*dikutip dari Monday Love Letter #187, yang kutulis untuk Sister of Deen
Perasan saya hari ini baik, sangat merasa bersyukur dan menikmati hectic-nya hari demi hari karena ada beberapa program yang sedang dijalankan. Lelah sudah pasti, tapi entah kenapa dalam lelah itu saya merasa senang dan lega. Lelah yang bahkan tidak memberi ruang untuk mengeluh, tapi malah menghujani saya dengan syukur. Saya sering merasa takjub bahwa mixed feeling semacam itu ternyata ada. Lelaaah sekali secara fisik dan pikiran, tapi rasanya lega, senang, dan amat bersyukur. Hal ini seringkali terjadi pada saya jika sedang mengerjakan proyek kebaikan atau proyek dakwah. Intinya aktivitas yang dilakukan untuk kemaslahatan orang lain, bukan memikirkan diri sendiri. Kalau kamu, sedang merasakan apa sekarang? Boleh kalau mau cerita :)
Paragraf di atas cukup sebagai aliran rasa saja, karena sebetulnya ada hal lain yang ingin saya bahas di surat kali ini yang mungkin akan membantumu juga dalam menjalani kehidupan ini. Saya mengawali awal tahun ini dengan membaca sebuah buku berjudul Healing The Emptiness yang ditulis oleh Yasmin Mogahed. Seperti judulnya, buku ini mengajak pembacanya untuk menyadari mengapa rasa hampa di dalam jiwa bisa terjadi dan bagaimana cara mengisi ruang kosong itu. Baru membaca 2 bab saja saya sudah banyak tercerahkan oleh tulisannya. Salah satu tulisan favorit saya ada di bab 1 judulnya Purpose of Pain.
Pain is a messenger. Sebuah kalimat sederhana, namun terdengar seperti sebuah pesan penting bagi saya sehingga kalimat itu saya beri underline dan stabilo di bukunya. Analoginya, misalkan ada yang terasa sakit dari badan kita, bukankah itu adalah sebuah pesan bahwa ada yang bermasalah dari badan kita? Sakit gigi, sakit perut, sakit kepala, adalah sinyal dari tubuh untuk memberi pesan bahwa ada masalah dengan badan kita. So, yeah, pain is a messenger.
Bagaimana dengan jiwa? Kurang lebih sama. Ketika kita terlalu banyak merasa takut, cemas, gelisah, sedih, kecewa, itu adalah sinyal dari jiwa bahwa ada yang bermasalah dengan jiwa kita. Buka berarti kita tidak boleh merasa takut, cemas, dan sedih, hanya saja jika berlebihan tentu tidak baik.
Merasakan pain atau sakit tentu tidak nyaman, repot dan bikin kita uring-uringan. Tapi yang lebih repot adalah jika kita mengabaikan pain tersebut dan tidak mencarikan obatnya. Suffering is what happens when we repeatedly ignore the message of our pain, tulis Yasmin Mogahed dalam bukunya. Sebab, tidak semua luka bisa sembuh sendiri. Sebagian luka perlu segera ditangani dan diobati agar tidak semakin memburuk dan merugikan kita.
Namun, dalam menangani luka, penting sekali untuk mengetahui sumber masalahnya agar penanganannya tepat. Misalnya kita sakit gigi karena ada infeksi, tentu penanganan terbaik adalah mengobati infeksi tersebut bukan hanya sekedar memberi penahan rasa sakit. Sakitnya mungkin hilang, tapi tidak benar-benar menyembuhkan karena infeksi yang dibiarkan tentu akan terus menyebar dan semakin berbahaya.
Sama halnya dengan jiwa kita, emosi negatif yang kita rasakan sebaiknya tidak dibiarkan atau langsung didistraksi dengan hal-hal yang membuat kita senang tanpa terlebih dahulu menangkap pesan dibaliknya. Ingat, pain is a messenger. Jangan diabaikan sebelum kita menemukan sumber masalahnya.
Lalu apa obat dari hati yang kosong? Jawabannya hanya satu: kembali pada-Nya. Terkoneksi kembali dengan Allah adalah obat dari segala penderitaan. Pain and suffering is different. Kita mungkin bisa merasakan sakit, kita boleh saja diuji dengan berbagai masalah, tapi merasa menderita adalah pilihan. Semakin kita jauh dari Allah, semakin jauh pula obat dari segala kegelisahan dan kekosongan jiwa.
Sometimes when we feel empty, we don't realize that our soul is crying out. That our heart is starving for God. Instead, we look to disctract ourselves with other things, other people, other activities. - Yasmin Mogahed
Kesalahan terbesar kita adalah saat kita menganggap bahwa kita akan merasa lebih baik dengan mendistraksi atau lari dari sumber masalah. Memilih mencari hiburan dan melupakan Allah sebagai pemberi solusi sama halnya seperti meminum pereda sakit saat kita sebetulnya butuh obat untuk infeksi. Mungkin akan berhasil untuk sementara waktu, tapi kekosongan dalam jiwa kita pasti akan datang lagi dengan kondisi yang semakin menganga.
Semenjak menyadari hal ini, sudut pandang saya terhadap masalah dan ujian hidup perlahan berubah. Hidup ini memang tempatnya ujian dan terkadang kita tidak bisa menghindari pain. Kita juga tidak bisa memaksa untuk terus hidup dalam kesenangan terus menerus, karena memang tidak mungkin. Tapi kita bisa berdamai dengan keadaan saat melihat luka dan rasa sakit dari sudut pandang yang lain, yakni sebagai pembawa pesan bahwa ada yang salah dengan diri, sehingga kita bisa segera menyadari akar masalahnya dan segera mengobatinya.
Dengan ini, saya semakin yakin bahwa apapun yang datang dari Allah dan apapun yang menjadi ketetapan-Nya untuk terjadi dalam hidup kita, adalah PASTI YANG TERBAIK. Kesulitan hidup yang membuat kita kembali pada Allah merupakan anugerah. Namun kemudahan hidup yang menjadikan kita lupa pada Allah, justru adalah bencana yang sebenarnya.
Semoga kita selalu mampu menghadirkan Allah dalam keadaan apapun. Insya Allah hati akan selalu terasa penuh dan tenang senantiasa bersemayam dalam jiwa.
Your sister of Deen,
Husna Hanifah