Senin, 14 Januari 2019

Monday Love Letter #24 - Bangun, Wahai Jiwa!


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Alhamdulillah sudah hari Senin lagi! Bagaimana kabarmu sepekan kemarin, sister? Saya cukup kaget karena ternyata hari ini adalah tanggal 14 Januari, berarti sudah hampir setengah bulan terlalui di tahun 2019 ini. Rasanya waktu berjalan begitu cepat sekali.

Sepekan ke belakang, saya merasa hidup saya seperti menjalani rutinitas biasa. Seperti ada energi yang tertahan sehingga menjalani aktivitas sehari-hari dengan biasa saja. Dibilang bersemangat, tidak. Dibilang tidak bersemangat, juga tidak. Tidak nyaman sebenarnya, karena saya merasa seperti sedang kehilangan diri sendiri. Merasa asing dengan diri sendiri. Apakah kamu pernah merasakannya juga?

Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan. Sambil tetap beraktivitas seperti biasa, saya berusaha meningkatkan kepekaan hati pada setiap aktivitas saya. Baik itu di urusan rumah tangga, di pekerjaan, di setiap pertemuan dengan orang lain, di setiap ibadah ritual saya, juga di setiap kejadian yang Allah hadirkan dengan harapan semoga Allah menyelipkan hikmah dan jawaban atas keresahan yang sedang saya alami. Apakah kemudian saya berhasil menemukan kembali diri saya? Ternyata tidak semudah itu. Sepertinya Allah masih merahasiakan hikmah yang ingin Dia berikan kepada saya.

Lalu di suatu kesempatan, Allah mengingatkan saya dengan cara-Nya. Weekend kemarin saya berkesempatan mengikuti sebuah kegiatan 2 hari 1 malam dimana ada momen api unggun di malam harinya. Saya mendengarkan ungkapan dari teman-teman saya satu per satu sambil menatap kobaran api di depan saya dengan agak sedikit melamun. Hingga saya mendengar salah seorang teman berkata, "Kita bisa jadikan momen ini sebagai momen pengingat bagi kita. Kalau kita masuk neraka, ya hanya ada api yang panas seperti di depan kita. Tidak akan ada udara dingin, hanya ada api yang panas, dan kita harus menjalaninya tanpa akhir," kurang lebih begitu yang dikatakannya. Kemudian pikiran saya jadi melayang memikirkan betapa pilunya kehidupan saya jika harus berakhir di neraka. A'udzubillahi min dzalik..

Momen api unggun itu kemudian ditutup oleh doa bersama. Dari sekian doa yang dipintakan, ada satu doa yang membuat saya tercekat, "Semoga Engkau memampukan kami agar bisa mempertanggungjawabkan amanah kami kelak di hadapan-Mu Ya Allah.." JLEBB tiba-tiba saja hati saya seperti ditusuk anak panah. Refleks, saya mengingatkan diri sendiri, "Tuh, denger! Bangun, wahai jiwa! Bagaimana kamu akan mempertanggungjawabkan hidupmu kelak di hadapan Allah?! Bagaimana kamu akan berbicara di mahkamah agung pengadilan Allah kelak di akhirat jika hidupmu seperti ini?!"

Rasanya lutut saya langsung lemas. Teringat bahwa diri ini adalah milik-Nya dan kelak akan kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan hidup selama di dunia. Bagi manusia yang yakin akan adanya hari akhir dan paham rute perjalanan hidupnya, tentu tahu bahwa akan datang kepadanya suatu masa dimana ruh yang sudah berpisah dari jasad dibawa ke hadapan Allah untuk diadili tentang banyak perkara dalam hidupnya.

Nabi SAW bersabda, "Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat sehingga ia ditanya tentang lima hal; tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari (ilmu) yang ia ketahui." (HR. At-Tirmdzi)

Malam itu, menjadi peringatan yang telak untuk saya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kelak saya akan menjawab segala pertanyaan dari Allah tentang penggunaan harta, ilmu, waktu luang, waktu sehat, usia, masa muda dan seluruh kehidupan saya jika tidak digunakan dalam rangka memenuhi keinginan Allah terhadap diri saya. Sejatinya semua milik Allah, manusia hanya dititipi. Termasuk jasad dan hidup kita, juga adalah titipan-Nya untuk dipergunakan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Dan setiap titipan, kelak akan Allah tanya, digunakan untuk apa?

Guru saya pernah berkata bahwa arti dasar dari kata taqwa adalah takut. Dan sebutan muttaqin (orang yang bertaqwa) adalah sebaik-baik gelar dari Allah untuk manusia. Semuanya berasal dari rasa takut. Takut mengkhianati titipan Allah kepada dirinya.

Dititipi harta oleh Allah, takut dibelanjakan selain untuk keperluan ibadah dan berjuang di jalan Allah. Dititipi kemampuan dan kesehatan, takut dipergunakan selain untuk kepentingan ibadah dan dakwah. Dititipi masa muda dan waktu luang, takut dipergunakan selain untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat dan disukai-Nya. Dititipi usia dan kesempatan hidup di dunia, takut dipergunakan selain untuk mengabdi kepada Allah dan memberikan persembahan dan karya yang terbaik untuk-Nya. Ternyata, kehidupan yang mulia dan kepulangan yang selamat dimulai dari rasa takut. Takut mengkhianati amanah dan titipan-Nya.

Fyuuuhh menulis paragraf di atas saya langsung menghela nafas panjang dan merefleksi diri, "Dimana rasa takutmu kepada Allah, Na?" Sudah siap jika disuruh menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Allah atas segala hal yang Allah titipkan padamu? Sudah siap jika diminta mempertanggungjawabkan kesempatan hidup di dunia yang diberikan oleh-Nya? Bangun, wahai jiwa! Persiapkan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) terbaik untuk dibawa ke hadapan Allah. Sungguh, waktumu tidak banyak..

Terima kasih sister, sudah membaca curhatan saya yang panjang ini. Semoga bisa memberikan hikmah yang besar juga untukmu ya. Pada akhirnya, kita memang tidak punya pilihan selain totalitas mengabdi pada-Nya dan berjuang mati-matian menjalankan amanah tujuan penciptaan kita. Semoga Allah senantiasa menjaga iman kita, menjaga keistiqomahan kita dan memampukan kita agar bisa mempertanggungjawabkan setiap amanah yang Ia titipkan kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar