Senin, 12 Agustus 2019

Monday Love Letter #52 - Dimanakah Tepi Dari Kehebatanmu?

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister! 


Hari ini Bandung masih dingin dan berangin, bagaimana dengan kotamu? Apapun cuaca yang melingkupi harimu, semoga tak menghentikan semangatmu untuk tetap melaksanakan semua amanah dengan baik, ya! Oh iya, ada kabar terbaru nih dari Sister of Deen, kami semakin berbahagia melanjutkan proses dan progress buku(-buku) kami. Semoga bisa sampai di tanganmu tepat pada waktu-Nya. Mohon doanya.

Ok, back to our weekly habit, hari ini kami punya cerita seru untukmu…

Sebelumnya, pernah enggak sih kamu merasa aman dan terjamin karena hal-hal yang melekat pada dirimu seperti misalnya kecerdasanmu dalam menuntut ilmu, karena harta milikmu atau milik orangtuamu, karena keberadaan pasangan hidup dan anak-anakmu, karena keluargamu terpandang di masyarakat, atau mungkin juga karena popularitas atau status sosial yang kamu punya? Kalau jawaban spontanmu adalah tidak, coba perhatikan monolog-monolog berikut ini:

“Ah, aku kan pinter ini, skripsi doang mah kecil. Tenang aja, cumlaude pasti gampang diraih.”

“Ngapain pusing, sih? Mama dan Papa kan punya banyak uang, aku pasti enggak harus berusaha sekeras orang lain hanya untuk dapat pekerjaan.”

“Aku kan cantik, laki-laki manapun yang aku suka pasti mau menikah denganku.”

“Mohon maaf ya, bisnisku kan sukses. Aku mah enggak khawatir tuh sama masa depan.”

“Aku punya banyak teman. Butuh bantuan apapun tinggal telepon. Tenang aja!”

Pernahkah hal ini terlintas di benakmu? Permukaan logika dan hatimu mungkin berkata tidak. Tapi, jika ini benar-benar kamu tanyakan pada hati kecilmu, apakah kamu mengakui bahwa kamu pernah bersandar pada hal-hal semacam itu? Sudah bukan rahasia lagi bahwa kita telah banyak mendengar orang-orang yang merasa hidupnya hampa padahal mereka seolah sudah memiliki semuanya: tingkat pendidikan yang tinggi, kekuasaan, power, popularitas, harta benda, dst. Lantas, apa yang membuat kehampaan itu ada?


Sekarang, bayangkan tentang seorang pilot yang hebat dan terlatih. Skill menerbangkan pesawatnya sudah tak usah kamu ragukan lagi. Begitupun dengan pesawat yang dibawanya, bermesin kelas premium dengan avtur terbaik. Banyak orang yang sudah menunggu dan mau membayar mahal untuk bisa pergi dengan pesawat itu bersama si pilot kebanggan. Tapi sayangnya, ternyata pilot itu tak punya landasan. Tak ada bandara manapun yang mau menerimanya untuk mendarat. Dia tak punya tempat. Kalaupun ia terbang dengan membawa seluruh kehebatan yang dimilikinya, ia akan hanya berputar-putar di udara sebab tak bisa mendarat. Ujung-ujungnya apa? Mungkin pesawat itu dan seluruh penumpang di dalamnya, termasuk juga pilot tadi, akan celaka. Entah terjun di laut, terhempas ke hutan, atau jatuh di dataran yang tak tertebak dimana letaknya.

Hmm … jika kita tarik analogi ini pada diri, mungkin sebab kehampaan itu ada meski kita memiliki semuanya adalah itu; kita tidak punya landasan tempat mendarat, tidak ada tempat bergantung, tidak tahu siapa tempat pulang. Bukankah begitu?

Apalah artinya kecantikan, kecerdasan, kekayaan, kemapanan hidup, kekuasaan, popularitas dan penghargaan jika tanpa keimanan? Sebab tanpa iman, hanya hampa dan resah yang kita rasa. Sebab jika tak bergantung pada-Nya, jatuh dan terpuruk hanyalah masalah waktu.

Ingatkah kita bahwa Allah ialah Dzat yang Maha Mengadakan dan Meniadakan? Amat mudah bagi Allah untuk mengambil kembali segala yang kita miliki dan membuatnya menjadi seakan tak berharga lagi. Lantas, jika segala hal duniawi yang melekat pada diri telah diambil kembali oleh-Nya, masihkah kita punya “nilai” di hadapan Allah? Ya, setidakberharga itulah diri kita di mata Allah jika tanpa iman.

Lalu bagaimana caranya agar kita terhindar dari ketergantungan terhadap selain Allah?

Satu hal yang utama, ada hal yang perlu kita sadari bahwa yang namanya makhluk itu pasti butuh tempat bersandar dan bergantung. Tidak ada satupun ciptaan Allah yang tidak bersandar pada sesuatu. Satu-satunya yang mampu untuk berdiri sendiri ya hanya Allah saja, seperti salah satu sifat-Nya yaitu qiyamuhu binafsihi. Maka, ketika kita menyandarkan diri kita kepada selain Allah, sama halnya seperti kita bersandar pada dahan yang rapuh. Mudah sekali untuk terjatuh. Lalu ketika kita terjatuh, apakah kita menyalahkan dahan rapuh tersebut? Tentu saja kita yang salah, sudah tahu dahan tersebut rapuh, masih saja digunakan untuk bersandar.

Begitupula dengan hidup, tak ada satupun hal yang bisa kita jadikan tempat bersandar selain Allah. Tak bisa kita bergantung kepada selain Allah. Jikapun bisa, tunggulah waktunya, cepat atau lambat hanya rasa kecewa yang akan kita dapatkan.

Yuk, mulai belajar untuk melepaskan kebergantungan kita kepada selain-Nya. Sebab, tanpa bersandar kepada-Nya, sejatinya kita hanya sedang bersandar di dahan-dahan yang rapuh. Baarakallahu fiik.

Your sister of Deen,
Novie Ocktaviane Mufti dan Husna Hanifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar