Senin, 26 Agustus 2019

Monday Love Letter #56 - Cahaya di Atas Cahaya

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! 

Terima kasih sudah setia bersama kami di Sister of Deen Project sampai hari ini. Kami memohon banyak maaf darimu jika selama ini kami masih banyak salahnya, kurangnya, dan mungkin masih jauh dari yang kamu harapkan. Terima kasih juga sudah bersabar menunggu buku kami. InsyaAllah kami masih sedang berproses dan berprogres. Selain itu, saat ini kami juga sedang menyiapkan sesuatu yang lain dan beradaptasi dengan amanah-amanah baru di dunia nyata, sehingga ada sedikit pergeseran jadwal. Buku kami insyaAllah akan menyapamu di awal tahun depan.

Bagaimana kabar jiwamu sepekan ke belakang? Semoga jawabanmu bukan sekedar baik-baik saja, tapi juga bisa menjelaskan apa makna di balik kata baik-baik saja itu.

Sabtu lalu, salah satu dari kami berkesempatan untuk mengisi sebuah kajian muslimah di salah satu mesjid yang ada di Kota Bandung. Materi yang saat itu menjadi tema kajiannya adalah tentang menjadi cahaya di atas cahaya. Familiarkah kamu dengan frasa tersebut? Ya, itu adalah istilah terkenal yang disebutkan-Nya dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 35. Dalam sejarah sastra di Indonesia, ada juga satu buku terkenal yang membuat kita mengingatnya saat membahas hal ini, yaitu Habis Gelap Terbitlah Terang yang ditulis oleh RA. Kartini.
 
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” – QS. An-Nur : 35
 
Bicara tentang cahaya, mungkin kita jadi bertanya-tanya, cahaya apa yang dimaksud? Cahaya itu adalah istilah yang menggambarkan petunjuk Allah. Tanpa cahaya tersebut, seperti yang disampaikan-Nya dalam Adh-Dhuha ayat 8, kita tak ubahnya hanya seperti seseorang yang bingung.
 
“Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” – QS. Adh-Dhuha : 7
 
Pertanyaannya, bagaimana dengan kondisi diri kita hari ini? Apakah sudah menemukan cahaya di atas cahaya itu dan sudah tertunjuki karenanya? Atau, apakah kita justru dalam keadaan yang sebaliknya, dalam kebingungan dan kegelapan yang entah dimana ujungnya?
 

Jika kita renungkan lebih dalam, tidak ada makhluk hidup di bumi ini yang tidak membutuhkan cahaya. Secara fisik, manusia membutuhkan cahaya matahari agar bisa hidup –begitu pula dengan hewan dan tumbuhan. Tanpa cahaya matahari, mungkin tidak akan ada kehidupan di bumi, sebab cahaya matahari memiliki peran yang sangat penting dalam keberlangsungan hidup kita. Namun kita boleh jadi lupa, bahwa tidak hanya fisik kita yang membutuhkan cahaya, tetapi juga jiwa kita. Jiwa kita perlu hidup sebagaimana raga yang perlu dirawat dan diberi makan. Jiwa kita juga membutuhkan “makanan” dan sumber kehidupannya sendiri, yaitu cahaya Allah.
 
Tanpa cahaya Allah, seterang apapun dunia melingkupi kita dengan segala yang kita punya, cahaya dunia itu tidak akan pernah cukup untuk menerangi. Ia bahkan masih saja akan membuat kita terlonta-lonta dan kebingungan dalam menapaki banyak hal di depan mata. Pernah melihat (atau bahkan mengalami) seseorang yang memiliki ini dan itu tapi tetap saja hampa yang terasa? Mungkin saja hal itu disebabkan oleh jiwa yang kosong, yang meronta karena membutuhkan “nutrisi” dan dikalahkan oleh rakusnya ambisi.

Memang, dunia ini sungguh menyilaukan. Ada harta, tahta, dan cinta yang bergantian berpendar menarik perhatian kita dan membuat kita lupa bahwa hati dan jiwa kita hanya butuh satu cahaya, yaitu yang berasal dari-Nya. Satu-satunya cahaya yang kita butuhkan hanyalah cahaya Allah, sebab cahaya itulah yang akan menerangi, melingkupi dan juga menunjuki kita pada kebahagiaan hidup yang sesungguhnya.
 
Lalu dimanakah kita bisa menemukan cahaya itu? Mendekatlah kepada sumber cahaya, kepada sang pemilik jiwa kita; Allah. Temukanlah cahaya-Nya, dalam perkenalan-perkenalan kita dengan Allah, dengan kitab-Nya, dengan jalan lurus-Nya, juga dengan diri kita sendiri yang terlahir sebagai hamba-Nya. Sampai hati kita terasa penuh, jiwa kita terasa utuh, benih keimanan dalam diri kita tumbuh hingga tertanam rasa takut kepada Allah, rasa cinta dan bergantung kepada-Nya, serta kerelaan berkorban untuk-Nya.

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” – QS. Muhammad: 17


Semoga Allah senantiasa menjaga jiwa kita dan menerangi hidup kita dengan cahaya-Nya sebagai petunjuk dan penerang langkah-langkah kita di dunia hingga selamat sampai ke akhirat. Aamiin.

Your sister of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar