Senin, 11 Februari 2019

Monday Love Letter #28 - Produktif dengan Basmalah dan Hamdalah


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Apa kabar sisterkuu? Alhamdulillah masih Allah beri kesempatan untuk bisa berbagi di setiap Senin sore (walaupun kadang-kadang malam, hehe). Hmm, sebetulnya saat ini saya belum tahu mau menulis apa. Jadi kita biarkan saja ya, kemana arah jari-jari ini akan mengalir dan merangkai kalimat. Saya akan mencoba untuk mengetik tanpa berhenti. Mungkin nanti sebagiannya akan menjadi curhat dan nasihat pribadi untuk diri saya sendiri. Semoga kamu tidak keberatan untuk membacanya ya. Hehe. Here we go!

Sebelum menulis surat ini, saya baru saja chatting via whatsapp dengan sahabat dekat saya. Saya bilang kepada dia bahwa saya sedang jangar. Jangar biasanya digunakan dalam bahasa sunda yang berarti pusing sekali. Bukan pusing karena sakit kepala, tapi karena terlalu banyak yang dipikirkan. Ya gitu deh, intinya saya lagi jangar. Lalu sahabat saya itu membalas, "kenapa?"

Membalas chat itu, saya perlu berpikir beberapa saat. Menjawab pertanyaan "kenapa?" membuat saya harus fokus kepada diri sendiri dan menggali ke dalam hati tentang apa yang sebenarnya sedang saya rasakan. Di titik ini saya tersadar bahwa ternyata saya selama ini terlalu fokus pada kepenatan pikiran yang terjadi sehingga diri tidak memiliki waktu dan ruang untuk bertanya kepada hati.

Setelah menjelajah ke dalam diri, setidaknya ada 2 hal yang sedang saya rasakan. Pertama, saya merasa lelah. Saya merasa pekerjaan rasanya tidak habis-habis, tapi dalam kesibukan itu, saya juga tidak bisa mengatakan bahwa diri saya produktif. Bagi saya, sibuk yang produktif adalah ketika kesibukan itu menimbulkan perasaan puas dan bangga pada diri sendiri. Jika yang didapat hanya lelah semata, mungkin ada yang salah. Kedua, masih karena kesibukan itu, saya sedang merasa insecure atau khawatir bahwa apa-apa yang saya lakukan ternyata tidak bernilai di hadapan Allah. Saya khawatir waktu, tenaga, bahkan materi yang dikeluarkan tidak ada artinya di hadapan Allah. Bukankah kita sendiri tidak akan suka jika segala upaya dan jerih payah kita dinilai sia-sia? :')

Di titik ini, saya merasa perlu untuk menyepi. Ibarat sedang mengendarai mobil, mungkin kini saya sedang berada di pinggir jalan dan melakukan monolog dengan diri sendiri, "Sebentar.. Sebentar.. Ini kok kamu kayak buang-buang tenaga dan buang-buang waktu doang ya, Na? Jadi sebenarnya kamu tuh mau kemana sih… Sok tentuin dulu yang jelas. Kita nggak akan lanjut nih kalau belum jelas." Fyuuuh.. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan aktivitas saya. Aktivitas saya selama sepekan tetap seperti biasa dan saya pernah berada di fase menikmati semua kegiatan saya. Saya pernah berada di fase antusias dan bersemangat dalam menjalani pekerjaan saya. Saya juga pernah merasakan kepuasan ketika saya berhasil membereskan satu demi satu pekerjaan dan serentetan to do list saya.

Letak kesalahan saya, bisa jadi karena saya tidak secara rutin memperbaiki niat secara berkala. Sebuah aktivitas, kegiatan, pekerjaan, project, atau apapunlah itu namanya, ketika pertama kali dilakukan adalah hal yang normal jika kita mengerjakannya dengan antusias. Diterima kerja untuk pertama kali, rasanya senang dan antusias. Mendapat penghargaan pertama kali, antusias. Ada tawaran project dengan keuntungan besar, antusias. Baru menikah di hari pertama, masih antusias. Namun jika hal yang sama diulang terus-menerus, dijalani terus-menerus, lama-kelamaan akan menjadi sebuah rutinitas. 

Sebuah rutinitas, rentan sekali kehilangan "nyawa" jika telah dilakukan dalam waktu yang lama. Bekerja akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang tidak dimaknai. Kuliah menjadi kebiasaan yang akhirnya bukan lagi fokus pada kebutuhan ilmunya, melainkan agar cepat lulus. Dan aktivitas lainnya yang secara perlahan kehilangan maknanya. Aktivitasnya tetaplah sama, tapi niatnya yang mungkin sudah tidak sekuat dulu, atau bahkan sudah melenceng.

Ternyata, memperbaiki dan memperbaharui niat itu amat sangat penting. Sebab, niatlah yang menjadi "nyawa" dari setiap aktivitas kita. Niatlah yang mentenagai kita untuk istiqomah. Niat juga yang membuat kesibukan kita menjadi bernilai. Ketika kita meniatkan melakukan sesuatu karena Allah, semangat dan rasa antusias itu tidak akan hilang selama apapun kita menjalani rutinitas. Ketika niat kita untuk mencari ridho Allah, sesibuk dan selelah apapun kita hari itu, senyum kita akan merekah dan hati akan merasa puas.

Kesuksesan kecil versi saya adalah ketika saya bisa memulai hari dengan basmalah dan menutup hari dengan hamdalah. Artinya, saya memulai hari saya dengan niat karena Allah, kemudian menjalani hari dengan membawa spirit bismillah itu di setiap aktivitas. Hasilnya, di akhir hari rasanyaa plooong banget. Rasanya hati ini puas sekali. Walaupun misalkan seharian itu saya sibuk pergi pagi pulang malam, tapi karena dikerangkai niat yang benar, walaupun fisiknya lelah, tapi hatinya bahagiaaa sekali. Kebahagiaan dan kepuasaan itulah yang membuat saya mengakhiri hari dengan mengucap alhamdulillah sebagai bentuk terima kasih saya kepada Allah. Saya merasa dijaga dan ditolong Allah selama seharian itu.

Tapi percayalah, walaupun rumus sukses harian itu terdengar sederhana, hanya dengan memulai dengan basmalah dan mengakhiri dengan hamdalah, pada prakteknya ternyata tidak semudah itu. Terkadang saya juga sering lupa bahwa diri ini milik Allah. Terkadang saya masih sering memaksakan kehendak diri. Terkadang lisan mengatakan bismillah tapi hanya sampai di ujung lidah saja, tidak sampai termaknai ke dalam hati. Astaghfirullah.. Semoga Allah mengampuni setiap kekhilafan.

Alhamdulillah, sekian dulu ya. Terima kasih sudah menemani saya menumpahkan isi pikiran sambil mengevaluasi diri. Ternyata sepenting itu peran niat dalam kehidupan sehari-hari. Semoga besok-besok tidak lupa lagi untuk selalu memperbaharui niat karena Allah. Doakan saya ya, sister! Semoga ada hikmah yang bisa dipetik dari suratku ini. Sampai bertemu di Senin berikutnya! Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar