Sang Detik
Kubertanya pada detik kesekian..
Sedang apa diriku?
Detik terdiam..
“Lihatlah dirimu sendiri!”
Coba tersenyum dan coba
lagi tersenyum
Masih kecut? Coba sekali
lagi
Tersenyum...!
Detik berikutnya berpesan
Kalau kau gagal tersenyum hari ini,
Jangan mudah menyerah!
Jangan mudah putus asa!
Detik akan tetap
menemanimu
Sampai suatu hari
Melihat engkau tersenyum
manis
Matamu berbinar, wajahmu
bercahaya
Dan menjawab,
“Hidup itu anugerah!”
- T, 2004 (dari seseorang yang kupanggil Bunda)
Akhir-akhir ini aku selalu bermimpi di pagi hari, beberapa
saat sebelum bangun tidur. Sehingga ketika aku bangun, rekaman mimpi-mimpi itu
masih teringat jelas olehku (walaupun beberapa menit kemudian lupa, haha).
Tapi pagi tadi, ada seseorang yang sangat kurindukan, hadir
dalam mimpiku. Seseorang yang kupanggil Bunda. Dia bukan ibuku, tapi kupanggil
dia Bunda karena sudah kuanggap seperti ibu keduaku, walaupun sekarang sudah
jarang sekali bertemu (ini bagian sedihnya, hiks hiks).
Lalu kenapa? Itu hanya mimpi. Oh, tidak, itu bukan mimpi
biasa. Itu mimpi yang istimewa karena di dalam mimpi itu Bunda memelukku.
Pelukan yang menenangkan tapi juga menguatkan. Kami berputar-putar pelan sambil
berpelukan, tidak peduli dengan banyaknya orang yang menonton. Dia berbisik
kepadaku. Sayangnya aku lupa apa yang dia katakan, aku hanya ingat, kata-kata
itu sangat menenangkanku, bahkan ketika aku sudah bangun.
Ah, aku jadi kangen.
Mari kuceritakan sedikit tentang siapa itu Bunda.
Dia adalah orang pertama yang menumbuhkan kedewasaanku saat
aku masih bertingkah seperti anak kecil. Waktu itu aku masih SMP, dan aku ga
ada dewasa-dewasanya, sampai aku terbiasa menyetorkan buku harianku kepadanya
dan dia membalasinya. Itu adalah awal mula kebiasaanku menulis, dan awal dari
kedewasaan yang aku bangun secara sadar.
Ngomong-ngomong soal diari, diari itu seperti cermin yang
menunjukkan secara jujur seberapa baik atau buruknya dirimu. Diari juga
menunjukkan seberapa dewasa pemikiranmu lewat kalimat dan paragraf yang kau
tulis. Itulah kenapa aku bilang menulis diari adalah awal dari kedewasaan yang
aku bangun secara sadar. Karena aku baru sadar betapa kacrutnya aku ketika aku
melihat “bayangan” diriku dalam diari. Hahaha!
Ah, aku jadi kangen menyetorkan lagi diariku kepadanya.
Diari-diari itu masih kusimpan dengan rapi. Yang kadang-kadang kubaca kalau
lagi kangen. Dan aku kangen dipanggil “kejora” olehnya. Bersinarlah seperti
bintang kejora, begitu katanya. Aku suka sekali panggilan itu.
Terakhir kali kami bertemu, tanggal 20 Juli 2011. Sudah lama
sekali ya? Setelah lama tidak bertemu, kalimat pertama yang Bunda katakan
adalah, “Masih suka nulis, Na?” Glek. Aku memang sudah lama tidak menulis lagi
sejak kuliah, paling hanya beberapa tulisan untuk blog. Gara-gara pertanyaan
itu akhirnya aku langsung beli buku harian dan mulai menulis lagi. Hari itu
juga. Haha.
Dia adalah orang yang menyuntikkan semangat optimisme di
tengah-tengah pikiranku yang saat itu (saat SMP) penuh dengan pesimisme dan hal-hal
negatif. Dia yang menyemangatiku dan mengajarkanku untuk berani ketika aku
takut melakukan sesuatu. Dia yang menumbuhkan sisi kelembutan dari diriku yang
saat itu sulit sekali mengontrol emosi. Dan masih banyak lagi jasanya untukku.
Bundaaaa kangen banget iiih.. Makasih udah mampir ke mimpi
aku dan peluk akuuu.. Semoga Bunda dan keluarga sehat-sehat semua dan selalu
dalam perlindungan Allah.. Semoga anak-anak Bunda jadi anak yang sholeh dan
sholehah.. Aamiin..
P.S : Maafkan aku karena terlalu bodoh untuk selalu
kehilangan nomor HP-mu. Huhu..