Jumat, 12 April 2024

Rindu yang (Mungkin) Tak Akan Pernah Selesai

Sudah 5 hari sejak kepulangan ayah ke sisi-Nya. Dan sampai hari ini, pikiranku masih belum bisa lepas dari ayah. Terutama saat sedang sendiri, pasti yang diingat ayah. Otakku berusaha mengeluarkan memori-memori tentang ayah. Suaranya ayah, kebiasaan ayah sehari-hari, momen-momen bersama ayah, pesan-pesan dan perkataan ayah, apapun itu. Rasanya ingin kuakses semuanya karena ternyata banyak sekali hal yang tidak bisa kuingat. 

Pagi ini aku pindah tanam bibit melon yang sudah kusemai dan yang kuingat adalah ayah. "Teh, lagi nanam apa sekarang? Mana melon teh udah berbuah belum?" Ayah adalah orang yang selalu antusias bertanya tentang kegiatan berkebunku, sementara tak banyak orang yang kepengen tahu tentang itu.

"Sini peluk ayah dulu." adalah hal yang selalu diucapkan ayah saat menantunya ini datang atau pulang berkunjung dan menyalami tangannya. Tidak cukup mencium punggung tangannya, beberapa tahun terakhir ayah selalu minta dipeluk dan dicium kedua pipinya jika aku datang atau pulang ke rumah ayah. Awalnya aku kaget dan kagok, tapi lama kelamaan jadi nyaman dan terbiasa. Dan justru hal itu yang saat ini paling aku rindukan. Aku rindu memeluk dan dipeluk ayah T_T

Sebelum ini, kukira orang-orang yang sering menulis atau mem-publish tentang kematian orang tersayangnya adalah mereka yang belum selesai menerima takdir-Nya. Ternyata ini bukan tentang itu. Ini tentang rasa rindu yang tak tahu harus diungkapkan kepada siapa karena di dunia sudah tak mungkin bertemu. Ternyata aku pun begitu. Rasanya ingin kutulis semua tentang ayah agar besok-besok bisa kubaca dan kuingat-ingat lagi. Tersebab orangnya sudah tak lagi bisa kutemui, maka memori-memori itulah yang hari ini menjadi barang berharga yang tak ingin aku hilangkan.

Tapi mengakses memori bersamanya bukan tanpa resiko, beberapa memori harus dibayar dengan air mata dan rasa rindu yang semakin bertambah. Hhhh.. serba salah memang. Aku hanya berharap semoga nanti akan tiba masanya dimana saat aku mengingat ayah, emosi yang hadir adalah full rasa bahagia tanpa ada lagi rasa sedih dan kehilangan. Entahlah apakah bisa atau tidak, tapi harusnya bisa :)

Lalu pikiranku terbang memikirkan suami dan adik-adik iparku yang merupakan anak kandung ayah, juga bunda. Jika aku yang baru bertemu ayah 8 tahun lalu saja rasa rindunya seperti ini, apalagi mereka ya? Suami dan adik-adik ipar sudah bersama ayah sejak mereka lahir, tentu mereka punya memori lebih banyak lagi bersama ayah. Apalagi bunda yang sudah hampir 34 tahun hidup bersama ayah dan sudah mengenalnya sebelum itu. Belum lagi rumah yang setiap sudutnya menyimpan memori tentang ayah, sementara bunda dan adik-adik (yang tinggal di rumah bersama bunda), masih tinggal di situ. Semoga bunda, suami, dan adik-adik, Allah mampukan mengatasi rasa rindunya. 

Ternyata rindu ini berat, ya.. Dan sepertinya tak akan pernah selesai sampai nanti betul-betul bertemu lagi di kehidupan yang selanjutnya. Sejauh ini caraku mengatasinya adalah dengan menulis, mendoakan, dan terus berkata pada diri sendiri, "Berbahagialah, karena insya Allah saat ini ayah sedang berbahagia dan dimuliakan oleh Allah."

Hidup harus terus berjalan. Ayah sudah selesai tugasnya di dunia dengan membawa bekal yang banyak untuk menemui-Nya. Tinggal aku, dan semua yang masih hidup, yang masih harus mengumpulkan bekal agar bisa kembali pulang dengan selamat. Seperti doa kami semua di malam pertama Ramadhan saat itu, semoga kami bisa saling menyelamatkan di akhirat supaya nanti bisa sama-sama Allah kumpulkan lagi di surga. Aamiin..

Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu..

1 komentar:

  1. semoga beliau ditempatkan ditempat yang terbaik disisi Allah subhanawataallah. perasaan kehilangan sosok ayah itu, tidak akan hilang dimakan waktu mbak.

    BalasHapus