Kamis, 03 September 2020

Ketika Dunia Tidak Berputar Untukku

Tulisan ini adalah tulisan yang saya tulis dalam kulwap (kuliah WhatsApp) untuk Sister of Deen pada 12 Mei 2020 lalu, di malam ke-20 Ramadhan, 1441 H. Sepenggal cerita kehidupan yang semoga bisa diambil hikmahnya.

***

APA TITIK TERENDAH SAYA?

Sebenarnya, jika saya flashback perjalanan hidup saya bertahun-tahun ke belakang, saya sering kesulitan menjawab jika ada orang yang bertanya tentang titik terendah saya. Seingat saya, saya belum pernah mengalami ujian hidup yang ekstrim yang membuat saya stress berkepanjangan. Masalah hidup tentu saja ada, tapi jika saya mendengar pengalaman hidup orang lain, rasanya masih banyak orang-orang yang ujian hidupnya jauh lebih berat dari saya. Sementara untuk saya, rasanya banyak mudahnya dibanding sulitnya. Apakah menyenangkan? Sejujurnya iya, tapi tidak otomatis membuat hidup saya terasa "penuh". Kok bisa? Nanti saya ceritakan.

 

Walaupun begitu, saya pernah mengalami pahitnya ditampar oleh realita ketika saya menyimpan ekspektasi yang terlalu tinggi. Seperti ketika saya berekspektasi pada suami saya di awal menikah dulu, ketika saya mempercayakan sebuah tugas penting kepada orang lain dan berpikir bahwa hasilnya akan sempurna jika ia yang mengerjakannya, ketika saya menceritakan impian saya namun tidak diterima, dan seterusnya. Melelahkan sekali menjalani hidup dengan bergantung pada ekpektasi. Tanpa sadar, saya jadi sering mengeluh, susah bersyukur dan lebih mudah marah, membuat saya jadi lebih sulit bahagia. 

 

BERDAMAI DENGAN EKSPEKTASI

Perlu beberapa kali Allah memberi "tamparan" itu sampai akhirnya saya menyadari bahwa apa yang ada di luar diri saya adalah di luar kendali saya. Tidak semua orang harus sempurna dan tidak semua keadaan harus selalu terkendali. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah pikiran, perasaan, dan tindakan kita ketika menghadapi itu semua. Apakah mau menuntut keadaan terus-menerus atau menjadi yang menerima dan memperbaiki diri lebih dulu?

 

Sejak saya sadar bahwa rumus berdamai dengan keadaan pertama-tama adalah menerima, ini yang kemudian saya latih terus menerus ketika saya bertemu realita yang tak sesuai harapan. Awalnya sulit tentu saja, sebab hati ini sudah terlalu terbiasa untuk berkeluh kesah.

 

Untungnya, hati kita tidak bisa melakukan 2 hal dalam satu waktu. Jika saya mendapati diri saya mengeluh, saya langsung menepisnya dengan syukur. Daripada mencari banyak hal untuk dikeluhkan, saya paksa diri saya untuk menemukan hal-hal yang bisa disyukuri. Alhamdulillah, atas pertolongan Allah pula, kebiasaan mengeluh itu kini sudah berkurang banyak.

 

Kita mungkin tidak bisa menghentikan masalah yang datang, tapi kita bisa mengontrol energi kita, apakah energi tersebut mau kita fokuskan untuk mengeluh, atau mau kita gunakan untuk berikhtiar dan merapal syukur? Keduanya sama-sama membutuhkan energi, tinggal kita memilih, mau fokus pada yang mana?

 

PERJUANGAN SABAR YANG TAK MUDAH

Saya juga pernah mengalami ketika ikhtiar yang saya lakukan terasa begitu jauuh garis finishnya hingga menguras energi dan emosi saya. Seperti ketika saya menyelesaikan skripsi saya beberapa tahun lalu, membuat saya harus menahan malu karena baru lulus di semester ke-11, menyisakan beberapa kenangan buruk yang sejujurnya tidak ingin saya ingat lagi.

 

Ada pula beberapa ikhtiar kebaikan yang terkadang membuat saya berkali-kali ingin menyerah, membuat bimbang antara apakah saya perlu untuk tetap maju dan bertahan, atau memilih tidak peduli dan menghentikan perjuangan. Salah satunya, ketika datang masa-masa dimana saya mulai merasa "lelah" saat berikhtiar memiliki keturunan. Sebenarnya ini jarang terjadi, tapi terkadang menyisakan tanya didalam hati, "harus menunggu berapa lama lagi?" 


Atau ketika saya diamanahi melakukan sebuah project kebaikan. Nyatanya, mengupayakan kebaikan tidak selalu lancar dan disambut baik oleh orang lain. Jika sedang di puncak lelah, rasanya ingin menjadi orang yang juga melepas kepedulian dan menghentikannya. Tapi saya tahu ini pikiran yang salah, lalu saya beristighfar dan mencoba bangkit sekali lagi.

 

Memang, ketika kita mengupayakan sesuatu, ada saat-saat dimana kesabaran kita benar-benar diuji. Ketika menghadapi situasi seperti ini, jika saya hanya fokus kepada hasil, yang ada hanyalah frustasi dan kecewa. Setelah jatuh berkali-kali, akhirnya saya menemukan formulanya, bahwa bersabar adalah tentang menjalani proses, bukan menunggu hasil. Fokus kita adalah pada proses ikhtiarnya. Selama niat kita benar karena Allah dan bertujuan dalam rangka ibadah kepada Allah, tidak ada alasan untuk berhenti dari medan perjuangan. Hasil itu urusan Allah, maka tawakkal adalah kunci agar hati kita terselamatkan dari rasa kecewa.

 

TERNYATA, BERSYUKUR PUN TAK SEMUDAH ITU

Seperti yang tadi saya ceritakan di awal, dibanding ujian kesabaran, berbagai nikmat dan kemudahan hidup ternyata lebih membuat saya gelisah dan lebih nyata tantangannya untuk saya. Menerima banyak kebaikan dari Allah dan merasakan kasih sayang-Nya yang tiada henti, membuat saya merasa "berhutang" kepada Allah. Saya jadi berpikir, apa kiranya yang bisa saya lakukan untuk membalas semua kebaikan Allah ini? Apa yang bisa saya persembahkan sebagai wujud terima kasih kepada-Nya?

 

Bagi saya ini jauh lebih sulit karena kenyamanan hidup seringkali membuat saya terlena menikmatinya, membuat saya hanya memikirkan diri sendiri tanpa tahu bahwa banyak orang lain yang perlu dibantu. Sebab kita ini diamanahi Allah bukan hanya untuk menjaga hubungan kita dengan Allah, tapi juga menjalin silaturahim dengan sesama manusia. Tak cukup hanya taat, kita juga harus jadi bermanfaat.

 

APAPUN JALANNYA, BERJUANG ADALAH PILIHAN

Dari perjalanan hidup saya itu, saya mendapat kesimpulan bahwa selain bersabar, ternyata ada perjuangan yang juga sama beratnya, yaitu: mewujudkan syukur. Syukur terhadap apa saja! Terhadap harta kita, keluarga kita, kesehatan kita, waktu kita, bahkan terhadap hidayah Allah untuk kita.

 

Karena itu saya berusaha sekuat mungkin untuk mengupayakan istiqomah, sebab itulah hal terbaik yang bisa saya berikan kepada Allah atas nikmat iman, nikmat islam, nikmat ibadah, dan nikmat ukhuwah. Karena itu saya memaksa diri saya untuk terus melakukan project-project kebaikan; dengan menulis, dengan berbagi ilmu, dengan mengasuh komunitas, dengan program sosial, dengan apa saja yang membuat kebaikan itu jadi berantai-rantai dan membuat saya bisa meneruskan kasih sayang Allah yang rasakan kepada orang lain. :”)

 

Ternyata.. mau bersabar ataupun bersyukur, sama-sama tidak ada yang mudah. Keduanya sama-sama meminta perjuangan dan pengorbanan kita, serta kebergantungan kita kepada-Nya. Pada akhirnya, tugas kita adalah menjalani kehidupan ini dengan sebaik-sebaiknya sesuai dengan ketentuan-Nya dan kembali pulang kepada Allah dengan membawa buah dari perjuangan sabar dan syukur yang kita jalani selama di dunia.

Sekian. Wallahu’alam bisshawab..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar