Tulisan ini adalah tulisan yang saya tulis dalam kulwap (kuliah WhatsApp) untuk Sister of Deen pada 12 Mei 2020 lalu, di malam ke-20 Ramadhan, 1441 H. Sepenggal cerita kehidupan yang semoga bisa diambil hikmahnya.
***
APA TITIK TERENDAH SAYA?
Sebenarnya, jika saya flashback perjalanan hidup saya bertahun-tahun ke belakang, saya sering kesulitan menjawab jika ada orang yang bertanya tentang titik terendah saya. Seingat saya, saya belum pernah mengalami ujian hidup yang ekstrim yang membuat saya stress berkepanjangan. Masalah hidup tentu saja ada, tapi jika saya mendengar pengalaman hidup orang lain, rasanya masih banyak orang-orang yang ujian hidupnya jauh lebih berat dari saya. Sementara untuk saya, rasanya banyak mudahnya dibanding sulitnya. Apakah menyenangkan? Sejujurnya iya, tapi tidak otomatis membuat hidup saya terasa "penuh". Kok bisa? Nanti saya ceritakan.
Walaupun begitu, saya pernah mengalami
pahitnya ditampar oleh realita ketika saya menyimpan ekspektasi yang terlalu
tinggi. Seperti ketika saya berekspektasi pada suami saya di awal menikah dulu,
ketika saya mempercayakan sebuah tugas penting kepada orang lain dan berpikir
bahwa hasilnya akan sempurna jika ia yang mengerjakannya, ketika saya
menceritakan impian saya namun tidak diterima, dan seterusnya. Melelahkan
sekali menjalani hidup dengan bergantung pada ekpektasi. Tanpa sadar, saya jadi
sering mengeluh, susah bersyukur dan lebih mudah marah, membuat saya jadi lebih
sulit bahagia.
BERDAMAI DENGAN EKSPEKTASI
Perlu beberapa kali Allah memberi "tamparan" itu sampai akhirnya saya menyadari bahwa apa yang ada di luar diri saya adalah di luar kendali saya. Tidak semua orang harus sempurna dan tidak semua keadaan harus selalu terkendali. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah pikiran, perasaan, dan tindakan kita ketika menghadapi itu semua. Apakah mau menuntut keadaan terus-menerus atau menjadi yang menerima dan memperbaiki diri lebih dulu?
Sejak saya sadar bahwa rumus berdamai dengan
keadaan pertama-tama adalah menerima, ini yang kemudian saya latih terus
menerus ketika saya bertemu realita yang tak sesuai harapan. Awalnya sulit
tentu saja, sebab hati ini sudah terlalu terbiasa untuk berkeluh kesah.
Untungnya, hati kita tidak bisa melakukan 2 hal
dalam satu waktu. Jika saya mendapati diri saya mengeluh, saya langsung
menepisnya dengan syukur. Daripada mencari banyak hal untuk dikeluhkan, saya
paksa diri saya untuk menemukan hal-hal yang bisa disyukuri. Alhamdulillah,
atas pertolongan Allah pula, kebiasaan mengeluh itu kini sudah berkurang
banyak.
Kita mungkin tidak bisa menghentikan masalah
yang datang, tapi kita bisa mengontrol energi kita, apakah energi tersebut mau
kita fokuskan untuk mengeluh, atau mau kita gunakan untuk berikhtiar dan merapal
syukur? Keduanya sama-sama membutuhkan energi, tinggal kita memilih, mau fokus
pada yang mana?
PERJUANGAN SABAR YANG TAK MUDAH
Saya juga pernah mengalami ketika ikhtiar
yang saya lakukan terasa begitu jauuh garis finishnya hingga menguras energi dan
emosi saya. Seperti ketika saya menyelesaikan skripsi saya beberapa tahun lalu,
membuat saya harus menahan malu karena baru lulus di semester ke-11, menyisakan
beberapa kenangan buruk yang sejujurnya tidak ingin saya ingat lagi.
Ada pula beberapa ikhtiar kebaikan yang terkadang membuat saya berkali-kali ingin menyerah, membuat bimbang antara apakah saya perlu untuk tetap maju dan bertahan, atau memilih tidak peduli dan menghentikan perjuangan. Salah satunya, ketika datang masa-masa dimana saya mulai merasa "lelah" saat berikhtiar memiliki keturunan. Sebenarnya ini jarang terjadi, tapi terkadang menyisakan tanya didalam hati, "harus menunggu berapa lama lagi?"
Atau ketika saya diamanahi melakukan sebuah
project kebaikan. Nyatanya, mengupayakan kebaikan tidak selalu lancar dan
disambut baik oleh orang lain. Jika sedang di puncak lelah, rasanya ingin
menjadi orang yang juga melepas kepedulian dan menghentikannya. Tapi saya tahu
ini pikiran yang salah, lalu saya beristighfar dan mencoba bangkit sekali lagi.
Memang, ketika kita mengupayakan sesuatu, ada
saat-saat dimana kesabaran kita benar-benar diuji. Ketika menghadapi situasi
seperti ini, jika saya hanya fokus kepada hasil, yang ada hanyalah frustasi dan
kecewa. Setelah jatuh berkali-kali, akhirnya saya menemukan formulanya, bahwa
bersabar adalah tentang menjalani proses, bukan menunggu hasil. Fokus kita
adalah pada proses ikhtiarnya. Selama niat kita benar karena Allah dan
bertujuan dalam rangka ibadah kepada Allah, tidak ada alasan untuk berhenti
dari medan perjuangan. Hasil itu urusan Allah, maka tawakkal adalah kunci agar
hati kita terselamatkan dari rasa kecewa.
TERNYATA, BERSYUKUR PUN TAK SEMUDAH ITU
Seperti yang tadi saya ceritakan di awal,
dibanding ujian kesabaran, berbagai nikmat dan kemudahan hidup ternyata lebih
membuat saya gelisah dan lebih nyata tantangannya untuk saya. Menerima banyak
kebaikan dari Allah dan merasakan kasih sayang-Nya yang tiada henti, membuat
saya merasa "berhutang" kepada Allah. Saya jadi berpikir, apa
kiranya yang bisa saya lakukan untuk membalas semua kebaikan Allah ini? Apa
yang bisa saya persembahkan sebagai wujud terima kasih kepada-Nya?
Bagi saya ini jauh lebih sulit karena kenyamanan hidup seringkali membuat saya terlena menikmatinya, membuat saya hanya memikirkan diri sendiri tanpa tahu bahwa banyak orang lain yang perlu dibantu. Sebab kita ini diamanahi Allah bukan hanya untuk menjaga hubungan kita dengan Allah, tapi juga menjalin silaturahim dengan sesama manusia. Tak cukup hanya taat, kita juga harus jadi bermanfaat.
APAPUN JALANNYA, BERJUANG ADALAH PILIHAN
Dari perjalanan hidup saya itu, saya mendapat
kesimpulan bahwa selain bersabar, ternyata ada perjuangan yang juga sama
beratnya, yaitu: mewujudkan syukur. Syukur terhadap apa saja! Terhadap harta
kita, keluarga kita, kesehatan kita, waktu kita, bahkan terhadap hidayah Allah
untuk kita.
Karena itu saya berusaha sekuat mungkin untuk mengupayakan istiqomah, sebab itulah hal terbaik yang bisa saya berikan kepada Allah atas nikmat iman, nikmat islam, nikmat ibadah, dan nikmat ukhuwah. Karena itu saya memaksa diri saya untuk terus melakukan project-project kebaikan; dengan menulis, dengan berbagi ilmu, dengan mengasuh komunitas, dengan program sosial, dengan apa saja yang membuat kebaikan itu jadi berantai-rantai dan membuat saya bisa meneruskan kasih sayang Allah yang rasakan kepada orang lain. :”)
Ternyata.. mau bersabar ataupun bersyukur, sama-sama tidak ada yang mudah. Keduanya sama-sama meminta perjuangan dan pengorbanan kita, serta kebergantungan kita kepada-Nya. Pada akhirnya, tugas kita adalah menjalani kehidupan ini dengan sebaik-sebaiknya sesuai dengan ketentuan-Nya dan kembali pulang kepada Allah dengan membawa buah dari perjuangan sabar dan syukur yang kita jalani selama di dunia.
Sekian. Wallahu’alam bisshawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar