*dikutip dari Monday Love Letter #154, yang kutulis untuk Sister of Deen
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!
Hari ini tanggal merah ya? Bertepatan dengan peristiwa Isra Mi'raj yang terjadi di tanggal 27 Rajab. Tidak terasa bulan Rajab sudah mau habis dan Ramadhan sudah semakin dekat. Sekitar 33 hari lagi kita akan bertemu dengan bulan Ramadhan, insya Allah. Semoga Allah masih memberi usia untuk kita bertemu dengan Ramadhan ya, sister. Yuk aamiin bareng-bareng! Aamiin.. :')
Bicara tentang Isra Mi'raj, dulu saya melihat peristiwa Isra Mi'raj hanya dari kacamata sejarah, sebagai sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu, sebagai salah satu mukjizat besar yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad SAW. That's it.
Lambat laun, seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya ilmu, pemaknaan saya terhadap peristiwa Isra Mi'raj juga semakin bertambah. Salah satunya adalah tentang perintah shalat yang sering disebut orang sebagai "oleh-oleh" dari perjalanan beliau SAW yang ternyata turunnya perintah shalat justru bukanlah beban, melainkan sebuah kabar gembira bagi umat mu'minin saat itu karena mereka bisa terhubung langsung dan berdoa kepada Allah dalam shalatnya tanpa sekat. Maasyaa Allah, semoga shalat juga bisa semenggembirakan itu ya untuk kita, sister.
Tapi, saya juga baru saja mendapat sebuah pemaknaan baru dari peristiwa Isra Mi'raj ini yang berhasil membuat diri saya merasa malu di hadapan Allah sekaligus menaruh harap dan niat agar diri ini mau dan siap untuk terus berupaya dalam sebuah perjalanan panjang menjadi seorang hamba Allah yang sebenar-benarnya. Izinkan saya bagikan untukmu juga ya, sisterku.. :)
***
"Subhaanalladzii asraa bi'abdihi.. Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya." Dalam sebuah forum kajian, QS. Al-Israa ayat pertama dibacakan.
Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan, "Ayat ini turun di tahun ke-10 atau 11 kenabian. Saat di mana Rasulullah sudah mengalami banyak hal dalam perjalanan kerasulannya; dicaci, dimaki, disebut majnun (gila), disakiti, bahkan menjadi buronan karena hendak dibunuh. Setelah Rasulullah mengalami semua itu, Allah panggil beliau dengan sebutan 'abdihi, hamba-Ku. Yuk, hamba-Ku, aku perjalankan engkau."
Saya masih terkesima dengan cerita perjuangan Rasulullah SAW sampai beliau (pemateri) melanjutkan, "Kita selama ini ngaku kalau diri kita hamba Allah, tapi sudah sejauh mana pengorbanan yang kita berikan untuk Allah sementara Rasulullah dipanggil Allah dengan sebutan hamba saat sudah mengalami semua itu? Rasanya kok malu ya ngaku-ngaku kalau kita ini hamba Allah," ujar beliau sambil tersenyum dan menatap kami. Badan saya langsung merinding ketika mendengarnya.
Saya tidak akan lupa kalimat demi kalimat itu. Lebih tepatnya, tidak ingin melupakan nasihat itu, sehingga saya tulis di sini. Ternyata, ada sebuah pesan penting yang barangkali ingin Allah sampaikan hanya dari satu kalimat "subhaanalladzii asraa bi'abdihi.." supaya kita melakukan evaluasi besar-besaran tentang bagaimana kinerja kita selama ini dalam menghamba kepada-Nya. Wallahu 'alam.
Saat ayat ini dimaknai untuk menjadi muhasabah diri, bagi saya, rasanya JLEBB banget dan pengen nangiss. Huhu. Malu banget nggak sih, menyebut diri kita ini hamba Allah tapi apakah dalam keseharian kita benar-benar menghamba kepada Allah??
Predikat 'hamba Allah' ini tentu bukan hanya sematan yang diberikan Allah untuk manusia. Bukan sekedar status yang jika kita ditanya 'kita ini siapanya Allah?' lalu otomatis dijawab 'hamba-Nya Allah', kemudian selesai. Tapi dengan disematkannya status 'hamba' ini, ada sebuah tanggungjawab yang juga mengiringi status tersebut, yakni untuk hidup dan bersikap selayaknya seorang hamba.
Apakah pantas disebut hamba jika kita masih pilih-pilih dalam menaati aturan-Nya? Apakah pantas disebut hamba jika masih berat dalam mengorbankan harta, jiwa, waktu, tenaga dan pikiran untuk melaksanakan apa-apa yang diinginkan dan disukai-Nya? Apakah pantas disebut hamba jika tak juga menjauhi dan melepaskan diri dari aktivitas yang tidak disukai-Nya? Karena semestinya seorang hamba adalah ia yang siap diatur oleh Tuhannya dan siap mengorbankan apapun untuk menjalankan tugas dari Tuhannya. Sudahkah kita benar-benar menjadi seorang hambanya Allah?
Jika saya harus menjawab pertanyaan yang terakhir itu, tentu saya akan berpikir berkali-kali untuk mengatakan 'sudah'. Dalam prakteknya, mungkin saya belum benar-benar bisa dikatakan hamba Allah. Namun, adakah status yang pantas disematkan kepada kita selain hamba Allah sementara yang mencipta dan memelihara hidup dan kehidupan kita adalah Allah?
Pada akhirnya, kita sebenarnya tidak akan bisa lepas dari status kita sebagai hamba Allah. Sebab Allah adalah satu-satunya yang menciptakan kita dan berkuasa penuh atas diri kita, maka sudah selayaknya kita tunduk dan berkorban penuh untuk-Nya.
***
Ternyata, memantaskan diri sebagai seorang hamba adalah perjalanan yang harus kita lakukan sepanjang hidup kita ya, sister. Karena itu, kesadaran akan status ini harus terus dijaga agar setiap aktivitas kita tidak melenceng dari tugas kehambaan kita kepada Allah. Sulit, iya. Berat, pasti. Tapi harus terus diupayakan.
Lalu bagaimana sebaik-baiknya cara menjadi seorang hamba? Rasulullah SAW adalah contoh terbaik. :)
Bismillah, yuk kita sama-sama terus berupaya memantaskan diri untuk menjadi sebaik-baik hamba-Nya. Barakallahu fiik, sister.
Your sister of Deen,
Husna Hanifah