Assalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabarmu sister? Semoga selalu dalam keadaan
sehat dan penuh rasa syukur atas segala takdir yang Allah tetapkan untuk
hidupmu. Aamiin. Sebelumnya, MLL kali ini akan lebih personal karena
sebagiannya adalah curhat, hehe. Tapi semoga tetap ada hikmah yang bisa diambil
ya. Here we go!
Dari
Monday Love Letter #16 Senin lalu yang judulnya Memberi Apapun Yang Bisa
Diberi, saya menerima sebuah balasan email yang berisi pertanyaan, "Kak,
pernah nggak merasa hidup terasa begitu berantakan dan bingung mau mulai
darimana merapikannya?" Sewaktu membacanya saya hanya tertawa dan rasanya
ingin teriak, "Pernah banget! Itu aku banget!" Hahaha..
Jadi
selama sebulan terakhir ini otak kayaknya overload banget, rungsing melulu.
Sampai curhat sama partnerku dan minta time-out ngerjain Sister of Deen Project
untuk "membereskan" kehidupanku. Udah nggak fokus banget soalnya!
Akhirnya
kami sepakat untuk take-time selama seminggu supaya fokus sama kehidupan
masing-masing dan nggak bahas project ini dulu. Saya saat itu tentu saja merasa
lega karena untuk sementara bisa melepas beban pikiran untuk project ini
setidaknya selama seminggu. Esoknya, saya langsung merencanakan hal-hal apa
saja yang akan dilakukan selama seminggu ke depan dalam rangka
"beberes" ini dan menyelesaikan PR-PR yang kebanyakan belum selesai
karena saya menunda pengerjaannya (menunda itu emang musuh banget ya bagi
produktivitas, grrr).
Rencananya, selama
seminggu itu saya ingin banyak di rumah saja, kan namanya juga me-time.
Banyakin baca buku dan kontemplasi aja lah sama ngerjain kerjaan-kerjaan yang
belum beres. Kecuali untuk jadwal-jadwal tertentu yang mengharuskan saya keluar
rumah, tidak saya skip.
Tapiiiii Allah
sepertinya memang punya cara sendiri untuk mendidik hamba-Nya ini. Bayangan
saya untuk bisa sedikit santai di rumah kandas sudah karena yang terjadi justru
malah kebalikannya. Adaaa saja kejadian dan agenda mendadak yang membuat saya
harus keluar rumah, bahkan pulang malam. Tapi karena saya sudah berkomitmen
untuk "beberes", saya tetap mengerjakan PR-PR saya sesuai dengan yang
direncanakan walaupun konsekuensinya saya harus tidur lebih malam.
Terus begitu selama
seminggu hingga rasanya ingin protes ke Allah, "Ya Allah, terus kalau
begini terus kapan istirahatnya? Mau membereskan hidup kok malah dikasih sibuk
sih?" Tapi lagi-lagi karena saya sudah berkomitmen pada diri sendiri, rasa
lelah itu tetap saya telan dan saya tetap berusaha mengerjakan apa yang harus
saya kerjakan.
Di sela-sela
kontemplasi, saya membuat satu kesimpulan. Saya curiga, jangan-jangan pekerjaan
saya sebenarnya memang sebanyak ini. Jangan-jangan yang Allah amanahkan kepada
saya memang seberat ini. Masalahnya bukan terletak pada pekerjaannya yang
banyak, melainkan pada diri saya sendiri yang tidak meluaskan penerimaan
terhadap setiap amanah yang datang dari-Nya. Masalahnya ada pada diri saya
sendiri yang malah meminta-Nya untuk mengurangi masalah saya padahal kadar
masalah saya memang segitu kata Allah. Tidak bisa dikurangi karena memang
jatahnya segitu! DEG.
Kalau flashback ke
waktu kita kecil dulu, masalah kita sebesar apa sih? Paling cuma rebutan permen
sama adik. Masuk sekolah, apa yang digalauin? Paling karena nilai jelek atau
karena takut gak punya temen. Menjelang lulus kuliah, yang dipusingkan beda lagi.
Apalagi kalau sudah menikah dan jadi orangtua, lebih kompleks lagi masalah yang
dihadapi. See? Kita tidak akan mendapat masalah yang sama di setiap fase, dan
kadarnya memang akan selalu meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan
kematangan berpikir kita.
Jadi jika masalah
kita semakin banyak dan ujian yang kita hadapi semakin berat, wajar saja.
Karena kita sudah dewasa! Ujian orang dewasa tentu berbeda dengan anak TK.
Masalahnya orang dewasa tentu berbeda dengan anak SMA yang baru lulus kemarin
sore. Masa mau minta masalah kita disamain lagi sama anak TK? #jlebjlebjleb
Duuh
saya jadi malu sama Allah. Padahal Allah ingin meningkatkan kapasitas hidup
saya dengan berbagai ujian, tapi bukannya dihadapi, malah minta dikurangi.
Bukannya diterima, malah diratapi. Alhamdulillah, ternyata Allah masih sayang
dan masih memberi kesempatan agar diri yang hina ini bisa berproses menjadi
mulia. Kini, bukan lagi kemudahan yang diminta, tapi penerimaan atas setiap
takdir-Nya, pundak yang kuat untuk mengemban amanah-amanah-Nya, serta
keberanian dan keteguhan hati untuk tetap istiqomah mengupayakan apa-apa yang
disukai-Nya dan segala yang mengundang ridho-Nya.
Semoga hati kita
semakin lapang menerima segala ketentuan-Nya, semoga seiring dengan
bertambahnya beban dan tanggungjawab hidup kita, bertambah juga keimanan kita
kepada-Nya dan bertambah sayang pula Allah kepada kita. Selamat menjadi orang
dewasa! :)
allah sayang dengan umatnya, apa yang dilihat kita baik, belum tentu baik dihadapan rabb. begitu juga sebaliknya.
BalasHapus