Tak terasa sudah bertemu tanggal 7 lagi. Berarti sudah sebulan ayah berpulang. Campur aduk ternyata rasanya ya. Rindu, namun (alhamdulillah) masih tetap dengan perasaan lega yang sama, sebab masih segar dalam ingatan, kepergian ayah yang insya Allah husnul khatimah.
Tanpa bisa ditolak, pikiranku mengingat kembali ke tanggal 7, sebulan yang lalu. Seperti film yang sedang beralur mundur, otakku memutar kembali momen saat jasad ayah sedang dibaringkan di tengah-tengah rumah dalam kondisi tertutup kain samping, menunggu dimandikan.
Saat itu rumah duka belum begitu ramai karena jenazah ayah baru saja sampai diantar oleh mobil ambulans. Hanya ada satu orang sahabat ayah yang sedang mengaji di samping jenazah. Aku memandang jenazah yang tertutup kain itu dengan perasaan setengah tak percaya. Aku dekati jasad itu, tapi tak berani membuka kain yang menutupi wajah dan tubuhnya. Sambil berjongkok di sampingnya, aku pegang tangan ayah yang bersedekap di atas dadanya. Dingin.
Ayah, beneran udah nggak ada? Tanyaku dalam hati. Aku elus-elus tangannya yang sudah dingin itu. Mungkin nggak ya, ayah bangun lagi? Walau hati kecilku sebenarnya tahu, itu adalah kesempatan terakhirku berdekatan dengan ayah secara fisik. Pada momen itu, aku hanya bisa mendoakan ayah sambil terus kuelus tangannya. Dan tentu saja, sambil menahan air mata karena tak mau melepas ayah dengan tangis.
Lalu aku bangkit dengan niat mau bergabung dengan para perempuan yang berkumpul di ruang tamu. Namun kakiku terhenti saat melewati kaki ayah. Seketika teringat momen-momen saat aku memijat kakinya. Tidak, aku tak bisa melewatkannya. Akhirnya aku terduduk lagi di dekat jenazah ayah, kali ini di depan telapak kakinya. Aku pegang kedua kaki ayah yang tak bergerak itu. Dingin juga. Aku pijat perlahan untuk yang terakhir kalinya. Kenapa kok ayah seperti masih ada, ya? Sungguh, aku akan rindu sekali dengan raga yang jiwanya sudah berpulang ini. :'(
Rasanya aku ingin berlama-lama bersama jasad ayah yang nanti tak akan bisa kutemui lagi, tapi aku sadar kemelekatan yang terlalu erat tentu tidak sehat untuk jiwa. Akhirnya, saat sudah dirasa cukup, aku "lepas" jasad itu. Aku terima kepergiannya sambil berusaha melapangkan hati. Hak jenazah ayah pun dituntaskan dengan melakukan proses memandikan, mengafani, menyolatkan, hingga memakamkan. Ada perasaan lega saat jenazah ayah selesai dimakamkan, tunai sudah tugas kami mengantarkan ayah pulang. Bersamaan dengan itu, ada rindu yang harus kami tanggung sepulang dari pemakaman.
Sepekan pertama setelah ayah dimakamkan, rasanya aneh sekali. Ada masa-masa dimana aku bertanya dalam hati, beneran udah nggak ada ini teh ayah? Ibarat ruangan yang awalnya penuh dengan barang, lalu tiba-tiba kosong entah kemana isinya. Otakku seperti masih mencerna dan belum terbiasa dengan ketiadaan ini. Sudah terbiasa ada ayah, tapi sekarang udah nggak ada. Sudah terbiasa kalau berkunjung ke rumah mertua pasti ada ayah, tapi sekarang udah nggak ada ayah lagi di sana. Sudah terbiasa kalau mau ngontak ayah tinggal chat atau telepon, tapi sekarang udah nggak bisa lagi. Kayak lagi buffering gitu otaknya. Sedih dan bingung jadi satu.
Tapi yang lebih aneh lagi justru fase setelahnya. Setelah itu justru mikirnya jadi "Ih ini mah rasanya ayah masih ada.." Pernah ada momen aku lagi di motor mau ke rumah mertua, rasanya kayak lagi mau ketemu ayah. Kayak ayah masih ada aja gitu, lagi nungguin aku di rumahnya. Jikapun aku tak menemukan ayah di rumahnya, seperti ayah sedang pergi kerja saja. Ada "kehadiran" yang sulit dijelaskan, tapi ya rasanya kayak ayah masih ada aja.
Dan walau saat ini sudah 1 bulan ayah berpulang, ayah seperti tetap hadir. Hanya saja, kehadiran ayah ada dalam bentuk yang lain. Walau jasad ayah kini sudah kembali ke bumi, tapi ayah tetap hidup dalam obrolan-obrolan kami tentang ayah yang tak pernah habis.
Beberapa kali aku bertemu dengan teman-teman ayah, hampir selalu terselip topik tentang ayah. Begitupun obrolanku bersama bunda atau adik-adik. Ada saja obrolan tentang ayah dan segala kebaikannya. Ayah tak pernah habis dibicarakan dan selalu tersimpan di hati setiap orang yang menyayanginya. Hal ini membuatku lega karena ternyata ayah begitu berbekas di banyak hati orang yang mengenalnya.
Inilah yang membuat ayah terasa tetap ada. Kebaikannya abadi dan masih terus diperbincangkan hingga hari ini. Segala memori tentangnya masih terus dikenang hingga hari ini. Pesan dan nasihatnya masih terus diingat sampai hari ini. Jejak-jejak juangnya masih dilanjutkan hingga hari ini. Dan insya Allah, masih banyak yang mendoakan ayah hingga hari ini.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu. Semoga Allah merahmatinya, memuliakannya, melapangkan dan menerangi kuburnya.
***
Ayah, sungguh bangga kami padamu. Begitu nyata legacy yang kau tinggalkan sehingga saat kau sudah dipanggil oleh-Nya pun, kau tetap hidup, menjadi teladan dan memberi kehidupan untuk kami yang kau tinggalkan. Kalau aku punya anak nanti, aku pasti akan ceritakan tentang kakeknya. Anak-anakku harus tahu siapa kakeknya. :)
Kau ternyata selalu ada, ya, Yah. Walau begitu, aku tetap rindu.