Assalamu’alaikum
warahmatullah wabarakatuh, sister!
Ada candu pada
setiap kesempatan menulis surat untukmu. Candu itu berisi kerinduan, semangat
untuk menceritakan hal-hal baru terkait kehidupan, juga tentunya kesempatan
terbaik untuk terlebih dahulu menasehati diri sendiri sebelum menasehati orang
lain. Jika misalnya suatu hari nanti surat ini terhenti dan berjeda, akankah
kita sama-sama bersedia untuk menukar rindu dengan selaksa doa-doa?
Bagaimana kabar
hatimu hari ini? Kami dengar, katanya kamu sedang merasa seperti berada di
tengah-tengah keriuhan, ya? Mungkin, rasanya seperti seseorang yang berjalan
dengan tenang menyusuri labirin-labirin, namun ternyata bertemu dengan sebuah
pagelaran orkestra yang, alih-alih terdengar syahdu dan memanjakan telinga,
suara-suaranya malah bising dan memekakkan telinga. Atau, seperti tidurmu
terganggu oleh suara-suara petasan dan kembang api pada malam tahun baru. Ah,
riuh sekali! Seperti ingin pulang saja, namun entah kemana. Bukankah begitu?
Sisterku sayang,
bolehkah aku memelukmu dulu sebentar? Dalam pelukan itu, aku ingin membisikkan
sesuatu, bahwa dunia ini memang sedemikian riuhnya. Betapa tidak, bukankah
dunia memang didesain sebagai ruang kelas raksasa dimana kita diuji untuk
membuktikan keimanan kita kepada-Nya? Maka, wajar kiranya jika ia terasa riuh,
sebab, diantara keriuhan itu kita sedang diminta berjuang melewati halangan dan
rintangan, bertahan meski banyak hal terasa menyesakkan, bergantung pada
sebaik-baik sandaran, dan tentunya menjadikan semua keriuhan itu sebagai ladang
subur untuk kita memanen sebaik-baik bekal kepulangan.
“Apakah manusia
mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah
beriman” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang
sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti
mengetahui orang-orang yang dusta.” – QS. Al-Ankabut : 2-3
Mendapat ujian
adalah sebuah keniscayaan, kita jelas tak punya kuasa untuk menangguhkan atau
berlari dari padanya. Apapun bisa terjadi tanpa kita duga, seringnya bahkan
yang tak kita suka, hingga mungkin terbersit di benak kita, “Allah, belum
cukupkah Engkau mengujiku dengan yang sebelum-sebelumnya? Kali ini, benarkah
Engkau memintaku untuk berjuang lagi? Rasanya, energiku bagaikan sudah habis,
aku harus bagaimana lagi?”
Stress! Mungkin
itulah satu kata yang tepat untuk menggambarkan hari-hari kita belakangan ini.
Selayaknya manusia, tak pernah ada yang merasa nyaman dengan kondisi itu.
Inginnya segera terbebas, terlepas, melesat landas pada apa yang kita kira
kebahagiaan. Bukankah begitu? Namun, sayangnya, hidup tanpa masalah itu adalah
sebuah kemustahilan. Stress-free itu tidak mungkin terjadi selama kita masih
hidup di dunia. Baik itu kebahagiaan atau kesedihan, keduanya sama-sama bentuk
ujian yang harus kita menangkan dengan cara menjawabnya dengan sebaik-baik
jawaban.
Kabar baiknya,
stress jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda adalah rahmat bagi kita.
Sebab, tanpa stress kita tidak belajar dan tidak punya ladang subur untuk
mendulang pahala kesabaran. Jika kondisi kita selalu baik-baik saja, bagaimana
kita menumbuhkan harap kepada Allah? Jika kita selalu bahagia, bagaimana rasa
takut kepada Allah bisa hadir di hati kita? Jika semua yang kita inginkan
dengan mudah kita dapatkan, bagaimana kita belajar makna berjuang?
“Dan Kami pasti akan
menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, “Inna lillahi
wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami
kembali).” – QS. Al-Baqarah : 155-156
Ketika stress
datang, semoga kita menerimanya dengan lapang, agar tak lama berpaku tangan dan
langsung bergegas kembali pada satu-satunya sumber harapan: Allah. Semangat,
sister! Semoga Allah memudahkan apapun yang sedang diperjuangkan, melapangkan
apapun yang sedang menyulitkan, dan memberkahimu dengan petunjuk-Nya untuk
selalu kembali “pulang.” Baarakallahu fiik.
Your sister of Deen,
Novie Ocktaviane
Mufti dan Husna Hanifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar