Senin, 16 September 2019

Monday Love Letter #57 - Untukku Yang Mengaku Hijrah

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Alhamdulillah kami senang sekali bisa menyapamu kembali lewat surat ini. Bagaimana hari-harimu sepekan kemarin? Semoga surat ini bisa menjadi semacam jeda untuk berkontemplasi dan mengumpulkan kembali energi serta niat yang mungkin mulai luntur agar pekan setelahnya bisa kita hadapi dengan lebih jernih, semangat dan tentu saja, lebih bahagia :)



Kemarin, di beberapa titik jalan-jalan di Indonesia ada sebuah pemandangan menarik. Sekumpulan orang-orang, ada tua maupun muda, meramaikan jalan-jalan itu dengan pawai obor sambil menyenandungkah shalawat. Di sini, di Bandung yang kami cintai ini, pemandangan itu pun kami saksikan. Bagaimana dengan di kotamu? Apakah kamu juga melihat pemandangan itu? Pawai tersebut menandakan bawa kita baru saja memasuki bulan Muharram yang mengawali pergantian tahun Hijriah. Bagi sebagian orang, pergantian tahun ini mungkin hanya sebatas momen tahun baru biasa, tapi tahukah kamu bahwa ada peristiwa besar di balik sejarah 1 Muharram? Ya, peristiwa itu adalah peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta umatnya dari Mekkah ke Madinah.

Hijrah. Kata yang saat ini sudah tidak asing lagi kita dengar. Dalam beberapa tahun ke belakang, kata ini menjadi hits, terutama di kalangan anak muda. Tapi, sebenarnya hijrah itu apa, sih?

Sederhananya, hijrah artinya berpindah. Berpindahnya dari mana ke mana? Dari keburukan menuju kebaikan, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kegelapan menuju cahaya. Konkritnya bisa dilakukan dengan melakukan perbaikan diri dari yang awalnya tidak disukai Allah, menuju kepada hal-hal yang disukai dan diridhoi-Nya.

Tapi apakah mudah melakukannya? Tentu saja tidak. Sebab, bagi sebagian orang, tak ada yang jauh lebih menakutkan daripada keluar dari zona nyaman. Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan masa lalu lengkap dengan seluruh pola-polanya dalam berpikir, merasa dan bertindak dirasa sebagai sesuatu yang berat dan bahkan tidak masuk akal. Bagaimana tidak, seluruhnya telah menjadi akar-akar yang kuat yang tidak hanya mengakar pada hatinya, tapi juga pada hidupnya. Bukankah kita pun merasakannya?

Barangkali memang disitulah letak perjuangan kita, membayar “harga” yang terasa mahal demi selautan cinta-Nya. Bayangkan saja, terkadang ketika kita memantapkan diri untuk mau menjadi lebih baik, adaaa saja godaannya. Akhirnya diri kita kembali terjebak pada keburukan itu dan jatuh lagi ke lubang yang sama.

“Tau sih di Qurannya harus begitu, tapi kan…”
“Iya aku tuh ngerti kalau ini salah, tapi gimana dong susah banget lepasnya…”
“Hmm, iya tau kok Allah tuh nggak suka kalau aku begini, tapi nanti gimana kalau…”

Familiar dengan monolog diatas? Ironisnya, banyak keburukan atau kesalahan yang dilakukan dalam kondisi pelakunya sadar betul bahwa apa yang dilakukannya itu salah. Entah karena berbenturan dengan hawa nafsu, ego pribadi, atau lemahnya iman. Akhirnya kesalahan yang berulang itu selalu berakhir dengan penyesalan dan perasaan bersalah kepada Allah. Tentu ini hal yang baik, setidaknya Allah tidak mematikan hati kita atau membuat kita berpaling untuk bertaubat kepada-Nya. Namun, terkadang banyak juga penyesalan yang berakhir dengan pengulangan terhadap kesalahan yang sama. “Duh padahal kemarin udah nyesel tapi ternyata susah ya untuk nggak melakukannya lagi.” monolog seperti itupun terjadi lagi.

Itulah bedanya manusia dengan makhluk Allah yang lain. Ia memiliki kecenderungan kepada ketakwaan namun juga di saat yang sama harus berperang melawan hawa nafsunya. Maka derajat manusia di hadapan Allah akan melesat naik apabila ia berhasil menang dari hawa nafsunya, namun juga terancam untuk menjadi serendah-rendahnya makhluk apabila dikuasai nafsunya sendiri.

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya.” Begitulah Allah berfirman dalam QS. At-Tin: 4-6

Pernahkah kita berpikir mengapa jalan kebenaran harus sesulit ini? Sebab hadiahnya mahal. Coba, hadiah apa sih yang bisa setara dengan syurga dan keridhan Allah? Tidak ada. Itulah mengapa, meski di jalan hijrah ini semua orang bagai sedang berperang dengan medan juangnya masing-masing, tapi semua medan juang itu berharga untuk dimenangkan. Manusia mana yang ingin direndahkan oleh Tuhannya? Orang beriman mana yang tak ingin mendapat rahmat dari Rabb-nya? Tidak ada. Maka, berjuang untuk menjadi sebenar-benarnya hamba dan sesejati-sejatinya mu’min adalah satu-satunya jalan bagi mereka yang mengarap syurga dan ampunan-Nya.

Malu adalah sebagian dari iman, jika kita masih saja melakukan keburukan, jangan-jangan rasa malu kita kepada Allah sudah luntur bahkan tak ada lagi. Sementara rasa takut adalah pangkal dari takwa. Orang yang bertakwa tidak akan berani untuk bermaksiat dan melakukan hal-hal yang tak disukai-Nya sebab takut kepada Dia Yang Maha Melihat. Tapi bagaimana jika dalam memperjuangkannya kita gagal, gagal, dan gagal lagi? Tidak mengapa, asal kita mengambil pelajaran, memtik hikmah, dan berjuang untuk tidak mengulanginya lagi.

Rasa bersalah kepada Allah, rasa malu dan hinanya diri saat melakukan kesalahan, semua adalah anugerah yang harus kita syukuri. Beruntungnya kita sebab rasa-rasa itu masih diizinkan-Nya hadir, hingga kita pun masih diizinkan-Nya untuk menyadari keburukan diri untuk kemudian berjuang kembali kepada-Nya. Allah tidak pernah menolak siapapun yang melakukan kesalahan lalu berpulang kepada-Nya, bukan?

Allah, kami tak ingin berpulang dalam keadaan seperti ini. Jangan dulu engkau putuskan kesempatan hidup kami, sebab kami masih ingin berjuang untuk berpulang dengan kondisi jiwa yang selamat. Semoga Engkau berkenan memberi kesempatan, sekali lagi.

Your Sister of Deen,
Husna Hanifah & Novie Ocktaviane Mufti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar