Senin, 31 Desember 2018

Monday Love Letter #22 - Jika 2019 Menjadi Tahun Terakhirku...


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Apa kabaaar sister? Alhamdulillah, tinggal beberapa jam lagi kita akan berganti tahun. Kalau saya sih di rumah aja, nggak keluar-keluar karena pasti macet, hehe. Akhir tahun tentunya sangat lekat pada evaluasi, tidak sedikit dari kita yang menapaktilasi kembali perjalanan hidup kita setahun ke belakang.

Bagaimana 2018-mu? Tentunya ada bahagia dan kesedihan yang dengan adil Allah pergilirkan. Tentunya ada berbagai nikmat dan ujian yang Dia hidangkan untuk kita. Berterimakasihlah untuk semua itu, berterimakasihlah untuk tahun 2018 yang telah menjadikan diri kita yang sekarang. Tanpa disadari kita ternyata semakin kuat, semakin bijaksana, semakin pandai bersyukur, karena apa-apa yang terjadi setahun ke belakang. Allah Maha Baik, kan? :)

Besok, tentu tidak akan jauh berbeda. Masih akan ada bahagia dan sedih yang akan Allah pergilirkan di tahun depan, pun nikmat dan ujian untuk kita. Tapi sebagai manusia biasa, tentu kita memiliki harapan. Kalau bisa, hari-hari yang akan kita lalui nantinya akan selalu bahagia. Semoga, target dan cita-cita kita semuanya tercapai. Semoga, tidak ada lagi kegagalan di tahun depan. Dan semoga-semoga yang lainnya. Lumrah saja, karena kita punya keinginan. Namun, Sayyidina Umar bin Khathab r.a justru berkata, "Aku tidak peduli atas keadaan susah atau senangku, karena aku tidak tahu manakah diantara keduanya itu yang lebih baik untukku." Masya Allah. Pada akhirnya, semua dikembalikan lagi kepada Allah, karena Allah-lah yang paling tahu yang terbaik untuk kita.

Saya masih ingat betul, di awal tahun 2018 saya mulai menulis resolusi dengan mindset yang berbeda. Saya memulai target-target saya dengan 1 kalimat; "Jika 2018 menjadi tahun terakhir saya, saya akan…" Hasilnya, impian dan harapan saya ternyata tidak lagi tentang hal-hal yang bersifat pencapaian materi, kebanyakan adalah tentang memperluas kebermanfaatan dan program-program untuk meningkatkan ketaatan.

Pernahkah kamu mencobanya? Pernahkah mencoba menyusun impian dan cita-cita bersamaan dengan kesadaranmu bertemu kematian? Hal ini bisa membantu menemukan hal apa yang sebenarnya kita inginkan. Sebelum membuat sederet resolusi, ada baiknya kita bertanya kepada diri, "Jika 2019 adalah tahun terakhirku, apa yang benar-benar ingin aku wujudkan?"

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." -QS. Al-Hasyr (59) : 18

Perencanaan itu penting, bahkan Allah menyuruh kita untuk berencana. Tapi jangan lupa bahwa hidup adalah tentang perjalanan menuju kampung akhirat, maka bijaklah dalam menyiapkan bekalnya. Tahun yang berganti adalah jatah waktu yang Allah berikan agar kita bijak menggunakannya. Bukan berarti mengabaikan dunia, tapi jadikan dunia sebagai alat dan kendaraan kita dalam rangka menyiapkan persembahan terbaik untuk-Nya.

Let's start from the end. Apapun target dan resolusi kita, semoga semua dalam rangka menuju-Nya, dalam rangka meninggikan bangunan cinta kita kepada-Nya, dalam rangka mempersiapkan pertemuan dengan-Nya. Bismillah, Ya Allah, kami bertawakal kepada-Mu, dan tidak ada daya dan upaya kecuali atas pertolongan-Mu. Kita saling mendoakan ya, my sister of Deen..

Senin, 24 Desember 2018

Monday Love Letter #21 - Karena Aku Milik-Mu


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Bagaimana kabarmu, my sister of Deen? Jazakillah khairan katsiran untuk kamu yang sudah mengikuti mailing list Sisters of Deen Project, membaca Monday Love Letter setiap Senin, membalasnya, bahkan mem-forwardnya kepada sahabatmu. Mohon doanya semoga kebermanfaatannya bisa semakin meluas ya, please~ doakan.. Hehe.

Sebenarnya saya sudah menyiapkan satu draft tulisan untuk dikirim hari ini, tapi sejak Sabtu malam kemarin saya mendengar berita tsunami yang menimpa saudara-saudara kita di sekitar Selat Sunda, saya tidak bisa berhenti memikirkannya. Allah lagi-lagi mengingatkan kembali tentang satu nikmat yang masih sering saya lupakan, yaitu nikmat hidup. Alhamdulillah hari ini masih bisa hidup. Alhamdulillah hari ini masih sehat dan bisa beraktivitas. Alhamdulillah masih diberi kesempatan untuk beribadah. Alhamdulillah masih diberi waktu untuk mengumpulkan lagi pundi-pundi amal sholeh sebagai bekal menuju akhirat. Bahkan doa bangun tidur saja, dimulai dengan alhamdulillah. Ini menunjukkan bahwa bisa bangun tidur dan masih hidup hingga hari ini, merupakan sebuah nikmat yang besar yang patut kita syukuri.

Innalillahi wa innailahi raji'un. Adalah kalimat yang biasa kita dengar atau kita ucapkan ketika musibah menimpa kita. Tapi maknanya jauh lebih dalam dari itu. Guru saya pernah berkata, bahwa innalillah adalah tentang kesadaran bahwa kita ini miliknya Allah. Hidup kita ini bukan milik kita sehingga kita bisa bebas hidup semau kita. Hidup kita juga bukan milik orangtua kita, pasangan, ataupun anak kita sehingga semangat hidup kita tergantung pada hadirnya mereka. Hidup kita ini milik Allah. Allah yang menjadi sumber semangat, Allah yang menjadi tujuan, Allah yang berhak menerima setiap pengorbanan dan perjuangan terbaik dari diri kita. Dan paling penting, Allah yang paling berhak atas ketaatan kita.

Konsep innalillah ini membantu saya untuk lebih tenang dan lebih siap dalam menghadapi hidup dengan berbagai dinamika dan tantangan didalamnya. Ya karena saya milik Allah. Allah yang paling tahu yang terbaik tentang apa-apa yang dimiliki-Nya, jadi terserah Allah mau ngasih skenario seperti apa ke hidup kita. Karena yang namanya memiliki, sepaket dengan menguasai. Jadi, jika ada ketetapan atau takdir dari Allah yang dirasa berat, coba untuk tarik nafas, lalu bilang, "Silakan ya Allah, aku milik-Mu, hidupku juga milik-Mu, langit dan bumi ini milik-Mu, maka kuterima dengan lapang dada segala ketentuan dari-Mu." Insya Allah, hati jadi lebih tenang.

Setelah innalillah, disambung dengan kalimat innailahi raji'un. Semua milik-Nya, akan kembali kepada-Nya. Konsep kembali kepada Allah mungkin identik dengan kematian, padahal kembali kepada Allah tidak harus menunggu mati. Sayyid Quthb mengatakan, "Semua orang akan kembali kepada Allah setelah dia wafat. Akan tetapi, orang yang bahagia adalah orang yang kembali kepada Allah ketika dia masih hidup."

Kembali kepada Allah adalah tentang mengembalikan diri dan kehidupan kita kepada yang memilikinya, yaitu Allah. Sudahkah kita "kembali" pada-Nya? Sudahkah sepenuhnya menjadi milik-Nya? Atau jangan-jangan kepemilikan diri kita masih terbagi-bagi dengan yang lain? Maka jangan heran kalau Allah sesekali memberikan ujian dan peringatan agar kita kembali ingat kepada Allah. Ujian itu tanda Allah sayang karena kalau nggak gitu, susah kita ingatnya :')

Alhamdulillah atas nikmat hidup ini. Alhamdulillah atas kesempatan yang masih Dia beri. Yuk, segera kembali pada Allah. Kembalikan tujuan kita sepenuhnya kepada Allah. Kembalikan ketaatan kita sepenuhnya kepada Allah. Kembalikan hidup kita kepada Allah, sebelum kelak Allah benar-benar memanggil kita untuk kembali kepada-Nya.

Senin, 17 Desember 2018

Monday Love Letter Special Edition- A Letter to My Partner, Novie Ocktavia


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh my sister of Deen, Novie! Kamu tau nggak apa rasanya baca suratmu pagi tadi? Aku bersyukur karena kamu menyampaikannya lewat surat! Jadi kamu nggak bisa lihat mukaku yang senyum-senyum sendiri antara malu, salting, dan bahagia jadi satu. Rasanya hampir sama kayak waktu dilamar suami. Hahaha. Habisnya suratnya so sweet banget siih.. (oh ya, barangkali ada yang belum tau, aku sudah menikah sisters~ tapi aku masih muda kok *ehem)

Tapi Nov, syaratnya susah sekali, aku gagal untuk tidak menangis membaca suratmu. Awalnya aku cukup percaya diri karena hampir di setiap kalimat aku membacanya dengan tersenyum. Tapi menjelang akhir surat air mataku mulai keluar, untung pas mau nangis suratnya udahan. Kalau masih lanjut mungkin aku bakal sesegukan sendiri di kamar. Hehe.

Nov, aku selalu percaya bahwa di dunia ini tidak pernah ada yang namanya kebetulan. Pertemuan denganmu hari itu, pasti sudah diatur-Nya dengan sangat cermat dan Allah pasti punya alasan mengapa Dia mempertemukan kita. Benar saja, setelahnya ada saja hal-hal yang membuat kita keep in touch dan tetap melanjutkan pertemanan walau tanpa direncanakan. Heran nggak sih? Kayak air mengalir aja gitu; tiba-tiba ketemu lagi, lalu ketemu lagi, tiba-tiba keidean bikin project bareng, lalu tiba-tiba yang asalnya hanya ada kita, sekarang ada mereka. Iya, mereka… our sisters of Deen. #ciee

Nov, kamu ngerasa juga nggak, semenjak pertemuan kita bulan Juli lalu membahas Sister of Deen Projects dan membuat mailing list untuk Monday Love Letter, sejak saat itu rasanya hidupku sudah tak sama lagi. Jika pikiran kita punya kotak-kotak untuk memikirkan banyak hal, kini ada satu kotak tambahan bernama Sisters of Deen Projects yang tidak bisa diabaikan keberadaannya.

Jika hati kita punya ruang-ruang untuk menyimpan hal-hal yang berharga, kini ada satu ruang dimana para sisters of deen menghuni satu tempat di hati kita. Tentu saja bukan hal yang mudah pada awalnya, butuh penyesuaian dengan ruang-ruang yang lain, butuh berbagi dengan kotak-kotak yang lain, but we effortly made it! Mungkin karena project ini adalah project yang longlasting, tidak seperti project-project lain yang setelah selesai bisa kita bongkar dan buang begitu saja sehingga ia butuh perlakuan khusus dan kesediaan hati yang luas. Semoga Allah selalu lapangkan hati kita ya, Nov :')

Yes, the struggle is real, tapi bahagianya juga banyaaaak banget! Bismillah. Mungkin memang ini rencana Allah untuk kita. Dengan segala skenario-Nya Allah memilih kita untuk menjadi pelaksana dari rencana-Nya yang mulia; to serve our Deen by serve our sisters of Deen. This is such a blessing ever, ya kan. Dan aku bersyukur karena partnerku adalah kamu. Terima kasih ya Nov, karena sudah banyak bersabar dan memberi ruang, sudah membuatku banyak belajar dan tak henti-hentinya mengingatkan untuk menjadi seorang hamba yang profesional. Nggak sabar deh menantikan kejutan-kejutan apa yang Allah hadirkan untuk kita kedepannya.

Kini, hidup kita bukan lagi tentang diri sendiri. Seperti katamu, ada banyak hati perempuan yang perlu ditolong untuk kembali kepada Allah. Kini, hidup bukan hanya tentang bersenang-senang, tapi tentang berjuang mengumpulkan pundi-pundi amal sholeh sebagai bekal kita menuju negeri akhirat. Biarlah sekarang berlelah-lelah, insya Allah tidak akan lama. Cuma di dunia aja kok lelahnya.

Selamat berjuang lagi ya, kita! Saling menyaksikan selama di dunia agar di akhirat nanti bisa saling bersaksi di hadapan Allah bahwa kita pernah sama-sama berbuat sesuatu untuk-Nya. Semoga project ini menjadi salah satu pemberat amal kebaikan dan mengundang ampunan-Nya. Kalau tetanggaan di surga sih aku juga mauuuuuu. Aamiin yaa Allah. Aamiin yaa Rabbal 'Alamiin.

Your sister of deen,
Husna Hanifah

_________

Novie adalah partner menulisku di Monday Love Letter. Kami berdua rutin mengirimkan surat setiap hari Senin melalui email kepada para perempuan yang terdaftar di mailing list Sister of Deen Projects. Kalau kamu ingin mendapatkan 2 surat juga untuk dikirim ke email-mu setiap Senin, silakan subcribe melalui tinyurl.com/mondayloveletter untuk join ke mailing list kita. Khusus perempuan ya! ^_^

Senin, 10 Desember 2018

Monday Love Letter #20 - Menuai Sabar dan Syukur yang Tak Terbatas

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabar sister, semoga rahmat dan kasih sayang-Nya senantiasa tercurah untuk kehidupanmu ya! Dan semoga selalu ada stok syukur, sabar, dan ikhlas di hatimu dalam menjalani setiap fase kehidupan dan setiap ketetapan dari-Nya.

Memang ya, hidup ini tidak bisa lepas dari syukur dan sabar. Dan dalam menjalani keduanya, seharusnya tidak ada batasnya. Tapi saya pribadi juga masih belajar untuk berusaha bagaimana agar stok sabar dan syukur tetap tersedia. Kan nggak mungkin juga bilang ke Allah, "Maaf ya Allah, ujiannya boleh berhenti dulu nggak, stok sabar saya lagi habis nih." Hehe.

Indikasi yang paling kentara ketika kita kekurangan stok sabar dan syukur adalah ketika kita sering mengeluh. Dikasih rezeki sama Allah bilangnya,"yah.. kok cuma segini.." padahal terimakasih aja dulu, nanti juga Allah bakal kasih lagi kalau kita bersyukur. Dikasih musibah dan bertubi-tubi masalah, ngeluhnya "Ya Allah, kenapa harus akuu?"padahal Allah lagi berbaik hati mau ngasih pahala sabar, kalo ngeluh ya jadinya hangus.

Yang membuat sabar dan syukur kita jadi terbatas adalah karena tidak adanya keikhlasan. Bersyukur tanpa rasa ikhlas hanya akan membuat kita tidak pernah merasa cukup. Bersabar tanpa rasa ikhlas akan membuat kita terus menerus menyalahkan keadaan. Ya intinya jadi banyak mengeluh deh hidupnya.

Ikhlaslah yang membuat sabar dan syukur kita menjadi tidak terbatas. Ikhlas itu lekat dengan penerimaan. Penerimaan atas segala sesuatu yang datang kepada kita dan atas segala sesuatu yang dihadirkan oleh Allah, baik itu nikmat maupun ujian.

Kunci pertamanya adalah menerima pemberian Allah. Luaskan hati kita untuk menerima segala nikmat dan rezeki dari Allah, maka kita akan selalu merasa cukup. Luaskan hati kita untuk menerima segala ujian hidup yang Allah hidangkan, maka segalanya akan terasa lebih ringan. Pokonya terima saja dulu. Seringkali yang bikin berat itu karena ekspektasi kita adalah mendapatkan yang lain. Lupa bahwa Allah yang paling tahu apa yang kita butuh.

Setelahnya, kita juga harus ikhlas dalam menjalani. Yang berarti kita menjalaninya karena Allah. Niat kita untuk Allah. Tiada sebab kita bersyukur dan bersabar kecuali karena Allah.

Bersyukur itu butuh energi, bukan cuma "alhamdulillah ya Allah atas pemberian-Mu", lalu selesai. Bersyukur berarti memikirkan bagaimana agar pemberian dari Allah bisa kita persembahkan lagi kepada Allah. Namun seringnya kita tergoda menggunakannya untuk kepentingan pribadi, untuk kesenangan yang semu. Maka ikhlaslah yang akan jadi penyelamatnya. Karena ikhlas mengembalikan niat dan tujuan kita.

Ikhlas dalam bersabar apalagi. Dalam keadaan terdesak dan terhimpit, akal sehat kita diuji, apakah iman masih kita pegang atau kita gadaikan dengan dunia. Karena sabar bukan sekedar menerima ketetapan Allah, tapi juga mempertahankan keimanan dalam menjalaninya. Seperti sabarnya Nabi Ismail mematuhi perintah untuk disembelih, seperti sabarnya Bilal bin Rabah mempertahankan ketauhidannya, atau sabarnya Siti Mashithoh yang rela diri dan anak-anaknya direbus hidup-hidup karena tidak rela imannya terenggut. Dan ikhlas, lagi-lagi menyelamatkan kesabaran yang hampir habis. Singkatnya; jika bukan karena tujuanku Allah, aku pasti sudah menyerah.

Maka tidak bisa syukur dan sabar, tanpa ikhlas. Lalu jika kamu bertanya bagaimana caranya agar ikhlas, sungguh, itu adalah suatu proses yang panjang. Karena ikhlas berarti menjadikan Allah satu-satunya tempat bergantung, satu-satunya pemilik dan penguasa diri, serta satu-satunya yang Maha Unggul sehingga kita sadar bahwa kita ini lemah tanpa pertolongan-Nya, celaka jika tidak menuju kepada-Nya, hina jika tidak dalam ketaatan kepada-Nya, . Ya, seperti dalam QS. Al-Ikhlas.

Milikilah keikhlasan, maka sabar dan syukurmu tidak akan ada batasnya. Selamat berlatih!

Selasa, 04 Desember 2018

Monday Love Letter #19 - Hidup Ini Butuh Ilmu

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah sudah Desember! Gimana, deg-degan nggak sebentar lagi kita (insya Allah) mau memasuki tahun yang baru? Kalau saya sih deg-degan. Masih ada sih beberapa target yang harus selesai sebelum akhir tahun, tapi juga excited menanti skenario apa yang Allah siapkan untukku di tahun 2019 nanti. Tentunya dengan harapan bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi di mata Allah :)

Sebulan ke belakang, saya merasa bahagia dan bersyukur sekali karena saya banyak bertemu dan berdiskusi dengan perempuan-perempuan yang sedang memulai kembali mendalami ilmu agama mereka. Padahal kita mungkin sudah diajari tentang Islam ya sejak kecil, tapi entah kenapa semakin dewasa justru merasa semakin banyak nggak tahunya. Semakin mempelajari Islam, semakin sadar bahwa ternyata yang selama ini saya pelajari barulah seujung kuku! Apalagi soal mempraktekkannya, wah kalau praktek rukun iman atau rukun islam ada raportnya, mungkin masih banyak merahnya dan masih banyak yang perlu di-remedial. Lagi-lagi saya merasakan kebesaran Allah dengan hadir ke majelis ilmu dan bersilaturahim bahwa ternyata pemilik segala ilmu memang Allah, sementara yang bisa dipelajari oleh manusia hanya sedikiiiiiiiiit saja.

Dari pertemuan bersama para perempuan pembelajar itu, saya jadi semakin sadar bahwa mencari ilmu memang tidak ada batasnya, tidak ada ujungnya. Saya juga teringat pada pesan orangtua dan guru-guru saya bahwa jika melakukan sesuatu itu, harus ada dasarnya! Bukan atas dasar ikut-ikutan kebanyakan orang, atau karena dengar dari sana-sini yang tidak jelas sumbernya. Maka lakukanlah sesuatu karena memang kita tahu ilmunya dan jelas sumber asalnya sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk urusan hidup ini.

Ya! Bagaimana kita menjalani hidup? Jika hidupmu terombang-ambing, gampang bosan, tidak ada semangat, jangan-jangan standar yang kau tetapkan untuk hidupmu adalah standar dari kebanyakan orang yang tentu saja siklusnya sudah tertebak; sekolah-kuliah-kerja-nikah-punya anak-dst. Bagaimana kau menetapkan cita-cita dan impianmu? Jangan-jangan pilihan kita jatuh pada hal-hal yang dinilai keren oleh orang kebanyakan; punya harta banyak, punya aset, travelling keliling dunia, atau bahkan punya pasangan dan anak-anak yang lucu. Maka jangan heran jika hidupmu seakan hampa, tidak ada "ruh"nya dan dirundung gelisah atas segala pencapaian orang lain. Bisa jadi karena kita kurang ilmu. Ilmu menjalani kehidupan. Loh, emang ada? Ada dong!

Jika kita tinjau ulang dari mengapa kita ada di dunia ini, tentu Allah menciptakan kita bukan tanpa maksud. Lalu Allah memberitahukan kepada kita bahwa maksud Allah menciptakan manusia adalah untuk ibadah. Kira-kira, bisakah kita beribadah tanpa ilmu? Tentu tidak, bukan?

Kemudian jika memikirkan tentang akhir hidup manusia, setiap kita akan menemui kematian yang akan menjadi jembatan kita menuju alam kubur dan alam akhirat. Apa sih yang paling dibutuhkan manusia pada kehidupan setelah matinya? Tidak lain adalah amalnya. Karena semua yang kita miliki selama di dunia akan kita tinggalkan, hanya amal yang kita bawa hingga ke hadapan-Nya. Dan untuk bisa beramal, tidak mungkin tanpa ilmu.

Maka kedudukan ilmu sangatlah penting dalam hidup kita, bahkan sampai terbawa dampaknya di kehidupan kita di dunia maupun di akhirat. Pelajarilah ilmu yang tidak sekedar berguna di dunia saja, tapi juga berguna dan menyelamatkan sampai ke akhirat. Jika kita bahas disini tentu akan panjang sekali sehingga surat ini lebih kepada ajakan untuk semangat mencari, mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu yang Allah sampaikan dalam Al-Quran, yang tidak lain isinya memang menunjukkan kita kepada ketentraman hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat kelak.

Tidak ada kata terlambat untuk memulai belajar. Tidak ada kata terlalu tua atau terlalu bodoh untuk mulai lagi mendalami tentang hakikat hidup ini. Jangan lelah mencari tahu, jangan bosan menghadiri majelis ilmu dan tetaplah rendah hati. Semoga hati kita terjaga dari hal-hal yang bisa mengotorinya sehingga Allah menghendaki hidayah-Nya turun kepada kita dan menjaga kita dalam kebenaran. Aamiin..

Senin, 26 November 2018

Monday Love Letter #18 - Tentang Sabar

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Bagaimana hari Seninmu, my sister of deen? Maafkan surat yang terlambat ini karena beririsan dengan pekerjaan lain. Alhamdulillah Allah masih mengizinkan kita untuk bertegur sapa melalui surat ini dan saling melangitkan doa-doa baik. Semoga Allah selalu melimpahkan kasih sayang-Nya untuk kita semua ya :)

Tak terasa sudah sampai di penghujung November dan kita hampir sampai di penghujung tahun. Bagaimana rasanya menghadapi sisa-sisa hari di tahun 2018? Mungkin banyak hal-hal kurang mengenakkan yang terjadi di hari-hari kemarin, mungkin banyak jejak-jejak jerih payah kita menghadapi kehidupan di bulan-bulan kemarin, tapi semoga di ujung perjuangan kita, kita menemukan akhir kisah yang bahagia.

Sepekan kemarin Allah banyak mendidik dan mengingatkan saya tentang kesabaran. Bahwa sabar itu bukan diam, tapi justru bergerak mengupayakan ikhtiar terbaik kita. Sabar itu bukan meratapi keadaan, melainkan aktif dan berusaha mencari jalan. Dan upaya untuk menuju-Nya, upaya untuk istiqomah di jalan-Nya, amat sangat membutuhkan kesabaran. Jika bisa disederhanakan menjadi satu kata, sabar itu berarti berjuang. Perjuangan yang tidak asal berjuang, tapi perjuangan yang ditujukan karena-Nya dan untuk-Nya.

Bukankah perjalanan menuju-Nya adalah perjalanan mendaki lagi sukar? Bukankah untuk menjadi manusia yang layak di hadapan-Nya, kita harus melewati berlapis-lapis ujian? Maka perjuangan sejati adalah perjuangan menuju Allah untuk menjadi sebaik-baik hamba di hadapan-Nya. Menariknya, walaupun ini adalah perjalanan menuju Allah, kita tetaplah butuh pertolongan-Nya dan sabar menjadi salah satu prasyaratnya.

"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar." -QS. 2:153

Bicara tentang sabar, sangat erat kaitannya dengan iman. Bukankah mustahil sabar tanpa iman? Karena dalam sabar, ada keyakinan bahwa janji Allah adalah benar. Dalam sabar, ada keyakinan bahwa akhir perjuangan ini akan indah. Dalam sabar, ada keyakinan bahwa Allah akan menolong kita. Iman yang bisa membuat kita semangat berjuang, iman pula yang membuat kita bertahan dalam perjuangan. Ya, keimanan adalah bahan bakar bagi kesabaran kita.

Setiap orang memiliki medan juangnya masing-masing. Ada yang mungkin masih tertatih memperbaiki diri setelah taubatnya, ada yang sedang memperbaiki kualitas ibadahnya, ada yang mulai terjun mengambil peran untuk kebermanfaatan umat. Apapun medan juangmu, semoga menjadi jalan bertambahnya keimanan dan ketakwaan. Semoga Allah mengganti semua lelah kita dengan tiket menuju syurga.

Seperti salah satu firman-Nya, "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantara kamu dan belum nyata orang-orang yang sabar." -QS. 3:142

Selamat mengoptimalkan sabar! Jika lillah, insya Allah tidak terasa lelah :)

Senin, 19 November 2018

Monday Love Letter #17 - Karena Kita Sudah Dewasa


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabarmu sister? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan penuh rasa syukur atas segala takdir yang Allah tetapkan untuk hidupmu. Aamiin. Sebelumnya, MLL kali ini akan lebih personal karena sebagiannya adalah curhat, hehe. Tapi semoga tetap ada hikmah yang bisa diambil ya. Here we go!

Dari Monday Love Letter #16 Senin lalu yang judulnya Memberi Apapun Yang Bisa Diberi, saya menerima sebuah balasan email yang berisi pertanyaan, "Kak, pernah nggak merasa hidup terasa begitu berantakan dan bingung mau mulai darimana merapikannya?" Sewaktu membacanya saya hanya tertawa dan rasanya ingin teriak, "Pernah banget! Itu aku banget!" Hahaha.. 

Jadi selama sebulan terakhir ini otak kayaknya overload banget, rungsing melulu. Sampai curhat sama partnerku dan minta time-out ngerjain Sister of Deen Project untuk "membereskan" kehidupanku. Udah nggak fokus banget soalnya! 

Akhirnya kami sepakat untuk take-time selama seminggu supaya fokus sama kehidupan masing-masing dan nggak bahas project ini dulu. Saya saat itu tentu saja merasa lega karena untuk sementara bisa melepas beban pikiran untuk project ini setidaknya selama seminggu. Esoknya, saya langsung merencanakan hal-hal apa saja yang akan dilakukan selama seminggu ke depan dalam rangka "beberes" ini dan menyelesaikan PR-PR yang kebanyakan belum selesai karena saya menunda pengerjaannya (menunda itu emang musuh banget ya bagi produktivitas, grrr). 

Rencananya, selama seminggu itu saya ingin banyak di rumah saja, kan namanya juga me-time. Banyakin baca buku dan kontemplasi aja lah sama ngerjain kerjaan-kerjaan yang belum beres. Kecuali untuk jadwal-jadwal tertentu yang mengharuskan saya keluar rumah, tidak saya skip.

Tapiiiii Allah sepertinya memang punya cara sendiri untuk mendidik hamba-Nya ini. Bayangan saya untuk bisa sedikit santai di rumah kandas sudah karena yang terjadi justru malah kebalikannya. Adaaa saja kejadian dan agenda mendadak yang membuat saya harus keluar rumah, bahkan pulang malam. Tapi karena saya sudah berkomitmen untuk "beberes", saya tetap mengerjakan PR-PR saya sesuai dengan yang direncanakan walaupun konsekuensinya saya harus tidur lebih malam.

Terus begitu selama seminggu hingga rasanya ingin protes ke Allah, "Ya Allah, terus kalau begini terus kapan istirahatnya? Mau membereskan hidup kok malah dikasih sibuk sih?" Tapi lagi-lagi karena saya sudah berkomitmen pada diri sendiri, rasa lelah itu tetap saya telan dan saya tetap berusaha mengerjakan apa yang harus saya kerjakan.

Di sela-sela kontemplasi, saya membuat satu kesimpulan. Saya curiga, jangan-jangan pekerjaan saya sebenarnya memang sebanyak ini. Jangan-jangan yang Allah amanahkan kepada saya memang seberat ini. Masalahnya bukan terletak pada pekerjaannya yang banyak, melainkan pada diri saya sendiri yang tidak meluaskan penerimaan terhadap setiap amanah yang datang dari-Nya. Masalahnya ada pada diri saya sendiri yang malah meminta-Nya untuk mengurangi masalah saya padahal kadar masalah saya memang segitu kata Allah. Tidak bisa dikurangi karena memang jatahnya segitu! DEG.

Kalau flashback ke waktu kita kecil dulu, masalah kita sebesar apa sih? Paling cuma rebutan permen sama adik. Masuk sekolah, apa yang digalauin? Paling karena nilai jelek atau karena takut gak punya temen. Menjelang lulus kuliah, yang dipusingkan beda lagi. Apalagi kalau sudah menikah dan jadi orangtua, lebih kompleks lagi masalah yang dihadapi. See? Kita tidak akan mendapat masalah yang sama di setiap fase, dan kadarnya memang akan selalu meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan kematangan berpikir kita.

Jadi jika masalah kita semakin banyak dan ujian yang kita hadapi semakin berat, wajar saja. Karena kita sudah dewasa! Ujian orang dewasa tentu berbeda dengan anak TK. Masalahnya orang dewasa tentu berbeda dengan anak SMA yang baru lulus kemarin sore. Masa mau minta masalah kita disamain lagi sama anak TK? #jlebjlebjleb

Duuh saya jadi malu sama Allah. Padahal Allah ingin meningkatkan kapasitas hidup saya dengan berbagai ujian, tapi bukannya dihadapi, malah minta dikurangi. Bukannya diterima, malah diratapi. Alhamdulillah, ternyata Allah masih sayang dan masih memberi kesempatan agar diri yang hina ini bisa berproses menjadi mulia. Kini, bukan lagi kemudahan yang diminta, tapi penerimaan atas setiap takdir-Nya, pundak yang kuat untuk mengemban amanah-amanah-Nya, serta keberanian dan keteguhan hati untuk tetap istiqomah mengupayakan apa-apa yang disukai-Nya dan segala yang mengundang ridho-Nya. 

Semoga hati kita semakin lapang menerima segala ketentuan-Nya, semoga seiring dengan bertambahnya beban dan tanggungjawab hidup kita, bertambah juga keimanan kita kepada-Nya dan bertambah sayang pula Allah kepada kita. Selamat menjadi orang dewasa! :)

Selasa, 13 November 2018

Mungkin Kita Hanya Lupa..


Jika datang bertubi pertanyaan;

Kenapa segalanya terasa berat, kenapa masalah seolah tidak berhenti datang, kenapa rasanya lelah dan sulit sekali, kenapa jalan keluar tak kunjung terlihat, dan kenapa-kenapa lainnya yang membuat kita depresi dan frustasi..

Mungkin karena kita lupa.. 

Lupa ada Allah. Lupa bahwa Allah tidak mungkin membebankan sesuatu di luar kesanggupan kita. Lupa bahwa Dia yang menghadirkan masalah, maka Dia juga yang menggenggam solusinya. 

Karena jika kita ingat, mungkin kita akan menghabiskan waktu-waktu senggang kita untuk berdoa pada-Nya, mungkin kita akan membenamkan diri pada sujud-sujud terbaik di sepertiga malam; meminta petunjukNya, memohon kekuatan untuk menghadapi semuanya.

____

Jika datang bertubi pertanyaan;

Kenapa apa yang dikejar tak juga didapatkan, kenapa setiap pencapaian tidak pernah memberi kepuasan, kenapa setiap mendapat sesuatu selalu saja merasa kurang, kenapa kebahagiaan itu terasa jauh, dan kenapa-kenapa lainnya yang membuat kita merasa "haus" atau "kosong"..

Mungkin karena kita lupa..

Lupa tujuan hidup. Lupa kita hidup untuk apa. Lupa bahwa kita ini hambanya Allah yang tugasnya ibadah. Lupa bahwa yang kita inginkan hanyalah ridha-Nya. 

Karena jika kita ingat, segala impian dan cita-cita akan ditujukan untuk-Nya, segala aktivitas penuh oleh perbuatan yang disukai-Nya, waktu dan energi kita tidak akan terbuang untuk tujuan dari selain-Nya, serta kebahagiaan kita tidak akan tersasar pada hal-hal yang semu.

____

Jika datang bertubi pertanyaan;

Kenapa ibadah terasa hambar, kenapa berbuat baik terasa malas, kenapa maksiat tetap saja dijalankan, kenapa untuk berhijrah tak juga mau memulai, dan kenapa-kenapa lainnya yang membuat kita diam di tempat..

Mungkin karena kita lupa..

Lupa bahwa kita akan meninggalkan dunia ini dan kembali ke Allah. Lupa harus menyiapkan bekal pulang. Lupa bahwa segala yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawabannya. 

Karena jika kita ingat, masih beranikah kita bermaksiat atau bermalas-malasan sementara giliran kematian kita mungkin tidak sampai sehari lagi? Bukankah kita akan merasa takut jika malaikat maut datang saat kita tidak sedang beribadah kepada-Nya? Bukankah kita akan mengoptimalkan waktu yang kita miliki untuk mempersiapkan amal terbaik sebagai persembahan ketika kelak bertemu dengan-Nya?

____

Jadi, atas semua perkara kehidupan yang kita pertanyakan, barangkali jawabannya tidak rumit: 

Mungkin kita hanya sedang lupa.. 

Maka tak heran jika salah satu kriteria orang yang beruntung yang Allah sebut dalam QS. Al-Ashr adalah mereka yang saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Karena kita sering lupa, dan butuh teman untuk saling mengingatkan..

Senin, 12 November 2018

Monday Love Letter #16 - Memberi Apapun Yang Bisa Diberi


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah yaa sekarang sudah musim hujan! Di Bandung terkadang sehari sampai 2 kali hujan. Jaga kesehatan ya, sister! Semoga harimu tetap produktif dan bahagia :D

Hujan tuh kadang bikin nostalgia. Siang tadi, saya teringat pada satu kejadian bersama ayah saya beberapa tahun yang lalu. Waktu itu kami sedang berada di rumah lalu tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah mengantarkan sebuah kiriman untuk ayah saya. Ternyata itu dari teman ayah. Saya lupa barang (atau makanan?) apa yang waktu itu dikirim, tapi saya tidak pernah lupa pada apa yang dikatakan ayah saya ketika beliau menerima kiriman itu. "Duh, gimana balasnya ya?" gumamnya saat itu.

Sejak saat itu, membalas kebaikan orang lain adalah hal yang selalu berusaha saya lakukan ketika saya menerima sesuatu dari orang lain. Jika saya sedang tidak memiliki sesuatu yang bisa diberi, ada hal sederhana yang juga bisa menjadi sebuah hadiah bagi yang menerimanya, yaitu doa yang tulus. Ya, jika sedang tidak bisa membalas kebaikan orang lain, doakan saja!

Dengan selalu memberi, tanpa sadar kita sedang menanam kebermanfaatan diri yang mungkin saja dampaknya baru akan kita panen di kemudian hari. Seperti nasihat-nasihat orangtua kita yang baru kita mengerti maksudnya beberapa tahun kemudian. Atau tulisan-tulisan harian kita di internet yang diniatkan untuk berbagi, lama-kelamaan menjadi banyak dan menjadi buku. Banyak-banyaklah memberi. Tanam kebaikanmu dimanapun. Tebar kebaikan kepada siapapun. Karena bisa jadi, kebaikan yang kau tanam kemarin-kemarin itu sedang menyiapkan "buah"nya.

Seperti ucapan ayah saya tadi yang masih saya ingat hingga hari ini, yang akhirnya menjadi nasihat tersirat yang selalu saya contoh. Maka bukan tidak mungkin, ucapan-ucapan baik kita yang dulu-dulu masih diingat oleh orang lain. Nasihat baik kita yang bertahun-tahun lalu kita berikan kepada adik atau sahabat kita, mungkin masih mereka ingat dan mereka praktekkan. Tulisan-tulisan baik kita yang sudah lama ditulis yang bahkan kitapun sudah lupa kita pernah menulis itu, ternyata masih diingat oleh orang lain karena berhasil mengubah mindsetnya menjadi lebih baik. Bahkan barangkali, doa-doa yang pernah kita ucapkan untuk orang lain, masih menjadi harapan yang diperjuangkannya hingga hari ini.

Mungkin ada saat-saat dimana kita merasa apa yang kita lakukan tidak akan berdampak apa-apa. Atau merasa "useless", merasa tidak berguna dan tidak bisa menjadi sebaik orang lain dalam menebar manfaat. Tapi percayalah, kita selalu punya sesuatu untuk diberikan. Dan kita akan selalu mendapatkan hasil dari apa yang pernah kita berikan. Jika tidak sekarang, mungkin beberapa tahun lagi. Jika tidak di dunia, mungkin di akhirat.


"Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)." 
- QS. Ar-Rahmaan : 60

Jadi siapa bilang kebaikan yang kita lakukan hari ini akan sia-sia? Pasti berbuah! Keep up the good work and continue doing your good deeds, sisters!

Senin, 05 November 2018

Monday Love Letter #15 - Menutup Hari dengan Syukur


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabar sister? Semoga hari Seninmu menyenangkan dan penuh hikmah. Sebelumnya mohon maaf ya Monday Love Letter-nya baru dikirim malam-malam begini. Karena satu dan lain hal, suratnya baru bisa diselesaikan sekarang.

Di jam-jam segini, kamu mungkin sedang istirahat di rumah, atau baru saja pulang selepas seharian tadi bepergian, atau sedang di perjalanan pulang, atau bahkan masih berada di luar rumah membereskan urusanmu hari ini. Dimanapun kamu, baik itu sedang di rumah, di tempat kerja, di kampus, di perjalanan, selelah apapun itu, you did great today, sister! Semoga malam ini bisa kita tutup dengan senyum, dengan penuh rasa syukur, sambil mengantongi hikmah yang banyak dari pembelajaran yang diberikan Allah hari ini kepada kita dan semoga Allah memaafkan segala khilaf dan kesalahan kita hari ini. Aamiin..

Setiap hari adalah kesempatan baru. Saya selalu merinding setiap membaca ayat yang satu ini, "Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur, maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir." (QS. Az-Zumar (39) : 42).

Ayat tersebut menyebutkan bahwa Allah menggenggam ruh manusia ketika tidur. Ada ruh yang Allah tahan sehingga ia meninggal dalam tidurnya, ada pula yang Allah kembalikan ruhnya sehingga ia dapat bangun kembali. Maka setiap hari dan setiap kita membuka mata dari tidur, sejatinya adalah kesempatan yang Allah berikan. Karena bisa saja Allah tidak mengembalikan ruh kita ke dalam jasad ketika kita sedang tidur. Nikmat hidup, sudahkah kita syukuri?

Hikmah lain yang bisa kita ambil dari ayat itu adalah bahwa kita ini memang milik Allah; penguasa mutlak atas diri kita yang mana hidup dan mati kita ada di tangan-Nya. Maka hiduplah di dunia dengan kesadaran bahwa diri ini sepenuhnya milik Allah. Yang tidak membantah, yang setia pada-Nya, yang menjadikan Allah satu-satunya prioritas dalam hidup dan kelak kembali dengan ridho-Nya. Semoga Allah mampukan kita ya :')

Dan yang pasti, karena kita ini milik Allah, maka kita akan kembali ke Allah. Kita akan pulang ke kampung akhirat, kampung halaman kita yang sebenarnya. Setiap Allah memberi kesempatan kita untuk melihat matahari pagi, berarti satu kesempatan untuk mengumpulkan bekal pulang lebih banyak lagi. Mudik atau pulang traveling aja kita suka ditagih oleh-oleh kan sama orang rumah? Masa' pulang ke akhirat mau ketemu Allah, nggak nyiapin apa-apa dan nggak bawa apa-apa? Ahh, kematian memang tidak pernah gagal menjadi nasihat bagi diri yang sering lupa ini. Semoga hati kita senantiasa peka menangkap pesan-pesan dari-Nya.

Alhamdulillah, kita patut bersyukur hari ini karena Allah telah memberi (lagi) kesempatan hidup kepada kita sejak kita bangun dari tidur pagi tadi. Maka tutuplah hari ini dengan penuh rasa syukur dan terima kasih kepada Allah. Berterima kasihlah atas hal-hal menyenangkan yang terjadi hari ini, berterima kasihlah karena Allah masih bersama kita dan memberikan pertolongan-Nya walaupun hari ini kita menghadapi situasi yang sulit. Jika Allah beri kita kesempatan lagi esok hari, semoga hari esok bisa lebih baik dari hari ini dan semoga syukur kita kepada-Nya melebihi syukur kita hari ini. Aamiin..

Selamat beristirahat, sister. Semoga mimpimu indah :)

Senin, 29 Oktober 2018

Monday Love Letter #14 - Stop Playing Victim


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabar sister? Bagaimana hari Seninmu? Semoga hari ini menjadi awal yang baik untuk hari-harimu sepakan ke depan ya!

Seperti judulnya, surat kali ini adalah tentang berhenti merasa menjadi korban. Akhir-akhir ini saya diresahkan dengan orang-orang yang terus memelihara "mental korban"-nya. Mengapa fenomena playing victim ini menjadi penting untuk dibahas, karena sadar ataupun tidak, hal itu adalah racun bagi pikiran kita dan sangat-sangat mempengaruhi kehidupan kita.

Mungkin kita pernah berpikir, atau mendengar orang-orang di sekitar kita mengatakan hal-hal seperti ini:
"Yaah dia sih bisa sukses karena orangtuanya kaya, sementara keluargaku buat makan aja susah."
"Dia bisa jadi pembicara dan bikin karya gitu karena waktu luangnya banyak, aku mana bisa, kerjaanku di kantor numpuk terus dan bosku galak."
"Keluargamu harmonis itu karena suamimu pengertian banget, suami saya cenderung cuek dan kami juga LDR."
"Pantes aja jualannya laku, relasinya banyak siih. Kalau aku kan pemalu, ga bisa supel kayak dia."
"Jelas aja hidupnya bahagia, lingkungannya nge-support dia banget! Aku? Ortu cerai, lamaran kerja ditolak mulu, temen-temenku juga pada sibuk sendiri-sendiri."
"Aku sebenernya pengen mewujudkan mimpiku itu, tapi liat keadaanku sekarang, semenjak kecelakaan kerjanya bolak-balik RS mulu, gak mungkin lah."
"Aku udah nggak punya harapan hidup lagi semenjak aku kehilangan orangtuaku."
"Hidupku udah hancur banget, masa laluku juga kelam banget, aku gak pantes punya masa depan yang bahagia."
Daaaan mungkin masih banyak lagi pikiran-pikiran semacam itu yang datang dari orang-orang bermental korban. Semoga itu bukan kita.

Pola pikir seperti itu tuh bahaya banget. Alih-alih bergerak maju, orang-orang yang berpikir seperti ini cenderung akan diam di tempat dan tanpa sadar sibuk meratapi keadaannya. Dia akan mencari pembelaan atas kehidupannya yang terpuruk dengan menempatkan dirinya sebagai korban atas kesalahan yang dibuat oleh orang lain misalnya, menempatkan dirinya sebagai korban atas kejadian buruk yang menimpa dirinya, atau menempatkan dirinya sebagai korban atas kesalahan dirinya di masa lalu yang menjadikannya larut dalam penyesalan. Sekali lagi, semoga itu bukan kita, ya :')

Jika ada orang yang berpikir seperti itu, mungkin tidak bisa sepenuhnya disalahkan juga, karena manusia punya mekanisme "self-defense" yang digunakan untuk mempertahankan harga dirinya. Sayangnya kebanyakan kita menempatkan dirinya sebagai korban dengan menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan, atau menyalahkan dirinya sendiri dibanding menempatkan diri sebagai sosok yang bertanggungjawab.

Ya, jadilah sosok bertanggungjawab atas dirimu sendiri dan atas kehidupan yang tengah kau jalani. Semua hal yang terjadi di dunia ini pada awalnya adalah netral, kitalah yang sepenuhnya memegang kendali atas pikiran, sikap, dan tindakan kita. Mau sedih karena hal yang terjadi? Bisa. Mau menciptakan bahagia? Juga bisa.
Mau terus-terusan terpuruk karena masa lalu yang (menurut kita) buruk? Bisa. Mau berusaha bangkit dan mengambil hikmah? Juga bisa.
Mau marah karena disakiti orang lain? Bisa. Mau memaafkan dan melepas beban amarah? Juga bisa.
Mau hidup kita disetir oleh orang lain? Bisa. Mau memperjuangkan kebebasan mewujudkan impianmu? Juga bisa.
Kita selalu punya pilihan. Dan kita selalu bisa memilih. Maka pilihlah keputusan yang menguntungkan dirimu, yang membahagiakan dirimu, yang membuat kualitas hidupmu meningkat.

Dan lagi, kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas hidup yang dijalani orang lain. Maka rugi sekali jika kita menghabiskan waktu dengan menyimpan dendam terhadap orang lain, menyimpan amarah terhadap keadaan, atau terus-menerus mengasihani diri sendiri. Waktu kita terlalu berharga untuk memikirkan itu. Hidup kita terlalu singkat untuk dihabiskan dengan hal-hal yang merusak diri kita sendiri.

Jadilah diri yang bertanggungjawab, bukan yang bermental korban. You deserve to be happy, you deserve to be succees, you deserve a better life, if you feel like you deserve to.

Is it good or bad, happy or sad, you choose.

Senin, 22 Oktober 2018

Monday Love Letter #13 - Be The Best Version of Yourself


Assalamua'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabar sister shalihah? Terima kasih banyak yaa sudah bersama dengan kami sampai saat ini dan rela emailnya diberisikin setiap Senin. Hehehe.. 

Biasanya setiap hari Senin saya banyak di rumah dan menghabiskan beberapa jam khusus untuk menulis MLL. Tapi Monday Love Letter kali ini cukup spesial bagi saya karena tulisan ini saya tulis di dalam kereta sambil melakukan perjalanan pulang dari Solo ke Bandung. Finally I'm hoooome :))

Sedikit bercerita, saya bersama teman-teman komunitas pergi ke Solo selama 5 hari untuk mempersiapkan agenda seminar woman empowerment dan merencanakan untuk bikin "gara-gara" (maksudnya bikin kegiatan atau event yang positif tapi berdampak besar gitu, aamiin ) bersama teman-teman lainnya untuk mengembangkan komunitas di Solo. Bagi saya, ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Solo dan ternyata Solo tuh nyaman sekali yaa. Mungkin karena orang-orang yang saya temui juga semuanya baik-baik banget. Adakah yang orang Solo disini? :)

Selama jauh dari rumah dan beraktivitas beberapa hari ke belakang, notes saya cukup padat dengan beberapa ide tulisan dan hikmah-hikmah yang saya dapatkan. Salah satunya adalah tentang perlunya menyadari potensi diri untuk bisa menginspirasi. Di Solo, saya bertemu dengan banyak perempuan hebat! Kebanyakan mereka masih mahasiswa yang karyanya luar biasa, kepeduliannya tinggi dan sangat pembelajar. 

Saya jadi teringat pada hadits Rasul yang menyebutkan bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat. Disana, saya seperti sedang melihat hadits itu dalam bentuk "nyata" dengan bertemu orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk orang lain. Dan yang lebih keren lagi, alasan dari mereka melakukan semua itu bukanlah demi uang atau popularitas, tapi memang tulus berbuat untuk orang lain dan diniatkan untuk Allah. Haaahh saya jadi banyak merenung dan berkontemplasi memikirkan diri sendiri, sudah sebesar apa manfaat saya untuk orang lain. Karena sebetulnya saya mudah sekali iri dengan mereka yang aktif memberikan manfaat dan berkontribusi untuk sesama. Tentu iri yang positif, yang membuat saya jadi termotivasi untuk melakukan sesuatu. Apalagi ketika saya tahu bahwa ternyata Allah-lah yang menjadi 'strong why' mereka. Beuhh, cakep..

Dan ada satu hal penting yang saya dapatkan tentang menjadi bermanfaat, yaitu kita tidak perlu menjadi seperti orang lain untuk bisa menginspirasiBe the best version of yourself. Jadilah diri sendiri. Fokuslah pada kekuatan yang kita miliki lalu jadilah versi terbaik dari diri kita sendiri. 

Saya jadi mengerti mengapa Allah menciptakan setiap manusia itu berbeda dan unik. Allah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangannya dan tidak ada manusia yang 100% sama dengan manusia yang lain. Artinya, kita memiliki keunikan dan kekuatan tersendiri yang tidak orang lain miliki. Ini seharusnya menjadi kabar gembira! Kita jadi tidak perlu iri dengan apa yang dimiliki orang lain karena diri kita juga memiliki sesuatu yang sama berharganya dengan apa yang orang lain miliki. Ya kan?

Maka penting sekali mengenal dan memahami diri sendiri. Penting sekali untuk mencari, mengembangkan, dan menggunakan kekuatan yang ada pada diri kita. Karena itulah sebaik-baik modal kita untuk menjadi bermanfaat. Kita memang tidak mungkin menjadi sempurna dan hebat dalam segala hal, tapi lagi-lagi Allah menyimpan rencana yang indah dengan segala perbedaan manusia, yaitu agar kita bisa saling mengisi satu sama lain dan saling berkolaborasi untuk membuat kebermanfaatan yang lebih besar dan meluas. 

Jadi, untukmu yang terkadang masih suka merasa inferior atau rendah diri, masih suka merasa (kalau kata orang sunda) 'da aku mah apa atuh', kikis dan buang jauh-jauh perasaan itu dan mulailah temukan apa yang menjadi potensi terbaikmu. Jadilah manusia bermanfaat yang bahagia, tanpa membanding-bandingkan dengan karya atau pencapaian orang lain. 

Jika masih bingung dengan kekuatan kita, tidak apa-apa, teruslah mencari sambil meminta petunjuk-Nya. Karena yang paling tahu tentang diri kita, tentu hanya Dia yang menciptakan kita. Semangat fastabiqul khairat. Semoga Allah selalu membimbing setiap langkah kita. Aamiin..

Rabu, 17 Oktober 2018

Monday Love Letter #12 - Menanamkan Kesadaran sebagai Hamba


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bagaimana hari Seninmu, sister? Semoga Allah memberikan keberkahan dalam setiap aktivitas kita ya sisters :)

Beberapa hari yang lalu, seseorang bertanya kepada saya, "Teh, gimana sih mengantisipasi iman kita yang kadang naik turun sehingga kita jadi sulit untuk istiqomah?" Hmm, sebuah pertanyaan yang juga masih menjadi PR bagi saya.

Jawabannya sebenarnya sederhana, yaitu dengan memiliki kesadaran yang penuh sebagai hamba Allah, 24 jam nonstop. Jika setiap detiknya kita sadar bahwa kita adalah hamba Allah, tentu tidak akan ada celah untuk turunnya iman, bukan? Karena seseorang yang memiliki kesadaran ini akan total mengabdi kepada Allah, tanpa jeda. Waah rasanya sulit ya? Apalagi dunia ini penuh dengan distraksi yang terkadang (bahkan sering) membuat kita lupa kepada Allah.

Walau sulit, namun kesadaran ini adalah sesuatu yang bisa dilatih. Manusia dikendalikan oleh pikiran sadarnya sebanyak 20% sementara 80% sisanya dikendalikan oleh pikiran bawah sadar. Jadi kebanyakan tindakan kita dikendalikan oleh pikiran bawah sadar. Nah, tugas kita adalah mencari cara agar kesadaran sebagai hamba Allah ini masuk kedalam pikiran bawah sadar sehingga menjadikan aktivitas kita senantiasa Allah-minded dan Allah-oriented. Bagaimana caranya? Dibiasakan.

Waktu kecil dulu, banyak dari kita mungkin pernah belajar mengendarai sepeda. Ketika baru mulai belajar rasanya susah sekali, harus jatuh dulu, harus terluka dulu. Tapi setelah berlatih setiap hari, aktivitas mengendarai sepeda menjadi aktivitas biasa yang bisa kita lakukan tanpa berpikir. Atau ketika kita berhasil membiasakan berolahraga setiap hari. Di minggu-minggu pertama mungkin terasa sulit dan melelahkan, tapi semakin kita lakukan, kita menjadi semakin terbiasa dan olahraga menjadi kegiatan yang menyenangkan. Bahkan kebiasaan yang dibangun dengan konsisten akan membuat kita merasa butuh dan sulit dihentikan.

Maka untuk menjadi hamba yang senantiasa sadar akan status dirinya, kita perlu bertanya kepada diri sendiri, "hal apa yang kira-kira dapat membuat diri kita terus ingat kepada Allah? Kebiasaan-kebiasaan apa yang kira-kira perlu dibangun agar diri kita senantiasa ingat bahwa kita adalah seorang hamba Allah?" Temukan dan lakukan secara rutin hingga menjadi kebiasaan, hingga 'title' hamba Allah menjadi sesuatu yang melekat pada diri kita. Hasilnya? Kita tidak lagi lupa atau merasa terpaksa dalam menjalani segala perintah-Nya.

Untuk melakukannya tentu saja butuh kesabaran dan niat yang kuat, dan mungkin banyak proses jatuh bangun yang kita lewati hingga bisa mencapai titik itu. Tapi bukankah perjuangan kita menuju Allah akan selalu worth it? Karena dengan itulah kita mendapatkan ketentraman hati dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.

Allah telah memudahkan proses penanaman kesadaran ini salah satunya dengan ditetapkannya 5 waktu shalat. Dengan syariat shalat, setidaknya selama 5 x 10 menit setiap harinya kita mengingat Allah. Maka gunakanlah fasilitas dari Allah ini dengan sepenuhnya "hadir" di setiap shalat kita. Lalu tugas kita selanjutnya adalah menjaga kesadaran itu agar senantiasa "hadir" dalam aktivitas lainnya, tidak hanya ketika shalat.

Jika shalat masih dirasa kurang, kita bisa melatih diri kita dengan hal yang lain agar kesadaran kita tetap ON dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Contohnya dengan membiasakan dzikir, meruntinkan tilawah Qur'an, membaca buku-buku islami, menghadiri kajian, atau sesederhana kita meluangkan waktu untuk berkontemplasi dan memikirkan tentang Allah dan ciptaan-Nya.

Selamat membangun kebiasaan agar senantiasa sadar terhadap status dan kewajiban diri kita sebagai hamba Allah. Semoga kita bisa sampai pada pribadi ya muhsin, yaitu mereka yang selalu merasakan kehadiran Allah dan merasa dilihat oleh-Nya sehingga senantiasa menjaga dan mengoptimalkan ibadah kepada-Nya. Aamiin.

Senin, 08 Oktober 2018

Monday Love Letter #11 - Bertumbuhlah dan Ciptakan Harmoni


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah, sepekan telah berlalu dan kini saatnya kita mengupayakan agar sepekan ke depan bisa lebih baik dari kemarin. Semoga Allah menguatkan niat dan langkah kita ya, sister! Aamiin.

Di surat kali ini, saya ingin mengawalinya dengan sebuah cerita. Pada bulan Juni lalu, saya dan keluarga diundang ke sebuah perkemahan di daerah lembang untuk menghabiskan weekend disana. Lokasinya cukup luas dan terdapat berbagai macam komplek perkemahan dengan konsep yang berbeda-beda. Pada komplek perkemahan yang kami tempati terdapat belasan rumah sederhana dari kayu yang dibangun berkeliling membentuk lingkaran. Ditengahnya ada beberapa spot untuk tempat api unggun yang disekelilingnya terdapat kursi-kursi yang dibuat dari batang pohon. Sisanya dibiarkan apa adanya, tanah berumput dengan banyaknya pohon pinus yang tinggi-tinggi namun cukup berjarak. Suasananya adem sekali dan terasa teduh pada siang hari.

Sore harinya, sambil menikmati hidangan coffee break saya duduk di salah satu kursi kayu dan merenung cukup lama. Mata saya tidak berhenti memperhatikan pohon-pohon pinus yang berdiri kokoh di sekitar saya. Jarak antara satu pohon dengan pohon lainnya cukup jauh, sekitar 4-5 meter, bahkan ada yang lebih jauh dari itu. Tapi ketika saya melihat ke langit, cabang dan daun-daun mereka saling bersinggungan di atas sana, membentuk harmoni dengan pohon lain sehingga terdengerlah gesekan-gesekan daun dan ranting ketika angin berhembus dan menjadi teduhlah perkemahan itu dari cahaya matahari.

Saya jadi sadar bahwa perasaan nyaman selama saya tinggal disana salah satunya disebabkan oleh pohon-pohon itu  yang memberi naungan bagi rumah-rumah kemah yang ada disana. Tanahnya pun terasa sangat luas karena cabang-cabang dari pohon-pohon itu sudah tumbuh sangat tinggi sehingga tidak ada daun atau semak yang menghalangi pandangan.

Lalu dari perenungan mengamati pohon-pohon itu, saya jadi terpikir bahwa diri kita bisa saja umpama sebuah pohon. Semakin kita bertumbuh, semakin bermanfaatlah kita. Manusia itu tidak cukup hanya berkembang, tapi juga perlu bertumbuh. Tidak cukup menjalani hidup sekedar mengikuti alur dan menjalani kehidupan dengan berpindah dari fase ke fase, tapi juga perlu upgrade ilmu, upgrade skill, menjalin relasi dan membangun koneksi agar ranah kebermanfaatan kita bisa semakin meluas, tidak hanya untuk diri kita atau keluarga kita sendiri saja.

Pohon yang tumbuh sendirian, hanya akan menaungi beberapa orang saja dibawahnya. Tapi jika pohon-pohon tersebut tumbuh berbarengan walaupun di tempat yang berbeda dan berjarak, nanti diatas sana ranting-ranting mereka akan saling bertemu sehingga bukan hanya beberapa orang dewasa yang bisa berteduh di bawahnya, pohon-pohon itu bahkan bisa menaungi satu wilayah. Belum lagi jika pohon-pohon itu menghasilkan buah yang bisa dimakan, semakin sejahteralah wilayah itu karenanya.

Bumi ini perlu dijaga. Dan dalam keadaan dunia yang semakin carut-marut ini, mungkin solusinya sederhana saja. Yaitu dengan bertumbuhnya orang-orang baik yang saling berkolaborasi dalam kebaikan. Orang baik di dunia ini sebetulnya ada banyak sekali, tapi terkadang mereka hanya mencukupkan kebaikan itu untuk dirinya sendiri tanpa mengembangkan sumber daya yang dimilikinya dan membuat suatu karya yang dampaknya meluas.

Maka dengan segala peran yang kita miliki di masyarakat, baik itu sebagai mahasiswa, ibu rumah tangga, praktisi pendidikan, karyawan di sebuah perusahaan, dan sebagainya, jalanilah peran itu dengan sebaik-baiknya dan jadilah yang terbaik. Nanti ketika tiba di satu titik kamu merasa perlu mengembangkan "sayap", lakukanlah. Bertumbuhlah sambil melakukan kolaborasi-kolaborasi yang membuat kebermanfaatanmu semakin luas dan jadilah bagian dari orang-orang yang mengadakan perbaikan. Tidak apa-apa walau sedikit dan bertahap, insya Allah lama-kelamaan semakin banyak dan semakin meluas.

"Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah…" (HR. Muslim)

Jangan merasa sendiri, karena yang sedang berjuang untuk bertumbuh, bukan cuma kamu. Kita sama-sama, ya.

Senin, 01 Oktober 2018

Monday Love Letter #10 - Don't Stop Making Du'a


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Sebelum mulai menulis Monday Love Letter hari ini, saya ingin memulainya dengan doa-doa sederhana untukmu. Bagimu yang sedang dalam keadaan sakit, semoga Allah sehatkan dan dijadikan-Nya sebagai penggugur dosa-dosa. Bagimu yang sedang menghadapi kesulitan, musibah, atau ujian, semoga Allah memberikan kekuatan untuk bisa bersabar dan segera Allah tunjukkan jalan keluarnya. Bagimu yang hari ini sedang bahagia, semoga Allah memberkahi segala bentuk nikmat yang kau terima dan menjadikanmu hamba yang penuh syukur. Semoga setiap ketetapan Allah yang terjadi dalam hidup kita, bisa senantiasa kita sikapi dengan sikap terbaik yang Allah sukai. Aamiin..

Sejak saya tahu bahwa doa bisa menjadi obat bagi hati yang gelisah, saya selalu mempraktekkannya dalam keseharian saya. Sejak saya tahu bahwa mendoakan orang lain bisa menenangkan hati orang yang didoakan, bahkan bisa juga menenangkan hati saya sendiri, saya selalu berusaha agar setiap orang yang pernah hadir dalam hidup saya, saya tidak melewatkan doa untuknya.

Bagi saya, berdoa adalah aktivitas yang luar biasa jika kita renungi. Doa adalah salah satu bentuk kesadaran kita sebagai hamba yang lemah, sebagai kebutuhan karena kita perlu tempat bergantung. Jika sedang dalam keadaan susah, dalam keadaan payah, dalam keadaan dihimpit kesulitan, naluriahnya kita pasti berdoa. Doa adalah sebentuk pinta dari hati yang merasa takut sekaligus penuh harap agar Allah menolong dan memberi petunjuk kepada kita.

Doa adalah jalan agar kita bisa selalu terkoneksi dengan Sang Pencipta, agar setiap aktivitas selalu dalam rangka ketaatan kepada-Nya. Bagaimana tidak, Rasulullah SAW telah mengajarkan untuk selalu berdoa disetiap aktivitas. Dari mulai bangun tidur, bepergian keluar rumah, pulang ke rumah, masuk-keluar kamar mandi, berwudhu, bermuamalah, semua aktivitas dari mulai bangun hingga tidur lagi ada doanya --seminimal-minimalnya dengan mengucapkan basmallah. Kenapa sih harus repot-repot berdoa? Tidak lain agar setiap aktivitas selalu dimulai dan diakhiri dengan nama Allah serta niat beribadah kepada-Nya. Jika tanpa doa, mungkin segundang aktivitas kita layaknya buih di lautan, tidak ada artinya. Wah, bahaya sekali jika kematian datang menjemput dalam keadaan kita sedang tidak terkoneksi dengan Allah. Luar biasa ya contoh yang diajarkan Rasulullah, sholawat dulu yuk :)

Berdoa adalah perintah Allah, bagian dari ibadah yang disukai-Nya. Terlepas dari kapan dan bagaimana Allah mengabulkan doa hamba-Nya, aktivitas berdoa itu sendiri menjadi aktivitas yang disukai Allah.

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS.7 : 55)

"Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina."" (QS. 40 : 60)

Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Quran yang isinya adalah doa. Tidak sedikit pula doa-doa para Nabi yang Allah abadikan dalam Al-Quran. Jika Allah saja mengajarkan kita untuk berdoa dalam setiap keadaan, alasan apa lagi yang membuat kita tidak berdoa kepada-Nya? Jika para Nabi dan Rasul saja semuanya berdoa kepada Allah, siapalah kita ini yang bisa-bisanya sombong dan merasa bisa tanpa Allah?

Mari buat koneksi dengan Allah melalui doa-doa kita. Mari merayu cinta Allah dengan doa-doa yang kita panjatkan dengan penuh harap dan takut kepada-Nya. Mari saling mendoakan agar hati kita terlatih untuk peka dan saling merasa. Kemana lagi kita meminta, kemana lagi kita berharap, kemana lagi kita mencari ketenangan, jika bukan kepada Allah.

Semoga Allah senantiasa melembutkan hati kita agar senantiasa mau merendahkan diri di hadapan-Nya.

Bagaimana denganmu, apa makna doa bagimu?