Senin, 30 Agustus 2021

Menyalakan Kembali Pijar Hati

 *dikutip dari Monday Love Letter #136, yang kutulis untuk Sister of Deen


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Alhamdulillah, masih dalam nuansa pergantian tahun hijriyah, semoga api semangat dalam diri kita terus berkobar untuk terus berupaya menjadi hamba Allah yang lebih baik lagi. Bertepatan juga dengan bulan Agustus yang identik dengan kemerdekaan, semoga kita bisa menjadi hamba yang merdeka, yang terbebas dari segala hal yang berpotensi menghambat penghambaan kita kepada-Nya. Sebab, hanya di dalam kepengaturan-Nya-lah kita bisa meraih kemerdekaan sejati, yakni merdeka dalam beribadah hanya kepada-Nya.

Apa kabarmu, sister? Bagaimana kabar keimananmu? Bagaimana hubunganmu dengan Allah saat ini, apakah sedang sangat dekat atau justru sedang merenggang? Bagaimana kualitas shalatmu dan ibadahmu yang lain, apakah tetap mampu mempertahankan kekhusyukan atau hanya sekedar menjalankan rutinitas dan menggugurkan kewajiban semata?

Makin hari, rasanya makin berat saja ya untuk bertahan dalam menampilkan performa terbaik sebagai seorang hamba. Kita pernah berada dalam masa dimana pintu masjid terbuka lebar untuk siapapun dan sebanyak apapun orang. Kita pernah berada dalam masa dimana kajian digelar dimana-mana, dari mulai di masjid besar sampai di rumah guru-guru kita. Support system dalam menjaga iman tersebar dimana-mana, mudah sekali menemukan tempat "isi ulang" untuk jiwa-jiwa kita yang rapuh dan hampa. Beruntunglah jika kamu masih bisa menjaga iman dalam situasi seperti ini.

Saya pernah berada pada masa dimana jiwa terasa begitu kosong. Berminggu-minggu terlewati dengan perasaan gelisah. Aktivitas dilakukan dengan perasaan hampa. Berusaha menghibur diri dengan pergi ke alam, menonton ceramah atau video motivasi, bersilaturahim dengan teman, terkadang curhat juga, namun tetap saja, kosong. Seperti ada lubang besar di dalam hati dan saya tidak tahu lagi harus mengisinya dengan apa.

Lama kelamaan, ibadah mulai kehilangan maknanya. Dijalankan hanya sebatas rutinitas saja. Beberapa amalan rutin harian ditinggalkan, tergantikan oleh aktivitas lain yang sama sekali tidak mendatangkan manfaat. Ah, biar sajalah buang-buang waktu seperti ini, pikirku saat itu. Sedih sekali jika saya ingat kembali masa itu. Saat saya seharusnya sedang merasa paling butuh dengan Allah, malah dengan sengaja menjauh dan mengabaikan-Nya. Sebuah kesalahan dan kebodohan yang nyata dari seorang hamba yang tidak tahu diri.

Setelah sekian lama, akhirnya saya merasa lelah. Lelah berlari dari-Nya. Lelah karena terus-menerus menolak fitrah jiwa yang terus memberi sinyal bahwa jalan yang saya tempuh sudah salah dan melenceng dari jalur. Ada rasa gelisah dan rasa bersalah yang tidak bisa saya hindari sehingga membuat saya akhirnya berhenti dan berbalik arah, mencoba menemukan kembali arah jalan "pulang".

Ternyata, proses kembali tersebut tidak semulus yang saya bayangkan. Saat saya mulai kembali membaca al-Quran dengan harapan diri ini dapat kembali tercahayai, ternyata hati saya tetap hampa. Saat saya berusaha khusyuk dalam shalat, saya sulit sekali merasa terhubung dengan-Nya, sekuat apapun saya berusaha fokus. Saat saya bersilaturahim atau menghadiri kajian untuk berusaha "mengisi ulang" jiwa, tetap saja tidak mampu mengisi bejana jiwa saya yang kosong. Ya Allah, kenapa? Ada apa ini? Kondisi ini lebih membuat saya gelisah, seakan sedang tersesat dan tidak juga bertemu jalan pulang. Saya seperti sedang kehilangan diri sendiri.

Berhari-hari saya menghadapi kebingungan itu. Hingga suatu hari seorang sahabat menyampaikan sebuah perenungan tentang suatu hikmah yang didapatkannya dari suatu kajian dan sampai menangis saat menyampaikannya. Saat itulah saya betul-betul sadar bahwa ada yang salah dengan hati saya. Di saat seperti itu, biasanya saya akan ikut menangis atau setidaknya terharu dan merasa hangat jika mendengar sebuah hikmah. Tapi ketika itu, rasanya kosong. Tidak ada yang bergetar sedikitpun di dalam hati saya. Dingin. Kaku.

"Hei hati, kamu kemana? Kamu kenapa?" Saya takut sekali saat itu, takut hati saya menjadi mati. Bagaimana bisa hati ini tidak bergetar saat ayat-ayat-Nya dibacakan? Ya Allah, saya ingin kembali!

Malam itu saya sulit tidur. Masih dengan harapan mendapatkan secercah cahaya untuk menembus jiwa, saya akhirnya berusaha tidur dengan sebelumnya berdoa terlebih dahulu. "Ya Allah, jika Engkau masih mau memberikan jalan untukku kembali, tolong bangunkan aku di waktu tahajud."

Ternyata, Allah mendengar doa saya. Tanpa alarm, saya bangun sendiri pukul 3 pagi, tidak lama setelah saya tertidur. Saya tangkap ini sebagai sinyal baik dari Allah sehingga saya bergegas ke kamar mandi dan berwudhu. Akhirnya, saya shalat tahajud lagi, setelah sekian lama.

Saya punya memori baik tentang shalat tahajud, waktu-waktu tahajud memang waktu-waktu paling syahdu dimana saya bisa berduaan dengan Allah, curhat dan berdoa sepuas-puasnya hingga menangis tersedu-sedu. Tapi malam itu berbeda. Saya tidak merasa betul-betul hadir dan tidak merasakan kehadiran Allah kekhusyuk apapun saya mencoba. Rakaat demi rakaat terlalui, dan hingga shalat itu selesai, saya tidak juga merasakan ketenangan yang saya rindukan itu. Frustrasi!

Akhirnya saya duduk di atas sajadah, beristighfar sebanyak-banyaknya. Saya teringat memori lama saat saya beristighfar setelah tahajud dan saya sesegukan setelahnya. Maka saya praktekkan kembali istighfar saat itu, berharap hati yang dingin ini dapat menghangat kembali. Tapi aneh! Istighfar dan dzikir-dzikir yang saya dawamkan saat itu, tidak juga membuat hati saya menghangat. Rasanya masih kaku, seperti ada sesuatu yang menghambat entah apa. Ya Allah, ini kenapa..

Setelah berdzikir, biasanya saya melanjutkan dengan doa. Tapi saat itu saya terdiam lama, tidak tahu harus berdoa apa. Jika dzikir-dzikir barusan tidak bisa membuatku terhubung dengan-Nya, bagaimana saya bisa berdoa dengan kondisi seperti ini? 

Perasaan hati saya sudah tidak karuan ketika itu. Saya hanya ingin kembali kepada-Nya, namun mengapa shalat dan dzikir saya tidak bisa menghantarkan diri saya kepada-Nya? Sampai-sampai saya tidak tahu harus berdoa apa untuk bisa "memanggil"-Nya. Bahkan saya tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan hati saya sendiri.

Di tengah kefrustrasian itu, karena saya tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar bisa terhubung dengan-Nya, saya memanggil-Nya dengan suara yang sangat lirih, "Rabbi..." Di saat itulah, di saat saya berada dalam titik yang paling pasrah dan tidak tahu harus bagaimana lagi selain memanggil nama-Nya, air mata saya akhirnya keluar. 

"Rabbi.." saya memanggil-Nya lagi dan tiba-tiba saya merasa sedang dipeluk oleh-Nya. Saat mengucap kata Rabbi, saya teringat kembali ayat tentang setiap ruh yang sudah pernah berjanji dan mengikrarkan bahwa Allah adalah Rabb-nya. Maka air mata yang saat itu keluar, pastilah merupakan dorongan dari dalam ruh (jiwa) yang sudah sangat rindu untuk kembali pada fitrahnya menghamba. Ya Allah, ternyata Engkau masih mau menerima hamba-Mu yang sudah sombong ini! :''''(

"Rabbi.." air mata saya tidak berhenti mengalir, rasa bersyukur dan merasa bersalah melebur jadi satu. Rasanya lega sekali ketika saya akhirnya bertemu dengan jalan pulang dan "rumah" yang selama ini saya rindukan.

Subhanallah, alhamdulillah, allahu akbar. Setelahnya, doa-doa yang malam itu saya panjatkan terasa nikmaat sekali. Besar harapan saya, agar Allah tidak mencabut kembali kenikmatan ini. Semoga saya bisa terus menjaga rasa syukur ini dengan lebih berhati-hati dalam bertindak. Pasti ada banyak dosa yang sebelumnya saya abaikan. Ada banyak kelalaian yang tidak segera saya taubati sehingga menutupi cahaya yang Dia hadirkan. Bismillah, semoga Allah menuntun saya dan kita semua dalam mengerjakan perbaikan-perbaikan diri hingga bisa mencapai derajat paling mulia di hadapan-Nya, yakni derajat takwa.

Sister, jika akhir-akhir ini kamu sedang merasa lelah dan gelisah, pertemuanmu dengan suratku ini pasti bukanlah kebetulan. Bisa jadi ini adalah sinyal baik dari-Nya untukmu memanggil kembali hati dan jiwa yang mungkin pendar cahayanya sedang terhalang. Jangan menunda terlalu lama. Kembalilah segera, semoga kamu pun menemukan rumah bagi jiwamu dan mendapatkan ketenangan yang selama ini hatimu rindukan. Allah pasti akan menuntunmu menemukan jalan pulang.


Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar