Senin, 15 April 2019

Monday Love Letter #37 - Mendeteksi Kebahagiaan

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Apa kabarnyaa sisterkuu? Kok saya kangen ya rasanya, nulis Monday Love Letter. Padahal kan jeda waktunya sama aja, dari Senin ke Senin. Hahaha. Mungkin karena sepekan kemarin saya menghadapi hari-hari yang lumayan hectic jadi waktu terasa lamaaa sekali berlalunya :')

By the way, Ramadhan makin dekat ya, kerasa makin deg-degan nggak? Takut siap-siapnya kurang, tapi juga berharaaap sekali usia bisa sampai di bulan Ramadhan. Allahumma ballighna Ramadhan, Ya Rabbana.. Semoga kita bisa bertemu Ramadhan lagi ya tahun ini, tentunya dengan persiapan yang lebih baik dan komitmen yang lebih kuat. Aamiin.

Sebelumnya maafkan suratnya datang malam-malam begini, semoga sambil beristirahat, surat ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama ya.. Saya cukup lama mengendapkan tulisan ini di-draft, mengetiknya pun hampir seharian. Jadi bacanya pelan-pelan aja ya sambil diresapi :)

My sister, pernah nggak mendengar, katanya manusia itu hidup untuk mencari bahagia. Bahkan ada teori, jika seseorang ditanya alasan mengapa dia melakukan sesuatu, alasan paling akhir adalah agar bahagia. Saya pernah mendengar seseorang ditanya tentang alasan mengapa dia datang ke sebuah kelas menulis. Percakapannya kurang lebih seperti ini;

"Kenapa kamu datang kesini?"
"Mau belajar nulis"

"Kenapa mau belajar nulis?"
"Karena mau jadi penulis."

"Kenapa kamu mau jadi penulis?"
"Karena saya suka menulis."

"Kenapa suka menulis?"
"Hmm, kalau saya sih nulis biar nggak stress. Biar lega, bisa membebaskan pikiran dan perasaan."

"Kenapa kamu harus merasa lega? Kenapa nggak mau stress?"
"Simpel saja, karena saya mau bahagia."

Ternyata, dari hal kecil untuk menemukan alasan dibalik mengapa seseorang hadir ke sebuah kelas menulis, alasan paling akhirnya adalah agar bahagia.

Contoh lain, saya pernah menghadiri sebuah sharing kecil-kecilan bersama teman-teman pengurus mesjid waktu saya kuliah dulu. Waktu itu pembicaranya membahas tentang pentingnya membuat tujuan. Dia memulai sharingnya dengan satu pertanyaan; "Kita kan mau bahas tentang pentingnya tujuan nih, emang kenapa sih kita harus menentukan tujuan?"
"Supaya hidup kita terarah," jawab salah seorang teman.
"Kenapa hidup kita harus terarah?"
"Ya supaya jelas hidupnya mau kemana," jawab teman saya yang lain.
"Kenapa menjalani hidup harus jelas?" tanyanya lagi, kita semua mikir.
"Biar nggak terombang-ambing hidupnya, ya jelas aja gitu." Kami semua mulai buntu memikirkan jawabannya.
"Iya memangnya kenapa hidup kita harus terarah, harus jelas, jangan terombang-ambing tuh kenapa?"
"….." semua berpikir. Begitupun saya. Iya ya, kenapa ya? Apa yang saya rasakan ketika punya tujuan?
"Hmm, bahagia?" Akhirnya saya menjawab.
"Nah! Tepat."

See? Bahkan untuk hal yang besar seperti menetapkan tujuan saja ternyata ujungnya kita ingin bahagia. Cobain deh, bertanya kepada diri dengan 5 lapisan pertanyaan "mengapa?", ujungnya kita akan menemukan bahwa kita itu sebenarnya ingin bahagia.

Tapi kemudian saya berpikir, apakah benar bahagia yang menjadi tujuan dari hidup manusia? Pasalnya, saya banyak melihat, ketika seseorang akhirnya berhasil "menjemput kebahagiaan"-nya, ternyata hidupnya tetap saja merasa hampa. Ada (bahkan banyak) orang-orang yang merasa hampa dalam kebahagiaannya, seakan bukan itu sebenarnya yang dia cari.. Seperti ada hal lain yang seharusnya masih ia capai.  Apakah kamu pernah merasakannya juga?

Kalau begitu, pertanyaannya seharusnya masih berlanjut ya? Dilanjut dengan; "Kenapa harus bahagia? Kalau udah bahagia terus apa?" Pertama kali saya menanyakan pertanyaan ini kepada diri sendiri, saya jawab, "Ya udah, abis bahagia ya udah, mati." 

Tapi apakah semua orang siap mati dengan beragam kebahagiaan yang telah dicapainya? Apakah setelah punya uang banyak, setelah keinginan naik jabatan terwujud, setelah menikah dan punya anak, setelah populer dan jadi terkenal, lantas semua kebahagiaan itu membuat seseorang siap mati? Belum tentu, kan? Ternyata diberlimpahi oleh kebahagiaan dunia belum tentu menjadikan kita siap untuk menghadap Allah dan menghadapi Hari Pertanggungjawaban.

Disini saya baru paham bahwa ternyata ada kebahagiaan yang semu, yaitu kebahagiaan yang tidak bernilai ketika berhadapan dengan kematian. Sebab, kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika kita berhasil menjawab satu pertanyaan ini; "Apakah setelah mendapatkan kebahagiaan yang kamu inginkan itu, kamu siap kembali kepada Allah?" Jika jawabannya ya, maka hal yang kita kejar hari ini, bisa jadi adalah hal yang benar.

Jika jawabannya tidak, mungkin kita harus mendefinisikan ulang makna sukses dan bahagia versi kita. Karena bisa jadi bukan cita-cita atau keinginan kitanya yang salah, tapi niatnya. Kita hanya berpikir pendek sehingga bahagia itu sebatas apa-apa yang bisa kita dapatkan di dunia, padahal maknanya lebih dari itu. Kebahagiaan yang selama ini kita upayakan, mestilah bernilai jika berhadapan dengan kematian.

Memang, manusia itu hidupnya mencari bahagia. Sayangnya banyak manusia mengejar kebahagiaan yang semu, padahal sebetulnya jauh di alam bawah sadarnya, bukan kebahagiaan dunia yang ia inginkan, melainkan kembali kepada Allah dalam keadaan husnul khotimah. Jauh di alam bawah sadar manusia, yang benar-benar manusia inginkan adalah akhir kematian yang baik.

Tak heran, panggilan Allah untuk merekapun begitu menenangkan,
"Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." -QS. Al-Fajr (89) : 27-30

Ya, kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika Allah memanggil kita kembali, dan kita berbahagia karenanya.. Sebab kita telah menemukan tujuan kita yang sebenarnya. Menuju Allah.

Jangan salah memilih keinginan, jangan salah menentukan tujuan, jangan salah mengupayakan sebuah kebahagiaan. Karena (bisa jadi) tidak semua kebahagiaan yang kita kejar, ada nilainya jika berhadapan dengan kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar