Senin, 03 September 2018

Monday Love Letter #7 - Syukur Ver 2.0

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah sudah sampai di Senin yang ketujuh sejak Monday Love Letter pertama ditulis. Bahagia sekali rasanya ketika sadar bahwa ternyata diri yang penuh dengan kekurangan dan keterbatasan ini masih bisa menginspirasi orang lain. Bisa konsisten menulis seperti ini menjadi pencapaian tersendiri bagi saya, yang biasanya menulis ketika memang sedang ingin saja. Alhamdulillah Allah mampukan :')

Akhir-akhir ini saya sedang banyak berpikir dan mengamati bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, baik itu di media sosial maupun dengan bertemu langsung. Dan untuk pertama kalinya dalam fase hidup saya, saya bertanya kepada diri sendiri, pertanyaan yang tidak pernah saya sangka akan saya tanyakan kepada diri saya sendiri, "Tuh lihat, si A udah mencapai ini, si B udah jadi itu, si C lagi bikin project keren tuh, kamu udah apa?"

Buat saya yang punya karakter cuek, pertanyaan seperti itu terasa aneh bagi saya. Tidak biasanya saya membandingkan diri saya dengan orang lain. Dan mindset ini menjadi racun bagi saya sendiri karena saya malah jadi merasa minder karena membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain sementara saya kok rasanya masih begitu-begitu saja. Jangan dicontoh ya, karena ini sungguh tidak baik untuk kesehatan hati, jiwa, dan pikiran. Hehe.

Sampai suatu hari saya tiba-tiba teringat pada sebuah istilah yang sering disebut-sebut, yang katanya akan teralami oleh orang-orang di usia 20-an menjelang 30-nya. Quarter Life Crisis. Sebuah fase yang membuatmu mengulang lagi pertanyaan tentang tujuan dan makna hidup. Ya, kurasa saya sedang mengalaminya.

Yang saya pelajari dari fase ini adalah bahwa jawaban yang harus kau temukan tidak hanya sekedar tujuan hidupmu adalah untuk ibadah, seperti yang kita semua tahu dalam QS. 51:56. Tapi ada sebuah pertanyaan lanjutan yaitu peran apa yang ingin kamu ambil untuk ibadahmu? Dan secara naluriah kita akan berusaha mencari peran yang besar manfaatnya untuk orang lain. Ya, di fase ini kita mulai mencari makna diri kita untuk orang lain, masyarakat, bahkan dunia. Tidak lagi memikirkan hanya untuk diri sendiri.

Maka, mulailah melihat kepada dirimu. Apa yang kau punya? Apa "harta" yang Allah titipkan untuk dirimu? Jika hartamu adalah kemampuan berbisnis dan bernegosiasi, maka jadilah seperti Siti Khadijah r.a, shahabiyah dermawan yang membesarkan bisnisnya untuk kepentingan umat.
Jika hartamu adalah kecerdasan intelektual, punya gelar S1, S2 atau S3, maka jadilah cendekiawan muslim yang memperkaya pengetahuan dunia dan memajukan peradaban.

Jika hartamu adalah kemampuan berdiplomasi dan berorganisasi, latihlah dirimu menjadi pemimpin yang berpengaruh untuk menyebarkan nilai-nilai Islam.

Jika hartamu adalah kemampuan menulis, maka tulislah karya terbaik yang bisa menembus pikiran banyak orang dan membuat mereka terinspirasi untuk menjadi sebaik-baik manusia di hadapan Allah.

Jika hartamu adalah anak dan keluargamu, maka jadilah seorang istri dan ibu terbaik yang mencetak generasi shalih dan shalihah, serta mengupayakan ikhtiar terbaik agar keluargamu terlindung dari api neraka.

Apapun itu, setiap "harta" sejatinya hanyalah titipan, hanyalah pinjaman dari Allah. Dan yang namanya titipan, tentu tidak bisa kita pakai seenaknya semau kita, bukan? Tetap ada hak Allah didalamnya.


Inilah yang dinamakan syukur ver. 2.0 (istilah karangan saya, hehe), yaitu bentuk syukur yang lain yang sudah ter-upgrade. Syukur yang bukan sekedar berterima kasih atas apa yang telah Allah berikan, tetapi syukur yang membuat kita melakukan sesuatu yang terbaik dengan menggunakan segala potensi yang Allah berikan kepada kita. Potensi yang kemudian digunakan untuk kepentingan Allah, untuk kepentingan Islam, serta untuk kepentingan akhirat diri, keluarga, dan umat. 
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Dia melipatgandakan (balasan) untukmu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Penyantun," (QS. At-Taghabun (64): 16-17)
Ah ya, ada satu yang perlu kau ingat. Hartaku, belum tentu sama dengan hartamu. Begitupun sebaliknya. Maka tidak usah membandingkan diri kita dengan orang lain, biarlah orang lain "berinfaq" dengan harta miliknya, karena kita juga punya harta sendiri yang harus kita persembahkan untuk Allah. :)

Selamat mengupayakan syukur terbaikmu kepada Allah, dengan definisi syukur yang sudah ter-upgradeFastabiqul khairat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar