Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!
Sejujurnya, banyak sekali bisikan-bisikan yang membuat saya tidak ingin menulis hari ini. Bahkan jika ingin beralasan, ada banyak alasan untuk tidak melanjutkan surat ini; letihnya fisik setelah bepergian seharian, flu dan sakit kepala yang tiba-tiba menyerang, asma yang sedang kambuh, hingga perasaan tidak enak karena ini sudah cukup malam untuk mengirimkan Monday Love Letter untukmu. Iya, maaf ya, jika suratnya baru sampai di malam hari begini.. Tapi rasa rindu membuat saya ingin menyapamu hari ini dan mungkin saja, kamu termasuk yang menunggu-nunggu surat ini, hehehe.. And here I am, dengan sisa-sisa tenaga, berusaha menulis untukmu, sister. Alhamdulillah, Allah yang pinjami kekuatan :)
Di bulan Juni yang bersisian dengan bulan Syawal ini, saya mendengar ada begitu banyak berita bahagia, tentang mereka-mereka yang melangsungkan pernikahan. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa bulan Syawal menjadi bulan favorit dimana banyak pasangan menjadikan Syawal sebagai sebuah awal yang baru melanjutkan hidup bersama pasangannya. Bagaimana denganmu, sudah mendapat berapa banyak undangan di bulan ini? Atau justru kamu adalah yang menyebarkan undangan atas berita pernikahanmu? Hehehe.
Banyak orang-orang terdekat saya yang menikah, walau tidak semua bisa saya hadiri lantaran berbagai protokol harus dipatuhi, salah satunya adalah tidak mengundang orang banyak-banyak. Tapi tak apa, walaupun raga tak dapat berjumpa, biarkan doa-doa yang melangit, sebab doa tak memerlukan jarak untuk sampai kepada mereka yang kita doakan.
Berita-berita bahagia ini, membuat tema pernikahan -mau tidak mau- menjadi top of mind di kepala saya. Dari mulai flashback proses-proses saya ketika akan menikah dulu hingga berbagai hikmah yang terselip dari setiap proses sebelum, saat, dan setelah menikah. Rasanya ingin senyum-senyum sendiri, setiap kali mereka-mereka yang akan menikah ini bercerita tentang berbagai kekhawatiran dan rasa deg-degannya. Hahaha..
Tapi kunci ketenangan dalam hal apapun, ternyata sama saja, yaitu dengan senantiasa menghadirkan Allah di hati kita dan di SETIAP aktivitas dan peran hidup kita. Mereka-mereka yang tetap tenang dalam proses menuju maupun setelah pernikahan, adalah mereka yang yakin kepada Allah dan menggantungkan kehidupannya kepada Allah bahwa ketetapan dari-Nya adalah yang terbaik; dari mulai kapan waktunya, dengan siapa dia menikah, tantangan yang dihadapi sebelum maupun setelah menikah, susah dan senang yang mewarnai perjalanan rumah tangganya, dan sebagainya.
Keimanan dan rasa percaya kita kepada Allah akan menghentikan laju kekhawatiran dan kecemasan kita dalam menjalani fase demi fase kehidupan. Kesadaran bahwa kita ini adalah hambanya Allah, membuat segala keputusan dan perjuangan menjadi terbingkai dengan niat untuk ibadah kepada-Nya.
Sulit menjadi istri yang taat, ikhlas, serta menurunkan ego jika niat ibadah kepada-Nya tidak menjadi landasan dalam menjalani peran tersebut. Sebaliknya, jika kita memiliki niat yang kuat untuk mengejar ridha-Nya, niat ini akan menjadi energi yang sangat besar untuk membuat seseorang yang pada awalnya jauh dari kata pantas untuk menjadi seorang istri, menjadi mau dan bersedia untuk terus belajar dan memperbaiki diri dalam menjalani peran mulianya itu.
Pada akhirnya, hidup ini adalah tentang bagaimana membuat Allah suka, senang dan ridha terhadap kita. Dalam peran sebagai anak, cara kita membuat Allah senang adalah dengan berbakti pada orangtua karena Allah yang menyuruh kita begitu. Dalam peran sebagai istri, cara kita membuat Allah ridha adalah dengan taat pada suami (selama tidak bertentangan dengan perintah-Nya), melayaninya dengan setulus hati, dan terus berupaya agar menjadi istri yang dia ridhai. Dalam peran sebagai ibu, cara kita membuat Allah cinta adalah dengan menjadi sebaik-baik madrasah pertama yang menjaga kefitrahan anak-anaknya, menghantarkan anak-anak menjadi sebaik-baik pejuang di mata Allah dan Rasul-Nya.
Kesemuanya itu, memerlukan energi yang sangat besar agar kita bisa mencapainya. Dan cara mengisi energi dan daya untuk perjuangan itu adalah dengan terus menerus mengecek dan memperbaharui niat kita, apakah masih kita melakukannya karena dan untuk Allah?
Semoga niat kita untuk beribadah kepada-Nya dan untuk menjadi hamba yang diridhai-Nya, selalu bersemayam dalam hati dan jiwa. Agar tak sibuk khawatir dengan berbagai 'bagaimana jika?' yang kita cemaskan dan tak sibuk berprasangka ini dan itu yang membuat kita meragukan kebaikan-kebaikan yang akan Allah hadiahkan.
Yuk kita menyelam ke dasar hati, barangkali ada niat selain-Nya yang harus kita bersihkan dan kita tata ulang. Selamat berkontemplasi, sister.
Your sister of Deen,
Husna Hanifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar