Senin, 23 Juli 2018

Monday Love Letter #1 - Deep Lesson from Prophet Ibrahim's Story

Assalamu'alaikum! Mau ada sedikit pengumuman niih.. Insya Allah blog ini akan rutin posting setiap hari Senin karena sekarang aku lagi bikin project kecil namanya Monday Love Letter. Semacam tulisan yang dibikin ala-ala kayak surat gitu deeehh.. Kalo nggak kayak surat, ya anggep aja surat lah yaa.. wkwkwk.. Yah seperti yang kita tahu, bagi sebagian orang hari Senin adalah hari yang cukup bikin mager karena harus memulai lagi aktivitas setelah kita bersantai-santai di weekend ya kann.. Haha. Semoga Monday Love Letter ini bisa melecutkan semangat di hari Senin dan bikin kita bisa memulai pekan yang produktif. Bismillah!

So, Stay tune on my blog every monday and you'll find a new post insya Allah (jamnya terserah aku weh yah, mengingat inspirasi itu kadang datengnya ga menentu haha). Thank you! 

***

Di Love Letter perdana ini ada sesuatu yang ingin aku bagi. Jadi kemarin itu ada acara Hujan Safir Sharing Session, temanya Finding the True Love sambil mengangkat dan meneladani kisahnya keluarga Nabi Ibrahim a.s. Kalau denger kata "Ibrahim", tentu kita familiar banget dong sama kejadian fenomenal dimana Nabi Ibrahim harus melaksanakan perintah Allah yaitu menyembelih Ismail, anaknya.

Yang menarik adalah, satu keluarga itu (Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail kecil) semuanya KOMPAK dan SEPAKAT untuk melaksanakan perintah Allah yang secara logika sangat nggak masuk akal itu. Perintahnya nggak main-main loh, nyembelih anak sendiri! Orangtua mana yang tega, coba? Tapi ketika Nabi Ibrahim bertanya kepada istrinya Siti Hajar dan kepada Ismail anaknya, keduanya kompak menjawab, "Jika itu adalah perintah Allah, maka lakukanlah." Fyuhh, aku nggak kebayang kalau aku ada di posisi mereka, tauhidnya udah level tinggi banget itu mah. Tidak peduli pada logika yang bisa saja berteriak betapa tidak masuk akalnya perintah itu. Pun tidak gentar oleh rasa sayang orangtua kepada anaknya, rasa cinta anak kepada orangtuanya, semuanya dikorbankan demi menaati perintah Allah.

Hingga akhirnya perintah itupun dilaksanakan dan Ismail Allah ganti dengan seekor domba yang besar sebagai tebusan. Sampai-sampai kejadian ini Allah abadikan dalam QS. 37: 102-111 dan menjadi tonggak disyariatkannya ibadah qurban. 

Kisah itu Allah ceritakan dalam al-Quran bukan sebatas sebuah dongeng belaka, melainkan untuk kita teladani. Bisakah kita seperti Nabi Ibrahim yang rela "menyembelih" kecintaan terhadap anaknya demi kecintaaan kepada Allah? Sanggupkah kita meneladani Siti Hajar yang sigap mematuhi perintah Allah dan sukses mendidik anaknya menjadi seperti itu? Sudahkah kita mencontoh Ismail yang tak gentar pada satu perintah yang bahkan bisa saja merenggut nyawanya? Masya Allah. Maka tak heran jika Nabi Ibrahim dijuluki bapak Tauhid, karena ia betul-betul sukses menanamkan ketauhidan pada diri istri dan anaknya hingga bisa melahirkan karakter yang siap berkorban apapun demi Allah. Semuanya atas izin Allah.

Luar biasa ya? Sepertinya diri ini masih harus banyak bercermin dan merefleksi diri. Kisah ini jadi contoh nyata bahwa cinta akan selalu meminta pengorbanan. Begitupun cinta kepada Allah, pasti akan Allah uji hingga terbukti bahwa memang kita hanya mencintai Allah saja. Laa ilaaha illallah. Tidak ada yang patut disembah, diibadahi, dan dicintai, kecuali Allah.

Yuk, kita sama-sama belajar mulai sekarang untuk mulai mengikis satu per satu hal-hal yang bisa menjauhkan kita dari cintanya Allah. Mungkin keegoisan kita, kesombongan kita, ambisi, rasa malas, kebergantungan kepada manusia, kecintaan berlebih kepada selain Allah, dan yang lainnya.  Pelan-pelan belajar menyembelih "ismail-ismail" yang kita cintai untuk mengejar satu-satunya cinta yang hakiki, yaitu cinta kepada Allah. Siapkan stok sabar yang banyakk :)

2 komentar: