Senin, 26 Agustus 2019

Monday Love Letter #56 - Cahaya di Atas Cahaya

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! 

Terima kasih sudah setia bersama kami di Sister of Deen Project sampai hari ini. Kami memohon banyak maaf darimu jika selama ini kami masih banyak salahnya, kurangnya, dan mungkin masih jauh dari yang kamu harapkan. Terima kasih juga sudah bersabar menunggu buku kami. InsyaAllah kami masih sedang berproses dan berprogres. Selain itu, saat ini kami juga sedang menyiapkan sesuatu yang lain dan beradaptasi dengan amanah-amanah baru di dunia nyata, sehingga ada sedikit pergeseran jadwal. Buku kami insyaAllah akan menyapamu di awal tahun depan.

Bagaimana kabar jiwamu sepekan ke belakang? Semoga jawabanmu bukan sekedar baik-baik saja, tapi juga bisa menjelaskan apa makna di balik kata baik-baik saja itu.

Sabtu lalu, salah satu dari kami berkesempatan untuk mengisi sebuah kajian muslimah di salah satu mesjid yang ada di Kota Bandung. Materi yang saat itu menjadi tema kajiannya adalah tentang menjadi cahaya di atas cahaya. Familiarkah kamu dengan frasa tersebut? Ya, itu adalah istilah terkenal yang disebutkan-Nya dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 35. Dalam sejarah sastra di Indonesia, ada juga satu buku terkenal yang membuat kita mengingatnya saat membahas hal ini, yaitu Habis Gelap Terbitlah Terang yang ditulis oleh RA. Kartini.
 
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” – QS. An-Nur : 35
 
Bicara tentang cahaya, mungkin kita jadi bertanya-tanya, cahaya apa yang dimaksud? Cahaya itu adalah istilah yang menggambarkan petunjuk Allah. Tanpa cahaya tersebut, seperti yang disampaikan-Nya dalam Adh-Dhuha ayat 8, kita tak ubahnya hanya seperti seseorang yang bingung.
 
“Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” – QS. Adh-Dhuha : 7
 
Pertanyaannya, bagaimana dengan kondisi diri kita hari ini? Apakah sudah menemukan cahaya di atas cahaya itu dan sudah tertunjuki karenanya? Atau, apakah kita justru dalam keadaan yang sebaliknya, dalam kebingungan dan kegelapan yang entah dimana ujungnya?
 

Jika kita renungkan lebih dalam, tidak ada makhluk hidup di bumi ini yang tidak membutuhkan cahaya. Secara fisik, manusia membutuhkan cahaya matahari agar bisa hidup –begitu pula dengan hewan dan tumbuhan. Tanpa cahaya matahari, mungkin tidak akan ada kehidupan di bumi, sebab cahaya matahari memiliki peran yang sangat penting dalam keberlangsungan hidup kita. Namun kita boleh jadi lupa, bahwa tidak hanya fisik kita yang membutuhkan cahaya, tetapi juga jiwa kita. Jiwa kita perlu hidup sebagaimana raga yang perlu dirawat dan diberi makan. Jiwa kita juga membutuhkan “makanan” dan sumber kehidupannya sendiri, yaitu cahaya Allah.
 
Tanpa cahaya Allah, seterang apapun dunia melingkupi kita dengan segala yang kita punya, cahaya dunia itu tidak akan pernah cukup untuk menerangi. Ia bahkan masih saja akan membuat kita terlonta-lonta dan kebingungan dalam menapaki banyak hal di depan mata. Pernah melihat (atau bahkan mengalami) seseorang yang memiliki ini dan itu tapi tetap saja hampa yang terasa? Mungkin saja hal itu disebabkan oleh jiwa yang kosong, yang meronta karena membutuhkan “nutrisi” dan dikalahkan oleh rakusnya ambisi.

Memang, dunia ini sungguh menyilaukan. Ada harta, tahta, dan cinta yang bergantian berpendar menarik perhatian kita dan membuat kita lupa bahwa hati dan jiwa kita hanya butuh satu cahaya, yaitu yang berasal dari-Nya. Satu-satunya cahaya yang kita butuhkan hanyalah cahaya Allah, sebab cahaya itulah yang akan menerangi, melingkupi dan juga menunjuki kita pada kebahagiaan hidup yang sesungguhnya.
 
Lalu dimanakah kita bisa menemukan cahaya itu? Mendekatlah kepada sumber cahaya, kepada sang pemilik jiwa kita; Allah. Temukanlah cahaya-Nya, dalam perkenalan-perkenalan kita dengan Allah, dengan kitab-Nya, dengan jalan lurus-Nya, juga dengan diri kita sendiri yang terlahir sebagai hamba-Nya. Sampai hati kita terasa penuh, jiwa kita terasa utuh, benih keimanan dalam diri kita tumbuh hingga tertanam rasa takut kepada Allah, rasa cinta dan bergantung kepada-Nya, serta kerelaan berkorban untuk-Nya.

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” – QS. Muhammad: 17


Semoga Allah senantiasa menjaga jiwa kita dan menerangi hidup kita dengan cahaya-Nya sebagai petunjuk dan penerang langkah-langkah kita di dunia hingga selamat sampai ke akhirat. Aamiin.

Your sister of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Monday Love Letter #55 - Bicara Dunia

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Hari demi hari terus berganti, tak terasa sudah Senin lagi. Sadarkah kita bahwa bersamaan dengan bergantinya hari, Allah juga mengurangi jatah waktu kita di dunia? Semoga semakin dewasa, kita semakin siap melepaskan “genggaman” kita pada dunia untuk kemudian kembali kepada-Nya.

Belakangan ini, saat waktu sudah memasuki bulan Agustus, beberapa kali kami melihat pertanyaan kontemplatif di sosial media, katanya, “Delapan bulan berlalu, apa kabar resolusimu?” Ketika membacanya, tak jarang orang menjadi tertegun dan bertanya-tanya, “Hmm, iya ya, apa kabar hidupku selama ini? Apakah aku sedang mendekati tujuanku atau ternyata sebaliknya?” Tapi, ngomong-ngomong tentang resolusi, kami jadi tergelitik untuk membicarakan satu topik yang selalu hits untuk dibicarakan kapan saja: pencapaian.

Selama ini mungkin kita sibuk berhitung tentang banyaknya pencapaian kita di dunia. Cermat sekali membuat target dari tahun ke tahun agar cita-cita dunia kita tercapai. Tentang rencana kuliah, rencana menikah, rencana punya rumah, rencana bisnis, rencana kolaborasi karya, rencana membuat project A, membuat gerakan B, membuat konten C, semuanya kita pikirkan dan kita rencanakan dengan matang. Tapi apakah perjalanan menuju akhirat kita rencanakan seserius itu? Apakah rencana untuk meningkatkan kualitas diri kita di hadapan Allah juga dipersiapkan dan diprogramkan dengan sebaik mungkin? Kebanyakan orang mungkin akan menunduk malu sambil menggeleng lemah menjawab pertanyaan tersebut. Apakah kita juga termasuk di dalamnya? Semoga tidak, ya!

Disadari atau tidak, hari ini banyak orang yang menilai kebahagiaan dirinya dari eksistensi materi semata. Kekayaan harta misalnya. Merasa hebat dan bahagia ketika segala bentuk materi bisa dipamerkan. Atau popularitas, dimana derajat diri kita seakan dilihat dari berapa banyak jumlah followers yang kita miliki, berapa banyak likes yang kita dapatkan dari sebuah postingan kita di media sosial. Atau pasangan dan anak, seakan yang sudah bertemu jodohnya lebih mulia dan jomblo dipandang hina. Yang memiliki anak, merasa keluarga sudah lengkap dan merendahkan perempuan yang lain yang belum dikaruniai keturunan. Parahnya lagi, katanya, hidup kita tidak bahagia dan tidak mulia jika tidak memiliki semua itu. Benarkah?

Memangnya tidak lelah menilai kesuksesan hanya dari yang terlihat di permukaan? Memangnya tidak jengah melihat berbagai manusia yang berusaha memberi makan kepuasan dirinya yang tak pernah habis? Memangnya tidak gerah melihat diri kita sendiri yang sibuk tampil dan berusaha dilirik oleh manusia yang lain? Memangnya tidak kasihan dengan diri sendiri yang menggantungkan kebahagiaan diri pada apresiasi dari orang lain?

Dunia ini tidak akan pernah bisa mengenyangkan kepuasan kita, karena itu kita selalu dirundung kegelisahan bersama dengan setiap pencapaian duniawi yang kita upayakan. Kita merasa harta bisa membuat kita tenang, nyatanya kita malah dirundung kekhawatiran akan kehilangannya. Kita merasa popularitas bisa membuat kita tenteram, nyatanya kita malah dibombardir dengan rasa keharusan untuk membahagiakan semua orang. Kita merasa dengan menikah dan berkeluarga adalah pangkal dari kebahagiaan hidup, nyatanya tantangan dan masalah yang dihadapi lebih banyak dan lebih berat dibanding ketika kita masih hidup sendiri. Lantas apa yang sebenarnya sedang kita cari?

Begitulah, ketika hidup kita hanya didedikasikan untuk materi duniawi serta apresiasi manusia semata, ketenangan justru tidak akan pernah kita dapatkan. So, just look into yourself! Sadari bahwa sejatinya kita adalah seorang hamba. Kita tidak pernah diminta untuk memuaskan diri dengan dunia. Sebaliknya, kita diminta untuk menjadikan dunia sebagai alat, sarana, kendaraan, atau apapun itu kita menyebutnya, agar dunia bisa menghantarkan kita pada keselamatan hidup di akhirat. Bagaimana pun, dunia sementara, akhirat selamanya.

Kami tahu ini tak mudah, kami pun sama berjuangnya sepertimu untuk bisa menggeser fokus dari dunia kepada yang seharusnya. Kita belajar sama-sama, ya!

Your Sister of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Monday Love Letter #54 - Merelakanmu, Melepasmu Pergi

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Kami senang sekali bisa berkirim surat denganmu saat masih dalam suasana lebaran Idul Adha seperti ini. Apakah tahun ini kamu berqurban? Jika ya, semoga Allah menerima amalan qurbanmu dan memberkahi harta kau yang keluarkan untuk-Nya. Namun jika kesempatan berqurban belum bisa terlaksana tahun ini, semoga Allah meluaskan hatimu dan melapangkan rezekimu untuk bisa menunaikannya di tahun depan. Sebab berqurban tentu bukan hanya tentang penyembelihan hewan qurban, ada banyak bentuk pengorbanan yang bisa kita lakukan sebagai bentuk pembuktian ketaatan kita kepada Allah.

Gema takbir kemarin malam tentu masih hangat-hangatnya kita dengar, rasanya belum terlambat jika kita ingin menepi sejenak untuk merenungi makna ibadah qurban yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s dan keluarganya. Kita maknai bersama yuk, sister! Stay tune sampai akhir, ya!

Ribuan tahun sebelum hari ini, dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim mendapat amanah maha penting dari Allah untuk menyembelih anaknya yang bernama Ismail. Bukan mudah, amanah ini tentu sangat luar biasa, terlebih karena Ismail adalah anak yang kelahirannya pernah ditunggu sangat lama oleh keluarga Nabi Ibrahim. Apakah kemudian Nabi Ibrahim menolak? Tidak, beliau tetap menjalankan amanah itu dengan penuh ketaatan dan kerelaan kepada Allah. Begitu pula dengan Ismail, ketika mengetahui bahwa ia akan disembelih dan itu adalah perintah dari Allah, ia pun dengan penuh ketaatan dan kerelaan mempersilahkan ayahnya untuk melaksanakannya.

Hmm, kalau saja itu terjadi pada kita, mungkin kita sudah melakukan berbagai upaya unjuk rasa agar Allah tidak memberikan amanah yang tidak masuk akal itu kepada kita, “Ya Allah, masa sih? Ini yang bener aja, dong!” Hehe. Ah, namanya juga kita, kualitas iman kita recehnya luar biasa! Mana mungkin bisa tahan dengan ujian sehebat yang diberikan Allah kepada keluarga Nabi Ibrahim. Terus, di momen penting di bulan Dzulhijjah ini, apa yang bisa kita lakukan untuk membuktikan keimanan kita kepada Allah seperti yang pernah dilakukan oleh keluarga Nabi Ibrahim?

Kita tahu bahwa hari ini perintah untuk menyembelih anak sendiri itu tentu sudah tidak ada lagi. Tidak akan terdengar lagi seorang ayah yang akan menyembelih anaknya dan mengaku bahwa itu perintah Allah. Tapi, apakah saat ini kita bisa memastikan bahwa di hati kita, termasuk juga di ruang-ruang terdalamnya, sudah terbebas dari ‘Ismail-Ismail’ yang membelenggu keseharian kita? Jangan bercanda, tentu saja tidak bisa!

Coba ingat-ingat lagi! Keengganan untuk berqurban kemarin-kemarin karena takut rezeki berkurang dan lupa bahwa Allah Maha Pemberi Rezeki, apakah itu bukan ‘Ismail’?

Kekhawatiran akan urusan-urusan dunia dan lupa bahwa Allah yang Maha Mengatur segalanya, apakah itu bukan ‘Ismail’?

Rasa iri dan dengki saat melihat update kehidupan orang lain yang mereka kabarkan di media sosial, lalu mulai membandingkan dengan diri sendiri, apakah itu bukan ‘Ismail’?

Khawatir meninggalkan gaya hidup yang lama setelah berita tentang kebenaran itu hadir, apakah itu bukan ‘Ismail’?

Dan bahkan, perasaan-perasaan yang tak jelas namanya, yang terpaut pada seseorang yang juga tidak jelas peranannya di dalam hidup kita, apakah itu tidak layak disebut ‘Ismail’?
 

Jika kita telusuri lagi dan lagi, akan ada sederet ‘Ismail’ yang kita temukan di kedalaman hati kita. Keangkuhanlah yang mungkin membuat kita tidak menyadarinya. Untuk kembali menjalani hidup di jalan keselamatan, kita tentu tidak punya cara lain selain ‘menyembelihnya’ bukan? Maka, di hari yang berbahagia ini, semoga tidak ada lagi keengganan di lisan dan hati kita untuk bertaubat dan memohon ampunan kepada-Nya.

Lepaskan, tinggalkan, dan kembalikanlah segala urusan kepada Allah; sibukkan diri dengan ilmu dan amal; serta berbetahlah dalam duduk bersama-sama dengan orang shalih(ah) yang dengannyalah kita dapat saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dengan begitu, semoga Allah mampukan kita untuk menyelamatkan diri dari ‘Ismail-Ismail’ yang ada di dalam hati. Selamat lebaran, sister!

Your sister of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Senin, 12 Agustus 2019

Monday Love Letter #53 - Allah, Maaf Aku Tak Tahu Diri

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Bagaimana kabarmu? Semoga senantiasa dalam keadaan baik dengan hati yang selalu terpaut pada Allah, ya! Oh iya, listrik di rumahmu sore ini sudah menyala, kah?

Seperti yang kita semua tahu, ada rentetan kejadian yang cukup mengejutkan yang terjadi akhir-akhir ini. Jumat lalu, kita semua dikagetkan oleh gempa yang terjadi di sekitar Banten yang getarannya cukup terasa hingga ke beberapa kota di sekitarnya, termasuk Bandung. Lalu kemarin, beberapa kota di Jawa Barat mengalami mati listrik secara serentak dalam waktu yang cukup lama sehingga kita cukup kewalahan dibuatnya.

Kamu juga mungkin menyaksikan baik secara langsung maupun di media sosial, orang-orang "ribut" membicarakan hingga mengeluhkannya. Jika kita renungi bersama, Allah pasti menyimpan banyak hikmah di baliknya. Salah satunya, mungkin karena Allah ingin membuat kita menyadari suatu fakta bahwa diri kita ini memang lemah dan selalu butuh untuk bergantung pada sesuatu.

Kejadian mati listrik kemarin cukup membuat kita mati gaya, bukan? Beberapa aktivitas pun terhambat sebab banyak diantara keperluan kita yang membutuhkan listrik. Baru satu nikmat yang Allah cabut, kita sudah serepot itu. Bagaimana jika Allah juga memutus curahan nikmat kita yang lain? Selemah itu manusia jika tidak "diurus" oleh penciptanya.

Guncangan gempa kemarin juga cukup membuat beberapa wilayah panik dan berlarian keluar dari rumahnya. Di saat seperti itu, bisa bergantung pada siapa lagi manusia-manusia yang lemah ini selain kepada Allah? Mulut yang jarang berdzikir pun tiba-tiba menyebut nama Allah, dosa yang biasanya diabaikan tiba-tiba ditangisi, doa-doa dilangitkan meminta keselamatan diri. Di saat seperti itu baru kita merasa diri ini lemah dan kembali ingat pada status kehambaan kita. Alhamdulillah Allah masih menjaga, bisakah kita bayangkan jika Allah mencabut perlindungan-Nya untuk kita? Di titik ini, semoga kita semua sudah cukup menyadari bahwa Allah telah menganugerahkan kepada kita begitu banyak nikmat dan karunia yang tak terhingga nilainya. Maka tak ada kekuatan dan kemampuan selain dari Allah.

Kita butuh bergantung kepada-Nya. Tapi, haruskah kita ditegur dulu agar kembali pulang kepada-Nya? Haruskah kita diguncang dulu agar kembali mengingat kemahaan-Nya? Haruskah kita dicoba dan diuji dulu untuk kembali menyebut nama-Nya?

Kalau ada cinta yang bertepuk sebelah tangan, mungkin itu adalah cinta antara Allah dan kita. Allahnya cinta, kitanya sebaliknya. Coba kita ingat, pernahkah Allah memberhentikan aliran rezeki-Nya meski kita bolong-bolong shalatnya? Pernahkah Allah mengurangi kadar oksigen yang menjadi kebutuhan kita meski kita lupa bersyukur kepada-Nya? Pernahkah Allah “cuti” mengurus hidup kita meski kita sedang tak punya alasan untuk mengingat-Nya? Tidak. Maha Baik Allah, Dia tidak pernah melakukan itu semua.

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” – Adz-Dzariyat : 56-58

Allah tidak butuh kita, tapi kita butuh Allah. Allah tidak pernah meninggalkan kita, tapi kita sering meninggalkan Allah. Allah senantiasa mengurus dan mencintai kita, tapi kita senantiasa melakukan yang sebaliknya.

Belum terlambat, kita masih bisa memperbaiki semuanya. Semoga kejadian dan bencana yang sedang terjadi di negeri ini bisa mendorong kita untuk menjadi hamba yang tahu diri, yang mendahulukan hak-Nya daripada hak diri kita sendiri.

Your sister of Deen,
Husna Hanifah & Novie Ocktaviane Mufti

Monday Love Letter #52 - Dimanakah Tepi Dari Kehebatanmu?

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! 


Hari ini Bandung masih dingin dan berangin, bagaimana dengan kotamu? Apapun cuaca yang melingkupi harimu, semoga tak menghentikan semangatmu untuk tetap melaksanakan semua amanah dengan baik, ya! Oh iya, ada kabar terbaru nih dari Sister of Deen, kami semakin berbahagia melanjutkan proses dan progress buku(-buku) kami. Semoga bisa sampai di tanganmu tepat pada waktu-Nya. Mohon doanya.

Ok, back to our weekly habit, hari ini kami punya cerita seru untukmu…

Sebelumnya, pernah enggak sih kamu merasa aman dan terjamin karena hal-hal yang melekat pada dirimu seperti misalnya kecerdasanmu dalam menuntut ilmu, karena harta milikmu atau milik orangtuamu, karena keberadaan pasangan hidup dan anak-anakmu, karena keluargamu terpandang di masyarakat, atau mungkin juga karena popularitas atau status sosial yang kamu punya? Kalau jawaban spontanmu adalah tidak, coba perhatikan monolog-monolog berikut ini:

“Ah, aku kan pinter ini, skripsi doang mah kecil. Tenang aja, cumlaude pasti gampang diraih.”

“Ngapain pusing, sih? Mama dan Papa kan punya banyak uang, aku pasti enggak harus berusaha sekeras orang lain hanya untuk dapat pekerjaan.”

“Aku kan cantik, laki-laki manapun yang aku suka pasti mau menikah denganku.”

“Mohon maaf ya, bisnisku kan sukses. Aku mah enggak khawatir tuh sama masa depan.”

“Aku punya banyak teman. Butuh bantuan apapun tinggal telepon. Tenang aja!”

Pernahkah hal ini terlintas di benakmu? Permukaan logika dan hatimu mungkin berkata tidak. Tapi, jika ini benar-benar kamu tanyakan pada hati kecilmu, apakah kamu mengakui bahwa kamu pernah bersandar pada hal-hal semacam itu? Sudah bukan rahasia lagi bahwa kita telah banyak mendengar orang-orang yang merasa hidupnya hampa padahal mereka seolah sudah memiliki semuanya: tingkat pendidikan yang tinggi, kekuasaan, power, popularitas, harta benda, dst. Lantas, apa yang membuat kehampaan itu ada?


Sekarang, bayangkan tentang seorang pilot yang hebat dan terlatih. Skill menerbangkan pesawatnya sudah tak usah kamu ragukan lagi. Begitupun dengan pesawat yang dibawanya, bermesin kelas premium dengan avtur terbaik. Banyak orang yang sudah menunggu dan mau membayar mahal untuk bisa pergi dengan pesawat itu bersama si pilot kebanggan. Tapi sayangnya, ternyata pilot itu tak punya landasan. Tak ada bandara manapun yang mau menerimanya untuk mendarat. Dia tak punya tempat. Kalaupun ia terbang dengan membawa seluruh kehebatan yang dimilikinya, ia akan hanya berputar-putar di udara sebab tak bisa mendarat. Ujung-ujungnya apa? Mungkin pesawat itu dan seluruh penumpang di dalamnya, termasuk juga pilot tadi, akan celaka. Entah terjun di laut, terhempas ke hutan, atau jatuh di dataran yang tak tertebak dimana letaknya.

Hmm … jika kita tarik analogi ini pada diri, mungkin sebab kehampaan itu ada meski kita memiliki semuanya adalah itu; kita tidak punya landasan tempat mendarat, tidak ada tempat bergantung, tidak tahu siapa tempat pulang. Bukankah begitu?

Apalah artinya kecantikan, kecerdasan, kekayaan, kemapanan hidup, kekuasaan, popularitas dan penghargaan jika tanpa keimanan? Sebab tanpa iman, hanya hampa dan resah yang kita rasa. Sebab jika tak bergantung pada-Nya, jatuh dan terpuruk hanyalah masalah waktu.

Ingatkah kita bahwa Allah ialah Dzat yang Maha Mengadakan dan Meniadakan? Amat mudah bagi Allah untuk mengambil kembali segala yang kita miliki dan membuatnya menjadi seakan tak berharga lagi. Lantas, jika segala hal duniawi yang melekat pada diri telah diambil kembali oleh-Nya, masihkah kita punya “nilai” di hadapan Allah? Ya, setidakberharga itulah diri kita di mata Allah jika tanpa iman.

Lalu bagaimana caranya agar kita terhindar dari ketergantungan terhadap selain Allah?

Satu hal yang utama, ada hal yang perlu kita sadari bahwa yang namanya makhluk itu pasti butuh tempat bersandar dan bergantung. Tidak ada satupun ciptaan Allah yang tidak bersandar pada sesuatu. Satu-satunya yang mampu untuk berdiri sendiri ya hanya Allah saja, seperti salah satu sifat-Nya yaitu qiyamuhu binafsihi. Maka, ketika kita menyandarkan diri kita kepada selain Allah, sama halnya seperti kita bersandar pada dahan yang rapuh. Mudah sekali untuk terjatuh. Lalu ketika kita terjatuh, apakah kita menyalahkan dahan rapuh tersebut? Tentu saja kita yang salah, sudah tahu dahan tersebut rapuh, masih saja digunakan untuk bersandar.

Begitupula dengan hidup, tak ada satupun hal yang bisa kita jadikan tempat bersandar selain Allah. Tak bisa kita bergantung kepada selain Allah. Jikapun bisa, tunggulah waktunya, cepat atau lambat hanya rasa kecewa yang akan kita dapatkan.

Yuk, mulai belajar untuk melepaskan kebergantungan kita kepada selain-Nya. Sebab, tanpa bersandar kepada-Nya, sejatinya kita hanya sedang bersandar di dahan-dahan yang rapuh. Baarakallahu fiik.

Your sister of Deen,
Novie Ocktaviane Mufti dan Husna Hanifah

Monday Love Letter #51 - Racun Di Balik Rutinitas

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!


Bagaimana kabarmu di hari Senin ini? Tidak terasa ya, sudah Senin lagi. Setelah berjibaku dengan beragam aktivitas dan rutinitas pekan lalu, yang bahkan mungkin weekend-mu juga terasa sibuk, pada akhirnya kita memulai kembali segala aktivitas itu di awal pekan. Alhamdulillah, Allah masih memberikan waktu dan kesempatan untuk kita meraup sebanyak-banyak amal sholeh di dunia. Semoga rutinitas tidak hanya sekedar menjadi rutinitas, namun tetap dijiwai dan diselipkan niat karena Allah didalamnya.

Memang sih, rutinitas itu terkadang menjadi racun. Saking seringnya dilakukan dan terus berulang, tak jarang di tengah jalan sebagian dari kita mulai kehilangan maknanya. Racun ini bisa jadi menyerang disetiap peran yang kita emban baik itu menjadi mahasiswa, karyawan, owner bisnis, freelancer, ibu rumah tangga, dan sebagainya. Padahal setiap peran memiliki peluang ibadah, namun karena kita terjebak dengan rutinitas, peran-peran tersebut menjadi sebatas kewajiban yang harus tunai saja. Hilang makna inilah yang seringkali membuat hati kita hampa dan lelah karena tak lagi menyertakan Allah didalamnya. Duuh, ngeri ya. Ini perkara serius loh, sebuah hadits menyebutkan bahwa amal itu tergantung niatnya. Takutnya kita sudah capek-capek bekerja, tapi karena tidak diniatkan karena dan untuk Allah, semua lelah itu menjadi sia-sia di hadapan Allah. Duarr! Sakitnya tuh disiniii. *nunjuk dada sambil meringis

Karenanya, penting sekali bagi kita untuk mengambil jeda atau sering-sering menengok kedalam hati, masihkah ada Allah disana?

Jangan-jangan niat kita sudah berbelok tanpa sadar. Jangan- jangan di hati kita, posisi Allah sedikit demi sedikit mulai bergeser dan tergantikan dengan ambisi pribadi. Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan dan perlu untuk segera diluruskan.


Ya ya, kami tahu, nasihat 'luruskan niat' adalah nasihat yang mungkin sangaaat sering kamu dengar. Tapi jika nasihat itu berulang-ulang disampaikan di kesempatan yang berbeda dan mungkin juga kamu sering mendengar dari orang yang berbeda, itu artinya meluruskan niat memang sepenting itu. Bahkan di dalam Al-Quran pun, tak jarang kita menemui ayat-ayat yang sering diulang -saking pentingnya. Dan mungkin karena Allah juga tahu betul bahwa makhluknya yang bernama manusia ini sering lupa sehingga perlu terus diingatkan. Huhuhu, maafkan kami ya Allah.

“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka ia akan mendapat pahala hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diperolehnya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka ia mendapatkan hal sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Tentang pentingnya niat ini, kami pernah mendengar cerita tentang sebuah analogi. Bayangkan di sebuah gelanggang olahraga diadakan turnamen lari. Setiap peserta yang ikut pada turnamen tersebut mendaftar terlebih dahulu kepada panitia sehingga namanya terdaftar dalam administrasi dan mendapatkan nomor punggung untuk berlari. Tak lama kemudian, ada seseorang yang suka sekali berlari. Ketika melihat turnamen itu ia langsung masuk ke track lari dan berlari bersama peserta-peserta tadi tanpa mendaftar, tanpa punya nomor punggung. Di putaran terakhir, kecepatannya ternyata mampu mengalahkan seluruh peserta lainnya hingga ia berteriak, “Yes! Aku juaranya.” Ia pun meminta hadiah kepada panitia, tapi kemudian panitia menolaknya. Tentu saja, bagaimana bisa ia mendapat hadiah sementara ia tidak terdaftar sebagai peserta?

Tidakkah cerita ini serupa dengan kita? Berkata bahwa aktivitas kita lillah, tapi lupa menyertakan Allah dan niat beribadah kepada-Nya saat melakukannya. Berkata inginkan syurga, tapi lengah dalam proses mencapainya. Berkata ingin mengejar ridhonya Allah, tapi melupa Allah dalam dalam perjalanannya.

Tahukah kamu mengapa ketika kita shalat, setiap kali kita ganti gerakan, kita selalu mengucap Allahu akbar? Karena sejatinya, dalam setiap apapun yang kita lakukan, tak ada yang lain yang menjadi tujuan selain mengakbarkan Allah, melaksanakan tugas ibadah dan tugas kehambaan kepada-Nya, dan mengejar apa yang menjadi ridho-Nya.

Berhenti sejenak, tarik napas dalam-dalam, dan mari kita perbaiki niat kita. Semoga Allah memudahkan setiap aktivitas kita yang ada nama-Nya di dalamnya. Baarakallahu fiik,

Your sisters of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti