Senin, 07 Januari 2019

Monday Love Letter #23 - Sebuah Jeda Untuk Diri Sendiri

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Bagaimana kabarmu sister? Sejujurnya saat ini saya sedang tidak baik-baik saja. Saat ini rasanya bukan saat yang tepat bagi saya untuk menulis surat untukmu, karena sayapun sebenarnya sedang perlu inspirasi, perlu bahu untuk bersandar, perlu dikuatkan. Tapi terkadang keimanan menuntut kita untuk mengorbankan perasaan, sebab mengajak orang-orang pada kebaikan bukan berarti dirinya sudah sepenuhnya baik. Menjadi da'i bukan berarti telah menjadi yang paling sholeh. Maka saya putuskan untuk tetap menulis, walaupun dengan segala kekurangan yang ada pada diri.

Sedikit bercerita, saya dulu pernah mempunyai masalah dengan kepercayaan diri. Saat di sekolah, saya adalah anak yang pemalu, kurang bisa bergaul, tidak berani mengutarakan pendapat atau mengajukan pertanyaan di depan banyak orang. Bahkan, saya pernah menangis di depan kelas ketika disuruh membaca puisi. Bertahun-tahun seperti itu, bertahun-tahun pula saya membenci diri saya sendiri. "Bodoh kamu Na, gitu aja nggak bisa." "Kenapa sih harus nangis? Emang nggak bisa ditahan ya air matanya?!" Saya sering sekali merutuki diri saya sendiri, melampiaskan kekecewaan saya kepada diri sendiri.

Di hadapan orang lain, saya merasa bukanlah apa-apa. Saya selalu merasa kalah dari mereka yang jauh lebih pintar dari saya sehingga saya tidak memiliki keberanian untuk mencoba lebih jauh. Pikir saya, saya pasti tidak akan bisa menjadi sebaik mereka. Mungkin banyak yang tak menyangka, tapi itulah kenyataannya.

Tapi dibanding rasa tidak percaya diri di depan orang lain, tidak ada yang lebih buruk dibanding rasa tidak percaya diri di hadapan Allah. Saya sering sekali merasa diri ini hina dan penuh dosa sehingga tidak mungkin punya kesempatan untuk bertaubat. Saya sering sekali merasa amal sholeh yang saya lakukan tidak bisa menutupi dosa yang kemarin-kemarin, lalu berputus asa dengan dalih kepalang tanggung. Tanggung sekalian jelek aja maksudnya. Astaghfirullah.

Kini, semuanya sudah jauh lebih baik. Saya mulai bisa menerima diri sendiri, saya mulai percaya bahwa diri saya memiliki berlian diri yang tidak orang lain miliki. Saya jadi lebih berani "keluar kandang" untuk mengaktualisasikan potensi dan percaya pada kelebihan yang saya miliki. Saya menjadi lebih bisa bersyukur.

Namun, sekeras apapun saya melatih diri ternyata perasaan inferior itu tidak hilang sepenuhnya, menyisakan residu yang masih sesekali muncul. Seperti hari ini, dimana saya sedang merasa kecewa terhadap diri sendiri. Lagi-lagi, saya menyalahkan diri saya sendiri, lalu berakhir dengan perasaan putus asa. Jika tubuh saya bisa dibagi dua, ingin rasanya berdiri di hadapan diri sendiri dan menampar-nampar pipi saya sendiri sambil berteriak,"Sadar, hei!"

Di saat seperti ini, rasanya lebih enak jika saya menghilang saja meninggalkan tanggungjawab. Rasanya ingin menyewa orang saja untuk menyelesaikan masalah. Tapi sayangnya cara Allah mendidik tidak begitu. Jika Allah memberi ujian, berarti Allah sedang memproses kita untuk naik kelas. Jika Allah memberi amanah yang lebih besar berarti Dia sedang memproses kita untuk menjadi mulia. Jika Allah memberi beban yang lebih berat berarti Dia mempercayai kita untuk memikulnya. Berhusnudzon kepada Allah selalu menjadi penyelamat saya.

Pagi tadi, saya membaca 3 ayat yang sepertinya Allah memberikan kisi-kisi yang begitu jelas kepada hamba-Nya yang sedang dzalim pada dirinya seperti saya ini.
 
Katakanlah, "Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong.

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu (Al-Quran) dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu secara mendadak, sedang kamu tidak menyadarinya. 

QS. Az-Zumar (39) : 53-55)

Pertama, jangan berputus asa dari rahmat Allah. Selama masih ada waktu dan kehidupan, maka masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Kedua, kembali kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya. Jadilah sebaik-baik hamba yang hanya fokus pada Tuhannya. Ketiga, buktikan berserahnya diri kita dengan mengikuti Al-Quran. Laksanakan perintah-Nya dan jauhi segala hal yang membuat-Nya murka. Sederhana, asalkan kita mau. Selama orientasi hidup kita adalah Allah, insya Allah selalu ada jalan bagi mereka yang ingin terus mengadakan perbaikan. Semoga Allah mampukan kita untuk terus istiqomah di jalan-Nya.

Yah, jadi curhat panjang nih saya, surat ini lebih cocok ditujukan untuk diri saya sendiri sih sepertinya, hehe. Memang ya, jalan menuju Allah itu mendaki lagi sukar. Dan tidak ada yang bisa membuat kita sampai selain ketersediaan iman. Percaya bahwa janji Allah itu benar. Jika mulai merasa lelah, cek ketersediaan iman kita, jangan-jangan sudah di bawah batas aman. Istirahat boleh, asalkan setelahnya lanjutkan mendaki. Oh ya, satu lagi. Jangan sendirian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar