Senin, 26 Agustus 2019

Monday Love Letter #55 - Bicara Dunia

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Hari demi hari terus berganti, tak terasa sudah Senin lagi. Sadarkah kita bahwa bersamaan dengan bergantinya hari, Allah juga mengurangi jatah waktu kita di dunia? Semoga semakin dewasa, kita semakin siap melepaskan “genggaman” kita pada dunia untuk kemudian kembali kepada-Nya.

Belakangan ini, saat waktu sudah memasuki bulan Agustus, beberapa kali kami melihat pertanyaan kontemplatif di sosial media, katanya, “Delapan bulan berlalu, apa kabar resolusimu?” Ketika membacanya, tak jarang orang menjadi tertegun dan bertanya-tanya, “Hmm, iya ya, apa kabar hidupku selama ini? Apakah aku sedang mendekati tujuanku atau ternyata sebaliknya?” Tapi, ngomong-ngomong tentang resolusi, kami jadi tergelitik untuk membicarakan satu topik yang selalu hits untuk dibicarakan kapan saja: pencapaian.

Selama ini mungkin kita sibuk berhitung tentang banyaknya pencapaian kita di dunia. Cermat sekali membuat target dari tahun ke tahun agar cita-cita dunia kita tercapai. Tentang rencana kuliah, rencana menikah, rencana punya rumah, rencana bisnis, rencana kolaborasi karya, rencana membuat project A, membuat gerakan B, membuat konten C, semuanya kita pikirkan dan kita rencanakan dengan matang. Tapi apakah perjalanan menuju akhirat kita rencanakan seserius itu? Apakah rencana untuk meningkatkan kualitas diri kita di hadapan Allah juga dipersiapkan dan diprogramkan dengan sebaik mungkin? Kebanyakan orang mungkin akan menunduk malu sambil menggeleng lemah menjawab pertanyaan tersebut. Apakah kita juga termasuk di dalamnya? Semoga tidak, ya!

Disadari atau tidak, hari ini banyak orang yang menilai kebahagiaan dirinya dari eksistensi materi semata. Kekayaan harta misalnya. Merasa hebat dan bahagia ketika segala bentuk materi bisa dipamerkan. Atau popularitas, dimana derajat diri kita seakan dilihat dari berapa banyak jumlah followers yang kita miliki, berapa banyak likes yang kita dapatkan dari sebuah postingan kita di media sosial. Atau pasangan dan anak, seakan yang sudah bertemu jodohnya lebih mulia dan jomblo dipandang hina. Yang memiliki anak, merasa keluarga sudah lengkap dan merendahkan perempuan yang lain yang belum dikaruniai keturunan. Parahnya lagi, katanya, hidup kita tidak bahagia dan tidak mulia jika tidak memiliki semua itu. Benarkah?

Memangnya tidak lelah menilai kesuksesan hanya dari yang terlihat di permukaan? Memangnya tidak jengah melihat berbagai manusia yang berusaha memberi makan kepuasan dirinya yang tak pernah habis? Memangnya tidak gerah melihat diri kita sendiri yang sibuk tampil dan berusaha dilirik oleh manusia yang lain? Memangnya tidak kasihan dengan diri sendiri yang menggantungkan kebahagiaan diri pada apresiasi dari orang lain?

Dunia ini tidak akan pernah bisa mengenyangkan kepuasan kita, karena itu kita selalu dirundung kegelisahan bersama dengan setiap pencapaian duniawi yang kita upayakan. Kita merasa harta bisa membuat kita tenang, nyatanya kita malah dirundung kekhawatiran akan kehilangannya. Kita merasa popularitas bisa membuat kita tenteram, nyatanya kita malah dibombardir dengan rasa keharusan untuk membahagiakan semua orang. Kita merasa dengan menikah dan berkeluarga adalah pangkal dari kebahagiaan hidup, nyatanya tantangan dan masalah yang dihadapi lebih banyak dan lebih berat dibanding ketika kita masih hidup sendiri. Lantas apa yang sebenarnya sedang kita cari?

Begitulah, ketika hidup kita hanya didedikasikan untuk materi duniawi serta apresiasi manusia semata, ketenangan justru tidak akan pernah kita dapatkan. So, just look into yourself! Sadari bahwa sejatinya kita adalah seorang hamba. Kita tidak pernah diminta untuk memuaskan diri dengan dunia. Sebaliknya, kita diminta untuk menjadikan dunia sebagai alat, sarana, kendaraan, atau apapun itu kita menyebutnya, agar dunia bisa menghantarkan kita pada keselamatan hidup di akhirat. Bagaimana pun, dunia sementara, akhirat selamanya.

Kami tahu ini tak mudah, kami pun sama berjuangnya sepertimu untuk bisa menggeser fokus dari dunia kepada yang seharusnya. Kita belajar sama-sama, ya!

Your Sister of Deen,
Husna Hanifah dan Novie Ocktaviane Mufti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar