Senin, 16 September 2019

Monday Love Letter #58 - Melirik Jejak

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Senang sekali rasanya karena masih bisa menyapamu melalui love letter di hari Senin ini. Meski dengan cara yang sederhana, semoga surat-surat ini bisa begitu bermakna, menemanimu belajar dan bertumbuh di setiap waktunya. Bagaimana kabarmu hari ini? Semoga tak lagi terrantai dengan kesalahan-kesalahan masa lalu yang masih menghantuimu hingga kini.

Kemarin, salah satu dari kami bertemu dengan seorang adik. Ia menceritakan tentang kasus-kasus yang sedang ramai diperbincangkan diantara teman-teman sepermainannya. Salah satu kasus yang menjadi bahan perbincangan mereka adalah kasus aborsi yang dilakukan oleh salah satu temannya karena sebuah “kecelakaan”. Kami tentu tidak kaget mendengar cerita ini terjadi di hari ini. Bukan berarti memaklumi, tentu saja tidak! Namun, di zaman dimana dinamika yang terjadi sudah seperti sekarang ini, cerita semacam itu bukan lagi sesuatu yang pertama kali kita dengar, kan?

Entah apa yang dirasakan oleh pelaku aborsi tersebut hari ini, kami tidak bisa benar-benar menebaknya. Hanya saja, dengan melihat bahwa kejadian itu telah menjadi sesuatu yang tidak bisa terlepas dari dirinya sebab sudah menjadi sebuah pengalaman yang tak bisa ditiadakan, kami merasa prihatin sekali. Tak terbayang di benak kami bagaimana seorang perempuan harus hidup dalam bayang-bayang dosa dan kelamnya masa lalu seperti itu. Sebanyak apapun cara dilakukan untuk mengubur atau melupakannya, suatu ketika ingatan tentang hal itu pasti akan muncul ke permukaan. Subhanallah. Semoga Allah memperkenankannya untuk menjadikan pengalaman ini sebagai jalan terbaik untuk kembali menemui-Nya.

Bagaimana pun, kita sebagai manusia tentu pernah punya kesalahan. Sebagian bisa kita terima dan maafkan dengan mudah, tapi sebagian lagi tidak. Mengapa bisa demikian? Tentu saja karena kita adalah manusia biasa, tempat bersarangnya salah dan lupa. Melakukan kesalahan itu jadi sesuatu yang niscaya. Barangkali, dengan itulah kita diminta-Nya untuk benar-benar menyadari bahwa kita adalah manusia, yang tidak selalu ideal, tidak selalu sempurna. Meskipun demikian, kita bisa memandang ini dari sisi yang lainnya, bahwa kesalahan adalah sarana belajar yang paling besar, sarana taubat yang paling handal, juga sarana bertumbuh yang paling dahsyat. Syaratnya, kita berani mengakui bahwa kita memang berbuat salah, lalu bersedia untuk bangkit dan memperbaikinya.

Apakah satu kesalahanmu yang begitu teringat saat kamu membaca surat ini? Kesalahan itu tak harus selalu tentang pengalaman masa lalu yang sudah terlewati bertahun-tahun yang lalu, sebab kemarin pun sudah menjadi masa lalu, bukan? Apapun ingatanmu tentang itu, sudahlah. Jika sudah terjadi berarti Allah menghendakinya untuk terjadi, meskipun menghendaki tidak sama dengan meridhoi. Bagaimana perasaanmu ketika mengingat kesalahan itu? Jika yang muncul adalah penyesalan, sudahlah, sempitkan ruang bagi penyesalan itu. Bukankah seringkali hanya menyesal tidak lantas menjadikan suatu perubahan? Seperti yang dikatakan dalam sebuah hadist, jangalah mengatakan ‘seandainya…’
 
“Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), dan janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah, dan jika kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu mengatakan : “Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu” tetapi katakanlah, “Ini telah ditentukan oleh Allah, dan Allah akan melakukan apa yang Ia kehendaki,” karena kata “seandainya” itu akan membuka pintu perbuatan setan.”– HR. Muslim
 
“Tapi nasi sudah menjadi bubur, lalu aku harus bagaimana?” Setelah menyadari bahwa menyesali perbuatan yang membuat kita ingin kembali ke masa lalu itu tidaklah dianjurkan, mungkin pertanyaan tersebut saat ini terbersit di kepalamu. Bagaimanapun, masa lalu tetaplah masa lalu, ia akan tetap disana, seingin apapun kita kembali kesana. Jadi, daripada energi kita habis untuk meratapi hari yang kemarin, akan lebih bermanfaat jika energi tersebut digunakan untuk melukis masa depan yang bisa kita warnai dengan hal-hal yang lebih baik.
 

Kami tahu, bagi sebagian orang, melepas diri dari belenggu masa lalu tentu amatlah berat. Maka dari itu, cara-cara berikut ini bisa kamu coba untuk membantumu melangkah dan membuat jejak yang baru.

1. Reframing mistake.
Ubah sudut pandang kita atas kesalahan yang pernah kita lakukan. Alih-alih menyesalinya berlarut-larut, alangkah baiknya jika kita melihat sisi lain dari kesalahan tersebut, bahwa itu adalah sebuah pembelajaran mahal yang tak setara dengan nilai tukar apapun. Tanpa kita sadari, sebuah kesalahan seringkali banyak memberikan hikmah dan pembelajaran berharga. Contohnya, kesalahan bisa membuat kita lebih berhati-hati dalam bertindak, mengikis kesombongan dan perasaan lebih baik dari manusia yang lain, membuat kita kembali kepada Allah, memiliki semangat untuk beramal sholeh, dan sebagainya. Fokus pada hikmahnya, bukan masalahnya.

2. Akui bahwa diri memang melakukan kesalahan.
Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan, bahkan manusia pertama yang Allah ciptakan pun melakukan kesalahan. Kita semua pasti tidak asing dengan cerita Nabi Adam AS yang Allah kisahkan dalam Al-Quran, tentang ia dan istrinya Siti Hawa yang melakukan kesalahan dengan mendekati dan memakan buah khuldi padahal Allah telah melarang. Lalu apa yang mereka lakukan? Mereka langsung menyesal, mengakui kesalahannya dan bertaubat kepada Allah. Tidak berkelit atau membuat-buat alasan, bahkan menyalahkan syetan yang menggodanya pun tidak.

Sebagian dari kita, mungkin akan mencari-cari alasan atau mencari seseorang/sesuatu untuk disalahkan untuk membela diri dari kesalahan yang jelas-jelas kita lakukan. Padahal, apa gunanya berkelit kepada Dia Yang Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Tahu, dan Maha Mengawasi setiap gerak-gerik hamba-Nya? Justru dengan kita melakukan kesalahan, sadarilah bahwa itu adalah petunjuk dari-Nya, reminder terbaik untuk kembali menyadarkan bahwa kita hanyalah manusia: tak mulia tanpa dimuliakan-Nya, tak bisa apa-apa tanpa pertolongan-Nya.

3. Evaluasi diri dan memohon ampunan kepada Allah.
Akui kesalahan, evaluasi diri, dan mohon ampunlah kepada Allah. Seperti Nabi Adam dan Siti Hawa yang langsung berdoa dan memohon ampun kepada Allah sebagai bentuk taubat dan penyesalahannya. Rabbanaa dzalamna anfusanaa wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal khaasyiriin. “Ya Tuhan kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” -QS. Al-A’raf (7) : 23

4. Buat rencana perbaikan.
Permintaan maaf butuh pembuktian, begitu pula permintaan maaf kepada Allah. Sebab, taubat yang sebenar-benarnya adalah ketika kita mengakui kesalahan, bertekad dengan sungguh-sungguh tidak akan melakukannya lagi, dan melakukan perbaikan diri setelahnya. Membuat rencana perbaikan diperlukan agar kita tidak lagi jatuh ke lubang yang sama, sekaligus sebagai bukti keseriusan atas taubat kita kepada Allah.

5. Perbaiki.
Go on. Melangkahlah ke depan dengan membawa tekad yang baru untuk berproses menjadi hamba-Nya yang lebih baik dan tidak lagi mengecewakan-Nya. Jangan berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah, sebab kasih dan sayang-Nya jauh lebih besar dan lebih luas dari murka-Nya.

Barakallahu fiik, sister..

Your sister of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar