Senin, 27 Mei 2019

Monday Love Letter #43 - Hidup dengan cara-Nya

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! Bagaimana kabarnya di 10 hari terakhir Ramadhan ini? Sudah dapat hikmah banyak? Sudah semeningkat apa iman kita? Sudah sekuat apa koneksi kita dengan Allah? Masih ada waktu, insya Allah. Selamat menghidupkan hari-hari terakhir Ramadhan ya. Ayo kita tetap semangat! :)

Saya ingin bercerita tentang sebuah hikmah yang saya dapatkan dari hasil diskusi dan sharing saya bersama sahabat-sahabat saya. Hari Sabtu kemarin adalah jadwal rutin kajian kami, pembahasannya sebenarnya simpel saja, kami saling bicara tentang harapan-harapan apa yang ingin diwujudkan dari silaturahim yang kami jalin.

Tak sedikit dari kami yang mengawalinya dengan curhat tentang kehidupan masing-masing yang terkadang hampa atau dipenuhi kegelisahan pada awalnya, lalu kemudian menemukan teman-teman yang saling mengingatkan dan ternyata pertemuan itu memberikan ketenangan dan jalan keluar dari kehampaan hati yang dirasa.

Namun yang ingin saya garis bawahi bukan tentang itu, melainkan tentang sebuah cerita dari seorang sahabat yang selama ini saya bersamai perjalanan hijrahnya. Dia bercerita bahwa cara dia memandang hidup hari ini sudah jauh berbeda dengan cara pandangnya dulu. Bertahun-tahun sebelum hari ini, hidupnya adalah tentang bagaimana dirinya mencari kebahagiaan dan kepuasan dari dunia. Cita-citanya adalah tentang dunia yang sungguh-sungguh ia capai namun lupa menyertakan Allah di dalamnya.

Dia memulai ceritanya. "Beberapa dari kalian tahu lah, dulu aku sangat berorientasi pada dunia. Tapi lama kelamaan aku menemukan bahwa hidup dengan cara kita sendiri tuh bikin lelah, bikin gelisah. Nggak percaya? Silakan buktikan sendiri. Ternyata yang paling bener itu memang kita tuh harus hidup dengan cara Allah, bukan dengan cara kita sendiri."

Hidup dengan cara Allah, bukan dengan cara kita sendiri. 

Kalimat itu terus terngiang di pikiran saya hingga hari ini. Jujur, itu juga yang pernah saya rasakan. Ketika saya hidup semaunya, ketika saya merasa bahwa saya ini yang paling berhak mengatur kehidupan saya sendiri, ternyata yang ada hanya rasa puas yang tidak ada habisnya dan berujung lelah.

"Sama seperti kita mau naik gunung dan hanya mengandalkan diri kita sendiri. Nggak tanya guide, nggak nanya warga sekitar, nggak bareng-bareng sama orang-orang yang hafal jalan kesana, kira-kira nyampe nggak? Nggak. Kalaupun nyampe, pasti riweuh kitanya," lanjutnya lagi. Riweuh itu bahasa sunda yang jika diterjemahkan kurang lebih artinya repot. Nyampe sih ke puncak, tapi repot! Coba pake guide, coba nanya warga, pasti akan jauh lebih mudah.

Adanya Al-Quran sebagai guidance sebetulnya untuk mempermudah hidup kita. Tapi terkadang kita suka sok pede dan merasa paling tahu sehingga mengatur hidup kita dengan aturan yang kita buat sendiri, dengan prasangka yang berasal dari pengetahuan kita yang sangat terbatas. Ya pantas saja hidup jadi ribet.

"Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar engkau menjadi susah."
QS. Thohaa (20) : 2

Hidup ini akan jauh lebih mudah jika kita menyerahkan diri kepada Allah. Menyerahkan diri untuk diatur sepenuhnya oleh Allah; nurut sama apa yang Allah perintahkan dan nurut untuk menjauhi apa-apa yang Allah larang. Menyerahlah kepada Dia yang menciptakan kita karena Dia yang paling tahu bagaimana cara terbaik dalam menjalani kehidupan.

Tapi apakah mudah merubah mindset 'saya yang paling tahu' menjadi 'Allah yang paling tahu'? Apakah mudah mengubah mindset 'menurutku seharusnya begini' menjadi 'menurut Allah seharusnya bagaimana ya?' Atau 'yang penting saya senang' menjadi 'yang penting Allah suka'. Memang tidak semudah itu, butuh proses dan latihan yang panjang. Apalagi jika kita terbiasa mengikuti ego dan hawa nafsu kita.

Pada akhirnya, pilihan tetap ada di tangan kita. Apakah masih mau menjalani hidup dengan cara sendiri, atau bergegas menyerah dan kembali kepada Allah dan hidup dengan cara-Nya? Jika kita mencari ketentraman dan keselamatan hidup, tentu kita sudah tahu kan harus memilih yang mana? :)

Senin, 20 Mei 2019

Monday Love Letter #42 - Kesempatan Itu Masih Ada


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! Alhamdulillah, sudah setengah jalan Ramadhan menemani hari-hari kita. Antara bersyukur, tapi juga sedih karena mau dinanti-nantipun, ia (Ramadhan) akan tetap berjalan pergi. Semoga kita bisa memanfaatkan hari-hari yang tersisa dengan sebaik-baiknya. Aamiin..

Sebelumnya mohon maaf atas keterlambatan suratnya yang datang malam-malam begini ya, sister. Badan saya drop setelah sepekan kemarin pergi kesana kemari untuk mempersiapkan sebuah event pesantren kilat bersama sahabat-sahabat komunitas. Alhamdulillahnya, lelahnya terbayar dengan bahagia. Alhamdulillah juga masih Allah mampukan menulis surat ini dan masih bisa bertegur sapa bersama para sister of Deen :)

Selepas isya tadi, saya tiba-tiba terinspirasi oleh sebuah tulisan lama di blog saya tentang sebuah tafsir dari QS. 4:69-70. Maka, di surat kali ini, saya ingin berbagi sesuatu sekaligus mengingatkan diri saya sendiri tentang sebuah cita-cita yang tentunya kita semua pasti menginginkannya, yaitu: masuk syurga. Adalah Quran dan Sunnah Rasulullah, yang jika kita ikuti dan amalkan, insya Allah akan membawa kita kepada syurga-Nya. Lalu kita berusaha mengamalkannya sebaik-baiknya, berproses dan berjuang untuk menjadi sebaik-baik hamba, menahan rindu agar kelak bisa bertemu dengan Rasulullah SAW di syurga-Nya Allah.

Tapi bagaimana jika amal kita tak cukup banyak untuk mendapatkan syurga tertinggi, sementara Rasulullah SAW pastilah ditempatkan Allah di syurga-Nya di tingkat yang tinggi. Masihkah kita bisa melepas rindu bertemu dengan beliau SAW?

Ternyata kekhawatiran ini pernah dirasakan juga oleh seorang shahabat.

Abu Bakar Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa dia berkata, "Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai daripada diriku, lebih aku cintai daripada keluargaku, lebih aku cintai daripada anakku. Aku tadi berada di rumah, lalu aku ingat engkau, maka aku tak sabar sehingga aku datang untuk melihatmu. Apabila aku mengingat kematianku dan kematianmu, aku tahu bahwa apabila engkau masuk surga nanti, maka engkau berada di tingkat yang tinggi bersama para Nabi. Sedangkan jika aku masuk syurga, maka aku khawatir tidak dapat berjumpa denganmu." Nabi SAW tidak menjawab sedikitpun sehingga turunlah QS. An-Nisaa : 69"

Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa (4) : 69-70, "Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui."

Dalam tafsirnya Fi Zhilalil Quran jilid ke-4, Sayyid Quthub mengatakan, " ayat ini adalah sentuhan menarik setiap hati yang masih ada bibit kebaikan padanya, masih ada bibit kesalehanmasih ada sisa-sisa keinginan untuk mendapatkan kedudukan yang mulia dalam kumpulan orang-orang terhormat, di sisi Allah yang Maha Mulia. Berteman dengan golongan tinggi ini tak lain adalah karunia Allah. Maka, tidaklah seseorang dapat mencapainya hanya semata-mata dengan amalan dan ketaatannya saja. Sesungguhnya itu adalah karunia yang besar dan melimpah ruah."

Bagi saya, ayat ini menjadi angin segar karena berarti kesempatan untuk bersama-sama dengan Rasulullah di syurga nanti, masih tetap ada. Jangankan reuni dengan keluarga kita, reuni dengan Rasulullah dan para shahabatnya yang terpaut jarah 1500 tahun dengan kita saja bisa!

Bagaimana, tertarik juga kan dengan tawaran Allah untuk bisa bersama-sama di syurga bersama para Nabiyyin, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin? Kuncinya adalah ketaatan. Taat pada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah janjikan pertemanan abadi dengan para golongan mulia di syurga-Nya. Semoga kita termasuk satu diantaranya. :')

Semoga tulisan sederhana ini bisa kembali memotivasi kita untuk kembali mengupayakan taat. Taat yang tanpa tapi, yang sempurna, yang sepenuh-penuhnya dan seikhlas-ikhlasnya.

Rabu, 15 Mei 2019

Mengapresiasi Kesabaran


"Terima kasih ya udah sabar sama Aa." adalah kalimat apresiasi dari suami paling bikin melting yang pernah kudengar. Berarti dia sadar kalo dia sering nyebelin (wkwk) tapi dia tetep berterimakasih karena aku bersabar terhadapnya. Terharu sih :')

Pernikahan mengajarkanku untuk siap menerima keseluruhan yang ada pada dirinya; kelebihannya juga kekurangannya. Bersyukur dan berterima kasih terhadap kebaikan pasangan mungkin mudah, tapi bersabar bersama kekurangannya terkadang menjadi tantangan tersendiri.

Kalau dipikir lagi, aku juga masih harus banyak belajar untuk bisa jadi istri yang baik; yang seimbang dalam setiap peran tanpa mengabaikan kewajiban dalam keluarga. Jujur susah sih, tapi suamiku bertahan bersama segala kekuranganku.

Dan aku berterimakasih untuk itu.

Bagiku, kesabarannya seperti menyimpan pesan yang tak terucap bahwa ia percaya padaku. Percaya bahwa aku bisa menjadi istri yang lebih baik lagi.

Dengan sabarnya, ia memberiku ruang untuk belajar, juga kesempatan untuk memperbaiki diri. Hanya dengan satu sikap sederhana; bersabar (eh dua deng) dan terus membersamai.

Terima kasih tak terhingga untukmu yang sudah bersabar membersamaiku selama 3 tahun ini. Terbaik 💞 

Senin, 13 Mei 2019

Monday Love Letter #41 - Menjadi VVIP di Akhirat

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! Bagaimana Ramadhanmu? Sudah mulai berasa pemanasannya? Tenang,, ini baru hari ke-8, masih ada 22 hari lagi sebelum Idul Fitri. Pastikan energimu masih cukup untuk meneruskan "maraton" ibadah di bulan ini ya! :)

Hmm, sebenarnya, tadinya saya tidak tahu mau menulis apa untuk ide Monday Love Letter hari ini. Sang ide sepertinya sedang menahan dirinya untuk mampir di kepala saya. Mumpung Ramadhan, ya saya manfaatkan saja buat berdoa, "Ya Allah, saya belum punya ide mau nulis apa hari ini, tolong beri inspirasi, Ya Allah.." Serius, saya beneran berdoa seperti itu. Haha.

Sore tadi, saya ada agenda keluar rumah. Alhamdulillah, punya waktu mencari inspirasi dulu selama menyetir motor, pikir saya. Dan benar saja, Allah memang Maha Baik dan Maha Mendengar Doa, di jalan, Allah memberi saya sebuah inspirasi. TING! Apakah ituu?

Saya tadi sedang menyusuri jalan raya yang cukup terkenal di Bandung, namanya Jl. Soekarno Hatta. Saat itu tidak terlalu banyak kendaraan yang berlalu lalang, mungkin karena belum terlalu sore sehingga jalanan belum terlalu padat. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara sirine, saya melirik spion dan melihat ada motor polisi yang mengawal banyak mobil di belakangnya. Mobilnya tidak satu, tapi banyak! Mungkin ada sekitar 8 mobil yang dikawal oleh polisi tersebut, satu polisi mengawal di depan dan ada satu lagi polisi bermotor mengawal di belakang.

Saya refleks menepi, bahkan sampai berpindah ke jalur lambat. Tak lama kemudian deretan mobil berwarna hitam itu melewati saya. Saya juga melihat mobil-mobil yang lain menepi memberi jalan. "Wiih enak banget mobil-mobil itu karena dikawal polisi jadi lancar jalannya," pikir saya ketika itu. Saya nggak tahu sih itu rombongan pejabat mana, tapi jika sampai dikawal begitu, mereka-mereka ini pasti orang penting semua, ya kan?

Entah kenapa, hati kecil saya tiba-tiba berbisik, "Tuh Na, jadi orang pentingnya manusia aja diperlakukan seistimewa itu, gimana kalau jadi orang pentingnya Allah?"

Seketika saya teringat pada satu waktu di akhirat nanti, dimana setiap manusia akan melewati jembatan shiratal mustaqim. Jembatan paling menegangkan karena lebarnya hanya setipis rambut yang dibelah tujuh, barangsiapa tidak beriman pada Allah, tidak akan selamat darinya dan akan terjatuh ke dalam neraka yang menyala-nyala. Berbeda dengan mereka, para kekasih Allah, para Nabi dan para syuhada, justru melewati jembatan itu dengan aman bahkan ada yang secepat kilat sudah sampai di syurga. Berasa tamu VVIP, nggak perlu nunggu nggak perlu ngantri, langsung diantar ke syurga dengan secepat kilat. Ngiri banget kaan :")

Di padang mahsyar pun sama, di saat matahari didekatkan hingga seluruh manusia bermandikan keringat, orang-orang kesayangannya Allah tidak merasakan panas karena Allah naungi dengan awan. Tidak ada kekhawatiran di wajahnya, yang ada justru perasaan rindu dan bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan Rabb yang dicintainya.

Begitu banyak keistimewaan yang didapat ketika Allah memuliakan hamba-Nya. Ketika datang kematian padanya, Allah memerintahkan malaikat izrail untuk mencabut nyawanya dengan lembut. Di alam kubur, ia mendapat nikmat kubur; diperlihatkannya syurga dan berbagai kenikmatannya yang disediakan sebagai tempat tinggal yang kekal untuknya.

Waahh, gimana, pengen banget atau pengen aja nih jadi orang pentingnya Allah? Tentunya yang mendapatkan kesempatan itu bukanlah orang yang diam, bukan orang yang berjuang sekedarnya, bukan orang yang cetek imannya. Mereka yang beruntung dan diperlakukan seperti VVIP di akhirat nanti tentu adalah orang yang sudah betul-betul teruji keimanannya, berjuang habis-habisan hingga terbeli harta dan jiwanya dengan syurga.

Presiden saja tidak sembarang mengundang orang ke istana, mereka yang bisa bertemu presiden ke istana pastilah orang yang telah melakukan prestasi yang membanggakan dan menggembirakan serta telah berkontribusi besar untuk negeri ini. 

Lantas jika kita ingin masuk ke syurganya Allah dan berjumpa dengan Allah, sudah melakukan apa yang kira-kira membanggakan dan menggembirakan Allah? Jika ingin diperlakukan spesial oleh Allah di hari akhir nanti, pengorbanan seperti apa yang telah dilakukan demi Dia yang kita cintai?

Yuk ah, kita semangat lagi dan semangat terus mengejar ridho-Nya Allah! Biar bisa jadi VVIP di akhirat nanti; yang dimudahkan hisabnya, dilindungi dari siksa neraka, bisa bertetangga dengan Rasulullah di syurga, dan diberi kenikmatan bisa bertemu dengan Allah. Aamiin, allahumma aamiin.. :')

Monday Love Letter #40 - Ramadhan Mode: ON


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! Alhamdulillah, senang sekali masih bisa bertegur sapa denganmu lewat Monday Love Letter. Dan rasanya kali ini lebih spesial karena ini Ramadhan pertama kita bersama Sister of Deen Project, ya kaaaan? Hehe. #ciee

Saya bersyukur luar biasa bisa bertemu lagi dengan Ramadhan tahun ini. Setiap kali sedang melakukan sesuatu dan tersadar bahwa hari ini sudah bulan Ramadhan, saya merasa bahagia dan bersyukur. Sepertinya baru kali ini saya se-happy itu ketemu Ramadhan dan nunggu-nungguin banget dari bulan Rajab kemarin. Alhamdulillah kerinduan saya pada Ramadhan tidak bertepuk sebelah tangan dan Allah masih mengizinkan saya dan kita semua untuk bertemu dengan bulan yang penuh kemuliaan ini. Saya yakin kamupun sedang merasakan kebahagiaan dan kebersyukuran yang sama, bahkan mungkin lebih dari yang saya rasakan. Selamat menikmati "sajian-sajian" Ramadhan ya sister, semoga Allah senantiasa membimbing dan menjaga sampai jiwa kita terhantarkan menuju takwa. Aamiin..

Sister, apakah kamu pernah mendengar istilah tazkiyatun nafs? Tazkiyatun nafs terdiri dari 2 kata yaitu at-tazkiyah dan an-nafs. At-tazkiyah bermakna pensucian atau pembersihan. Masih satu akar kata dengan zakat yang mana tujuan dari syariat zakat adalah untuk mensucikan harta dan jiwa kita. Adapun kata an-nafs berarti jiwa atau nafsu. Jadi secara bahasa tazkiyatun nafs berarti pensucian jiwa dari segala yang mengotorinya.

Saya bukan pakar bahasa arab, tapi entah kenapa kalimat tazkiyatun nafs terdengar begitu cantik di telinga saya. Jika kita kaitkan dengan kehidupan sehari-hari, sebenarnya perihal pembersihan bukanlah hal yang asing. Bersih-bersih termasuk hal yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Setiap hari kita mandi untuk membersihkan badan, kita juga punya jadwal untuk membersihkan kamar atau kosan kita, ditingkat RT para warga biasanya mengadakan kerja bakti rutinan untuk membersihkan lingkungan sekitar. Dari lingkup terkecil yaitu diri sendiri sampai lingkup yang lebih besar, butuh pembersihan. Bahkan Allahpun melakukan "pembersihan" terhadap bumi dengan diturunkannya hujan.

Mengapa kita perlu melakukan bersih-bersih secara berkala? Ya, karena debu dan kotoran ada dimana-mana. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang harus bersih-bersih rumah, saya kadang suka bergumam, "Ini kok debu ada aja sih, heran." Haha, padahal ya itu hal yang biasa. Akan ada saat dimana kita harus membersihkan debu dan kotoran yang terlihat di sekitar kita.

Nah, begitu pula dengan jiwa kita. Sadar tidak sadar, sengaja atau tidak, jiwa kita juga pasti sering terkotori oleh hal-hal yang mengotorinya. Apa sajakah itu? Yang paling fatal adalah ketika kita tidak sadar sedang menduakan (bahkan mentigakan, mengempatkan, menglimakan)  Allah. Allah yang seharusnya menjadi satu-satunya yang dicintai, diibadahi dan dituju, secara perlahan mulai dikesampingkan oleh harta kita, pekerjaan kita, karir, bisnis, pasangan, anak, cita-cita, dan sebagainya yang membuat kita tak lagi menomorsatukan Allah dalam kehidupan kita. Ini harus dibersihkan, karena jika dibiarkan berarti kita sedang menanam potensi syirik di hati kita. Naudzubillahi min dzalik.

Kotoran jiwa lainnya adalah dosa; pelanggaran syariat atas perintah dan larangan yang telah Allah tetapkan dalam al-Quran. Ini jelas harus dibersihkan dengan taubat. Belum lagi "debu-debu" yang terkadang tidak kita sadari seperti berprasangka buruk terhadap orang lain, membicarakan kejelekan orang lain, menyimpan dendam terhadap orang lain, atau niat yang tidak lurus dalam beribadah. Dikarenakan jiwa ini sangat rentan terhadap hal-hal yang mengotorinya, maka diperlukan tazkiyatun nafs secara berkala. Ramadhan, adalah salah satu waktu yang dikhususkan untuk itu.

Ramadhan menjadi kesempatan sekaligus jalan bagi siapapun yang ingin membersihkan jiwanya. Dengan adanya syariat shaum, kita diperintahkan untuk menahan. Tidak hanya menahan lapar dan haus, tapi juga menahan nafsu dan menahan dari hal-hal yang bisa merusak amal shaum kita.

Ramadhan juga memfasilitasi siapapun hamba Allah yang rindu dan ingin kembali kepada Allah dengan disuburkannya majelis-majelis ilmu, dzikir dan lantunan ayat suci al-Quran bertebaran dimana-mana, lingkungan yang betul-betul kondusif karena ajakan kepada kebaikan dan kebenaran ada dimana-mana, dilengkapi dengan perintah zakat untuk membersihkan harta dan jiwa.

"Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan padanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya." (QS. Asy-Syams (91) : 7-10)

Tak heran, Idul Fitri disebut momen kembali fitrah, kembali suci. Tentu saja tidak bagi semua orang, tetapi hanya bagi mereka yang berhasil men-tazkiyah jiwanya melalui Ramadhan. Ya, makna Idul Fitri tidak hanya sekedar perayaan hari raya, tapi sebagai perayaan kemenangan atas keberhasilannya membersihkan harta dan jiwa dan sebagai titik awal yang baru untuk siap meningkatkan kualitas jiwanya menjadi mulia dihadapan Allah, karena itulah Syawal disebut juga sebagai bulan peningkatan.

Allah sudah begitu baik memberikan kita kesempatan untuk membersihkan jiwa kita melalui Ramadhan ini. Banyak hadits menyebutkan keutamaan Ramadhan, salah satunya adalah pintu surga yang dibuka seluas-luasnya dan kesempatan untuk mendapat ampunan Allah. Semoga kita bisa bersyukur atas itu dan tidak menyia-nyiakannya.

Marhaban yaa Ramadhan! Selamat menepi dari keriuhan dunia, selamat berjuang menjadi sebaik-baik hamba, selamat melepas rindu pada Dia yang sebetulnya jauh lebih merindukan kita. Ramadhan mode: ON.

Senin, 06 Mei 2019

Monday Love Letter #39 - Sebab Kita Tak Pernah Terlalu Tua Untuk Apapun

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! Bagaimana rasanya sebentar lagi akan kedatangan bulan Ramadhan? Kurang lebih sepekan lagi Tamu Agung itu akan menyapa kita semua, Insya Allah. Semoga Allah sampaikan usia agar dapat bertemu Ramadhan, mengingat (kalau saya sih) masih banyak PR-PR perbaikan diri yang belum terealisasi, berharap Allah masih memberi kesempatan dan membuka lebar pintu ampunan-Nya untuk kita. :')

By the way, I'm turning 27 today.

Jadi semakin banyak merenung, sudahkah berkah setiap usia yang terlewati tahun demi tahun? Lalu seandainya jatah usia yang Allah beri tinggal sedikit lagi, sudahkah cukup aset-aset yang dikumpulkan di dunia agar bisa meraup untung besar di akhirat? Fix harus lebih jor-joran lagi beramal dan berkarya untuk Allah, berusaha menjadi hamba yang semakin mencintai Allah dan dicintai-Nya. Titip doa-doa terbaikmu untuk saya ya, sister. Please keep me in your du'a :) *tapi dalam hati aja ya doanya, kalau di-reply nanti saya kewalahan balasnya hehehe :P

Bicara tentang umur yang semakin bertambah, kadang suka ada perasaan saya-masih-pantas-nggak-ya dalam berbagai hal. Mau terlibat di organisasi atau komunitas mikirnya, "Saya masih pantas nggak ya, kan saya sudah bukan anak kuliahan lagi." Mau kuliah lagi atau ikut kursus mikirnya, "Masih pantes nggak sih, saya kan sudah umur segini. Malu sama yang lain, banyaknya yang lebih muda." Ya memangnya kenapa? Terkadang perasaan seperti ini justru malah jadi racun yang menghambat kita untuk terus bertumbuh.

Belum lagi kalau ada perasaan-perasaan merasa terlambat seperti, "Nyesel deh baru rajin ikut-ikut kajian sekarang, harusnya dari dulu nih.." atau "Kenapa sih nggak belajar dari dulu, kalau dulu lebih rajin kan sekarang saya nggak akan kewalahan begini (dalam agama, pernikahan, parenting, karir, bisnis, dll).." Yang biasanya berakhir dengan penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Hayoo, pernah merasakan juga? Jika perasaan terlambat itu menjadi motivasi untuk melaju lebih cepat sih tidak apa, namun yang bahaya adalah ketika ujungnya kita memilih untuk berhenti belajar dan bertumbuh.

Saya juga pernah merasakan penyesalan-penyesalan semacam itu, tapi percayalah, berlarut dalam penyesalan tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan. Berhentilah menatap lembaran yang kotor dan segeralah beralih ke lembaran yang baru yang masih bersih. Kita seringkali lupa mensyukuri kesempatan baru yang Allah berikan untuk digunakan lebih baik dari kesempatan sebelumnya

Mungkin surat ini lebih spesifik ditujukan kepada mereka yang sudah merasa terlalu tua untuk mencapai sesuatu atau belajar sesuatu. Tetap semangat ya sister, bertambah tua adalah satu hal yang pasti namun menjadi pembelajar adalah proses seumur hidup. Tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar, apalagi mempelajari ilmu-Nya. Tidak juga ada kata terlambat untuk mengupayakan sesuatu, karena apapun yang Allah takdirkan menjadi rezeki kita, tidak akan pernah meleset datangnya. Tugas kita adalah terus berupaya, terutama mengupayakan diri meraih sebaik-baik kemuliaan di hadapan Allah.

Jika sedang merasa tak pantas untuk berupaya menjadi lebih baik, saya selalu menjadikan kisah Umar bin Khathab r.a sebagai penyemangat. Sayyidina Umar r.a dulunya adalah seorang yang sangat ahli maksiat, kebenciannya kepada Rasulullah SAW amatlah besar hingga berusaha untuk membunuh Rasulullah. Namun Allah telah memilihnya keluar dari gelapnya jahiliyah menuju kepada cahaya Islam hingga hari ini kita mengenal Umar bin Khathab r.a sebagai khalifah kedua yang sangat terkenal dengan keadilannya dan kewibawannya. Beliau tidak menyia-nyiakan "lembaran baru" yang Allah berikan dan mengisinya penuh dengan amal shaleh dan amal jihad. Masya Allah, tabarakallah. Spirit beliaulah yang selalu menjadi penyemangat saya untuk sebisa mungkin berusaha untuk tidak menyia-nyiakan setiap hari baru yang datang.

Kisah beliau membuktikan bahwa setiap orang selalu bisa menggunakan kesempatan keduanya, setiap orang berhak mengisi lembaran barunya dengan kisah yang betul-betul baru yang bahkan berbeda 180 derajat dari lembaran yang telah lalu. Dalam QS. 39:53, Allah bahkan menyuruh kita untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah. Maka, selama masih ada nafas, selama itu pula kita masih bisa memilih untuk menjadi pembelajar dan terus bertumbuh serta berproses menjadi hamba yang Allah inginkan. Kapanpun dan di umur berapapun.

Allah Maha Baik kan? :))