Senin, 30 Agustus 2021

Adakah yang Benar-benar Menjadi Milik Kita?

 *dikutip dari Monday Love Letter #131, yang kutulis untuk Sister of Deen


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Pertanyaan 'apa kabarmu?' seringkali terdengar membosankan dan terkesan basa-basi, tapi sejak second wave pandemi hadir, bertanya apa kabar menjadi pertanyaan yang benar-benar kita ingin tahu jawabannya, setidaknya untuk saya. Apakah kamu juga begitu? Bagaimana kabarmu, sister? Semoga dalam keadaan sabar dan syukur yang baik.

'Alhamdulillah, baik' seringkali menjadi template balasan ketika ada orang lain yang menanyakan kabar kita. Sekarang, jawabannya beragam dan tak jarang membuat khawatir.

"Aku lagi isoman.."

"Keluargaku positif covid.."

"Saudaraku ada yang meninggal.."

"Aku lelah harus lembur terus karena pasien lagi banyak-banyaknya.."

Itu semua adalah jawaban dari pertanyaan apa kabar yang saya tanyakan kepada teman-teman saya. Tidak sedikit pula berita duka yang saya dapatkan, bahkan dari keluarga sendiri. Ya Allah, saat ini kita benar-benar sedang diuji dan diingatkan terus-menerus bahwa sakit dan kematian betul-betul berada di tangan-Nya. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan iman untuk menghadapinya.

Hari ini dan beberapa minggu ke belakang, mungkin menjadi hari yang gloomy bagi sebagian besar orang. Sejujurnya, akhir-akhir ini saya pun merasakan itu. Tapi malam ini saya membaca sebuah tulisan yang saya tulis setahun yang lalu, yang mengingatkan untuk kembali bersyukur.

Tahun lalu, saya membaca sebuah tulisan dari akun @berceritahikmah yang ditulis oleh seorang ibu yang baru saja kehilangan janin yang masih dikandungnya di usia kehamilan 4 bulan, di Hari Idul Fitri. Hari itu, ibu itu tiba-tiba pendarahan, keguguran dan bayinya harus dikeluarkan. Tapi masya Allah, penulisnya berhasil menemukan hal yang disyukurinya dengan sangat baik. "Untukmu yang juga sedang kehilangan, saat ada yang hilang dari kehidupan kita, lihatlah ada jauh lebih banyak hal yang Allah selamatkan" begitu tulisnya. Membacanya, saya mengangguk setuju. Sebab yakin bahwa di situasi apapun pasti ada banyak nikmat Allah yang bisa disyukuri.

Seporak-poranda apapun hidup kita saat diterjang badai, ternyata Allah banyak menyelamatkan banyak hal. Kalau dalam kasus ibu tersebut, dia bersyukur karena masih bisa melihat wajah tampan anaknya, bisa menggendongnya, dan bersyukur bisa diberi kesempatan untuk hamil walau hanya 4 bulan. Bagaimanapun, apa yang Allah beri itu adalah milik Allah, maka ketika diambil pun seharusnya tak menjadi masalah, sebab pemiliknya telah selesai menitipkan "titipan"-Nya. :')

Setelah saya renungi lebih jauh, Allah tuh ternyata nggak pernah ngasih kurang lho ke kehidupan kita. Ada jauuuh lebih banyak yang Allah beri, walaupun di saat yang sama kita berdoa berkali-kali meminta hal yang lain. Tidak apa sebenarnya meminta Allah untuk diberikan sesuatu, tapi kembali lagi ke konsep kepemilikan, bahwa apa yang menjadi milik kita tidak pernah betul-betul menjadi milik kita. Maka ketika meminta sesuatu, kita juga harus siap jika pemberian Allah itu diambil-Nya kapan saja. Ketika kita mendapatkan sesuatu dan mencintai sesuatu (atau bahkan seseorang) maka kita juga harus siap akan kehilangannya.

Cerita ibu tadi cukup menjadi pengingat bagi saya yang hingga hari ini masih berdoa untuk kehadiran buah hati. Bahwa ternyata anak bisa menjadi ujian bagi orangtuanya. Lalu jika saya mendengar cerita keguguran atau cerita ibu yang anaknya meninggal, suka langsung berpikir, kalau aku jadi ibu dan Allah memanggil pulang anakku lebih dulu, apakah aku siap? Sebab sejatinya anak bukanlah untuk dimiliki dan diatur semua kita, melainkan titipan yang harus dijaga sebaik-baiknya dan dihantarkan pada kepulangan yang baik kepada-Nya.

Konsep ini mirip konsep menggembala ya. Seorang penggembala bertanggungjawab menjaga gembalaannya, merawat dan mengurus hewan-hewan gembalaannya, memastikan makanan dan kebutuhan mereka terpenuhi. Tapi penggembala ini bukanlah pemilik hewan-hewan tersebut. Ia hanya bekerja untuk tuannya dan seorang penggembala yang bertanggungjawab adalah yang menjaga gembalaan tuannya tersebut dengan profesionalitas yang baik.

Lalu apakah ketika pemiliknya memutuskan mengambil/menjual semua hewan gembalaannya, atau menyembelih gembalaan yang menjadi miliknya, si penggembala ini patut marah? Harusnya kan nggak ya, karena pekerjaannya ya selesai sampai di situ.

Ya, sama seperti konsep kepemilikan kita di dunia. Harta benda, anak, pasangan, keluarga, waktu, kesehatan, bukankah semuanya hanyalah titipan? Tugas kita adalah menjaga semua titipan itu sesuai kehendak pemiliknya, yaitu Allah. Berpikir bagaimana titipan-titipan tersebut harus dijaga dan dikembalikan dalam keadaan yang baik.

Semoga kita bisa menjadi hamba yang amanah terhadap apa-apa yang dititipi oleh Allah kepada kita. Sebab sejatinya, seorang hamba tidak pernah memiliki apa-apa. Semua hanya pinjaman dan titipan, yang kelak akan ditanya oleh Allah tentang bagaimana kita menggunakan, mengurus, atau memeliharanya.

Yang sudah waktunya pergi, relakanlah untuk pergi karena memang sudah waktunya untuk kembali kepada Dzat yang memiliki. Namun, saat ada yang hilang dari kehidupan kita, lihatlah ada jauh lebih banyak hal yang Allah selamatkan dan ada jauh lebih banyak yang masih harus kita jaga sebelum diambil kembali oleh pemilik-Nya.


Yang sedang belajar melepas kepemilikan,

Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar