena menikmatinya, membuat saya hanya memikirkan diri sendiri tanpa tahu bahwa banyak orang lain yang perlu dibantu. Sebab kita ini diamanahi Allah bukan hanya untuk menjaga hubungan kita dengan Allah, tapi juga menjalin silaturahim dengan sesama manusia. Tak cukup hanya taat, kita juga harus jadi bermanfaat.

 

APAPUN JALANNYA, BERJUANG ADALAH PILIHAN

Dari perjalanan hidup saya itu, saya mendapat kesimpulan bahwa selain bersabar, ternyata ada perjuangan yang juga sama beratnya, yaitu: mewujudkan syukur. Syukur terhadap apa saja! Terhadap harta kita, keluarga kita, kesehatan kita, waktu kita, bahkan terhadap hidayah Allah untuk kita.

 

Karena itu saya berusaha sekuat mungkin untuk mengupayakan istiqomah, sebab itulah hal terbaik yang bisa saya berikan kepada Allah atas nikmat iman, nikmat islam, nikmat ibadah, dan nikmat ukhuwah. Karena itu saya memaksa diri saya untuk terus melakukan project-project kebaikan; dengan menulis, dengan berbagi ilmu, dengan mengasuh komunitas, dengan program sosial, dengan apa saja yang membuat kebaikan itu jadi berantai-rantai dan membuat saya bisa meneruskan kasih sayang Allah yang rasakan kepada orang lain. :”)

 

Ternyata.. mau bersabar ataupun bersyukur, sama-sama tidak ada yang mudah. Keduanya sama-sama meminta perjuangan dan pengorbanan kita, serta kebergantungan kita kepada-Nya. Pada akhirnya, tugas kita adalah menjalani kehidupan ini dengan sebaik-sebaiknya sesuai dengan ketentuan-Nya dan kembali pulang kepada Allah dengan membawa buah dari perjuangan sabar dan syukur yang kita jalani selama di dunia.

Sekian. Wallahu’alam bisshawab..