Senin, 31 Agustus 2020

Monday Love Letter #96: Menjadi Diri yang Merdeka

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Bagaimana hari Seninmu? Menyenangkan atau menyebalkan? Apapun itu, semoga kita bisa menutup hari ini dengan hati dan jiwa yang tenang, terlelap dalam keadaan sedang memeluk syukur. Iya, sudah bersyukur kan hari ini? Dengan bersyukur dan menghitung-hitung nikmat dari-Nya hari ini, segala lelah, kesal bahkan sesal, insya Allah akan luruh dengan sendirinya. Luangkan waktu untuk banyak-banyak bersyukur sebelum tidur, ya!

Dalam 2 hari ini, kata merdeka terus menerus hinggap di kepala saya. Tidak hanya karena momen 17 Agustusan atau karena postingan orang-orang yang saat ini banyak sekali meneriakkan slogan "Merdeka!", tapi momen ini menjadi bahan saya bermuhasabah, merefleksi kembali tentang arti merdeka dan merdeka seperti apa yang seharusnya saya pahami dan jalani.

Merdeka seringkali disandingkan dengan kata "bebas". Bebas dari sesuatu yang mengikat, bebas dari keterjajahan. Tapi bebas yang seperti apa? Apakah jika kita bebas melakukan apa yang kita mau, bahkan hingga menabrak nilai dan norma, itu juga dikatakan merdeka? Ternyata jika kita renungi lebih dalam lagi, kebebasan yang benar-benar bebas itu tidak ada. Kita, manusia, butuh keteraturan. Kita butuh untuk diatur, kita butuh batas-batas yang sebenarnya fungsi batas itu bukan untuk mengekang, tapi menyelamatkan kita.

Seperti bagaimana Allah menciptakan segala ciptaannya dengan segala keteraturan yang sempurna. Bumi menjadi sebegini indahnya tidak lain adalah karena seperangkat aturan yang sudah dirancang oleh-Nya. Matahari yang terbit dan terbenam, awan yang menurunkan hujan, daun-daun yang berfotosintesis, komposisi lautan dan daratan yang seimbang, juga berbagai jenis hewan yang tinggal dan berperan penting dalam keseimbangan alam.

Jangankan bumi, tubuh kita sendiri saja terdiri dari seperangkat "aturan" yang jika salah satu bagiannya tidak berjalan sebagaimana mestinya, sakitlah tubuh kita. Ada sistem pernapasan, sistem pencernaan, alur mengalirnya darah, degup jantung, hela nafas, kedipan mata yang telah diatur-Nya sedemikian rupa sehingga bagian-bagian tubuh kita bisa berfungsi dengan baik dan sehat.

Faktanya, kita tak pernah bisa lepas dari segala keteraturan itu. Termasuk juga (seharusnya) kita tak lepas dari bagaimana Allah mengatur diri dan kehidupan kita. Seperti segala ciptaan-Nya yang tunduk dalam aturan yang dibuat oleh-Nya, kita sebagai manusia juga seharusnya tunduk pada apa yang menjadi aturan-Nya.

Namun, saya pribadi, terkadang masih merasa bahwa aturan-aturan dari Allah terhadap hidup saya, terasa mengekang dan memberatkan sehingga terkesan "tidak bisa bebas" dalam menjalani hidup. Tanpa sadar, terbersit rasa ingin bebas, yang sebenarnya jika digali lebih dalam lagi, rasa ingin bebas itu berujung pada: keinginan untuk bebas dari aturan Allah. DEG. Astaghfirullah.. :(

Memang inilah ujian terberat manusia. Manusia diberi keleluasaan oleh Allah untuk memilih, apakah ia akan hidup dengan caranya sendiri atau dengan caranya Allah? Apakah hidup dengan menuruti keinginannya sendiri atau hidup menuruti kehendak Allah terhadap dirinya? Apakah hidup memakai aturan yang dibuatnya sendiri atau hidup dengan aturan dari Allah? Kedua pilihan ini rasanya seperti magnet yang terus menarik kita dari dua arah yang berlawanan. Hanya jiwa yang merunduk yang bisa dengan mudah menuju Allah dan lepas dari jeratan hawa nafsunya.

Apakah kita masih sering merasa terbebani dengan aturan-aturan dari-Nya? Apakah keikhlasan dalam beribadah selalu menjadi PR yang tak pernah selesai? Apakah kita masih terus saja terjerumus pada kesalahan yang itu-itu lagi? Apakah kita masih merasa kesulitan menyelaraskan ilmu yang kita tahu dengan amal yang seharusnya kita lakukan? Jika kebanyakan jawabannya adalah ya, alih-alih menjadi diri yang merdeka, itu adalah pertanda bahwa kita masih menjadi diri yang terjajah. Terjajah oleh kesombongan kita sendiri, oleh hawa nafsu kita, oleh cinta kepada dunia, oleh kebergantungan kepada selain Allah.

Mungkin ketika kita bisa terlepas dari aturan Allah, kita merasa menjadi jiwa yang bebas, sebab bisa menjalani hidup sebagaimana maunya kita. Tapi, setidaknya sejauh yang pernah saya alami, kita tak akan pernah menemukan jiwa yang tenteram. Hidup akan dirundung kegelisahan yang tak ada habisnya, dipenuhi oleh rasa hampa yang tak juga mereda. Mengapa bisa begitu? Sebab kita menyalahi apa yang menjadi kodrat kita yaitu sebagai hamba dan ciptaan-Nya Allah, menyalahi apa yang menjadi kecenderungan alami jiwa kita yaitu beribadah dan tunduk kepada Allah.

Menjadi merdeka adalah tentang melepaskan diri kita dari keterjajahan kecenderungan diri kepada selain Allah serta MENYERAH dan BERSERAH sepenuhnya kepada Allah, maka kita akan menemukan jiwa yang BEBAS, yang penuh dengan rasa tenteram sebab berhasil mengikatkan dan menggantungkan diri kepada yang seharusnya, Allah.

Allah menetapkan aturan-aturan, memberikan batasan-batasan, semata-mata bukan untuk mengekang kita. Allah justru ingin membebaskan kita dari kebergantungan kita kepada diri sendiri dan kepada selain-Nya. Definisi bebas yang sesungguhnya ialah bebas dari hal-hal yang menghalangi kita dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah. Berada dalam kepengaturan Allah, adalah merdeka yang sesungguhnya.

Jadi, sudahkah diri kita merdeka?


Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar