Sejak malam pertama Ramadhan tadi, aku teringat sebuah momen bersama keluarga, saat kami menginap di sebuah villa di Bandung. Tepat setahun yang lalu, aku dan keluarga suami berkumpul 2 hari 1 malam, yang mana malam itu adalah malam pertama bulan Ramadhan. Ayah, bunda, semua anak-anak dan menantu, lengkap hadir. Bahkan saat itu anggota keluarga kami baru bertambah satu personil karena adik iparku baru saja menikah.
Selama 2 hari itu kami menghabiskan waktu dengan berenang, bermain game, masak bareng, tarawih bareng, dan di malam harinya kami melakukan sesi coaching keluarga yang dipandu oleh salah satu adik iparku, @dibawahnol.id hingga subuh. Esok paginya, kami pulang dengan hati yang penuh. Sebab telah saling islah dan saling mengapresiasi satu sama lain. Happyy dan hangat sekali. Core memory unlocked! 🔓🥰
Namun, ada satu hal yang tak pernah kami bayangkan. Tanpa kami tahu dan tanpa kami pernah menyangka, ternyata Allah telah berencana untuk mengambil salah satu dari kami di penghujung Ramadhan tahun itu. Orang itu adalah ayah kami. Allahu yarham🤲
Selama setahun ini, ada satu pesan dari almarhum ayah yang terus terngiang di pikiranku. Momen itu terjadi saat sesi coaching keluarga, di akhir sesi, saat setiap anggota keluarga diminta untuk memberi pesan untuk satu sama lain. Saat itu, aku dan suami maju ke depan, dan ayah adalah orang pertama yang memberi pesan.
Kukira ayah akan langsung bicara, tapi ayah terdiam dulu sejenak. Matanya menerawang seperti sedang mengingat sesuatu atau sedang berpikir untuk merangkai kata-kata. Na, dengar baik-baik! Ini pasti penting, bisikku pada diri sendiri. Aku bersiap mendengarkannya dengan seksama.
Lalu sambil menatap aku dan suami, ayah berkata, "Nanti di yaumil akhir, seorang syuhada bisa menyelamatkan keluarganya.."
Ayah terdiam sebelum melanjutkan. Aku semakin menyimak.
"Jadilah itu, ya, Nak." Tutupnya.
Deg. Sebuah pesan yang sangat singkat, namun aku bisa merasakan pesan dan harapan yang dalam dari cara ayah bertutur.
Saat mendengar pesan itu, aku paham bahwa menjadi syuhada yang dimaksud ayah adalah meninggal dalam keadaan sedang berjuang dan mengkaryakan diri di jalan-Nya, apapun peran dan aktivitasnya. Jujur, ini adalah pesan yang besar dan berat, namun itu juga adalah sebuah cita-cita yang sedang berusaha aku (dan pastinya keluarga kami) ikhtiarkan.
Aku bersyukur bisa mengingat dengan baik pesan ayah saat itu, karena ternyata 28 hari kemudian, ayah dipanggil pulang oleh-Nya. Sedih. Patah. Terguncang kami dibuatnya. Tapi pada akhirnya kami bisa melepasnya dengan tenang dan kelegaan yang luar biasa.
Kurasa, justru ayah yang telah mencapai kesyahidan itu lebih dulu. Sebab kami semua menjadi saksi bagaimana ayah selalu bersegera dalam menjemput amal-amal shalehnya. Selama Ramadhan hingga hari-hari terakhirnya, padat sekali ia dengan aktivitas hablumannallah dan habluminannas-nya. Semua dilakukan dengan sukacita dan dengan penuh pengharapan mencapai rahmat dan maghfirah Allah.
Tak terasa momen itu sudah setahun yang lalu. Rasa rindunya masih besar. Tangis kami pun sesekali masih ada. Tapi rasa syukur kami juga tak kalah besar. Ayah telah mengajari kami bagaimana seharusnya Ramadhan dijalani. Bahkan bukan hanya di Ramadhan, di bulan-bulan lain pun, ayah selalu menunjukkan keteladanan tentang bagaimana hidup harus dijalani. Semoga kami bisa mewarisi semangat dan jejak juangnya, serta kelak diwafatkan juga dalam keselamatan dan limpahan rahmat-Nya. Aamiin Ya Mujiib.. 🤲
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu. Al-Fatihah.
Always miss you, Yah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar