Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!
Tak terasa kita sudah memasuki penghujung Oktober. Sejauh ini, Sister of Deen sudah 64 kali mengirim surat ke-inboxmu. Terima kasih banyak sudah setia membaca dan bersabar dengan segala kekurangan dan keterbatasan kami. Alhamdulillah, meski hanya di dunia maya, perasaan bahagia karena punya banyak saudara ini benar adanya.
Sister, tahukah kamu apa masalah penting dan utama yang sering terjadi pada diri kita yang sering terjadi meski tanpa kita sadari? Ialah ketidaksadaran kita terhadap posisi kita di hadapan Allah. Kita sering lupa dan kehilangan kesadaran bahwa kita ini adalah hamba, kita adalah ciptaan-Nya. Sementara, Allah adalah Rabb, yang menciptakan kita dan seluruh alam semesta beserta isinya.
Selayaknya ciptaan dan yang menciptakan, sudah barang tentu bahwa yang menciptakan memiliki kendali penuh terhadap apa yang diciptakannya. Bayangkan saja sesuatu yang sederhana yang sering terjadi pada kehidupan kita sehari-hari, masak misalnya. Bukankah kita sebagai yang memasak punya kendali apapun atas bahan makanan kita? Mau kita masak dengan cara apapun, mau kita satukan dengan bahan makanan yang manapun, bukankah kita berkuasa untuk melakukannya? Analogi lain, bayangkan jika kita adalah seorang pembuat robot. Secanggih apapun robot yang kita buat, bukankah kita yang paling tahu tentang apapun yang berkaitan dengan robot tersebut sehingga kita pulalah yang paling paham tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap robot tersebut? Yup! Begitu pulalah Allah dan kita. Kita tak punya kendali apapun atas diri dan hidup kita, sebab Allah adalah yang menciptakan kita, yang berhak apapun atas hidup kita.
Masalahnya, kesadaran mendasar bahwa kita adalah hamba yang diciptakan-Nya ini seringkali hilang dari diri kita, meski tanpa kita sadari. Ketidaksadaran itu membuat kita seolah memiliki legitimasi untuk melakukan respon apapun atas segala yang telah ditetapkan-Nya.
Yuk, kita telusuri apa yang sering terjadi pada diri! Berapa kali kita protes pada-Nya, “Ya Allah, mengapa harus aku? Mengapa ini yang terjadi?” padahal Allahlah yang Maha Mengetahui, segala takdir yang terjadi telah tepat diukur dan diaturnya agar bisa terpikul dan tertangani. Berapa kali kita menggerutu pada-Nya, “Ya Allah, mengapa aku tidak mendapatkan apa yang sudah aku usahakan? Aku sudah bekerja keras, mati-matian. Mengapa ini yang Engkau berikan?” padahal Allahlah yang Maha Menetapkan hasil akhir, yang tak harus berbanding lurus dengan apa yang pernah menjadi usaha-usaha kita. Berapa kali kita mendikte-Nya, “Ya Allah, aku maunya begini, harus begini ..,” padahal sejatinya kita tak pernah punya daya tawar kepada Allah, untuk menangguhkan kebaikan atau menghindarkan diri dari ujian.
Tak salah lagi, ketidaksadaran kita akan posisi diri dan Allah inilah yang menimbulkan masalah, membuat kita tak berlaku sopan kepada-Nya sebab menganggap segala hal berpusat dari dan pada diri kita. Tentang hal ini, seorang kakak pernah memberi nasehat kepada kami, bahwa sikap seorang mukmin adalah menerima segala ketetapan-Nya, tanpa tawar menawar. Ibaratnya, jika dicelupkan ke tinta merah, menerima; pun jika dicelupkan ke tinta biru, menerima juga. Diberi kondisi apapun, penerimaan dalam bingkai ketaqwaanlah yang menjadi responnya.
Tanpa kita sadari mengeluh adalah salah satu pertanda ketidaksadaran diri akan posisi di hadapan Allah. Sedih sekali kami mendengar nasehat ini, sebab sadar bahwa diri ini masih sering mengeluh, bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak pantas untuk kami keluhkan. Ah, tapi kesedihan itu tak boleh membuat kita jadi tak berdaya, bukan? Maka, bersama-sama denganmu, kami ingin menjadi lebih baik lagi, utamanya dalam menerima segala ketetapan terbaik.
Hmm, andai saja kita tahu bahwa semua yang Allah tetapkan adalah yang terbaik, bahwa hitungan dan takarannya selalu tepat, dan bahwa tak sedikit pun Allah berniat untuk mendzalimi kita, mungkin tak akan sedikit pun terpikir di benak kita untuk menentang-Nya, melakukan tawar-menawar dengan-Nya, seolah kitalah yang paling tahu tentang yang terbaik bagi diri kita. Astaghfirullah, yang berlalu sudah menjadi debu, semoga kita senantiasa berbenah dan memperbaiki diri setiap kali menyambut hari yang baru.
Selamat merenda kesadaran tertinggi bahwa Allah adalah Rabb dan kita adalah hamba, hingga tak ada lagi ruang di hati dan benak kita untuk tawar-menawar dengan-Nya.
Your sister of Deen,
Novie Ocktaviane Mufti dan Husna Hanifah
Sister, tahukah kamu apa masalah penting dan utama yang sering terjadi pada diri kita yang sering terjadi meski tanpa kita sadari? Ialah ketidaksadaran kita terhadap posisi kita di hadapan Allah. Kita sering lupa dan kehilangan kesadaran bahwa kita ini adalah hamba, kita adalah ciptaan-Nya. Sementara, Allah adalah Rabb, yang menciptakan kita dan seluruh alam semesta beserta isinya.
Selayaknya ciptaan dan yang menciptakan, sudah barang tentu bahwa yang menciptakan memiliki kendali penuh terhadap apa yang diciptakannya. Bayangkan saja sesuatu yang sederhana yang sering terjadi pada kehidupan kita sehari-hari, masak misalnya. Bukankah kita sebagai yang memasak punya kendali apapun atas bahan makanan kita? Mau kita masak dengan cara apapun, mau kita satukan dengan bahan makanan yang manapun, bukankah kita berkuasa untuk melakukannya? Analogi lain, bayangkan jika kita adalah seorang pembuat robot. Secanggih apapun robot yang kita buat, bukankah kita yang paling tahu tentang apapun yang berkaitan dengan robot tersebut sehingga kita pulalah yang paling paham tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap robot tersebut? Yup! Begitu pulalah Allah dan kita. Kita tak punya kendali apapun atas diri dan hidup kita, sebab Allah adalah yang menciptakan kita, yang berhak apapun atas hidup kita.
Masalahnya, kesadaran mendasar bahwa kita adalah hamba yang diciptakan-Nya ini seringkali hilang dari diri kita, meski tanpa kita sadari. Ketidaksadaran itu membuat kita seolah memiliki legitimasi untuk melakukan respon apapun atas segala yang telah ditetapkan-Nya.
Yuk, kita telusuri apa yang sering terjadi pada diri! Berapa kali kita protes pada-Nya, “Ya Allah, mengapa harus aku? Mengapa ini yang terjadi?” padahal Allahlah yang Maha Mengetahui, segala takdir yang terjadi telah tepat diukur dan diaturnya agar bisa terpikul dan tertangani. Berapa kali kita menggerutu pada-Nya, “Ya Allah, mengapa aku tidak mendapatkan apa yang sudah aku usahakan? Aku sudah bekerja keras, mati-matian. Mengapa ini yang Engkau berikan?” padahal Allahlah yang Maha Menetapkan hasil akhir, yang tak harus berbanding lurus dengan apa yang pernah menjadi usaha-usaha kita. Berapa kali kita mendikte-Nya, “Ya Allah, aku maunya begini, harus begini ..,” padahal sejatinya kita tak pernah punya daya tawar kepada Allah, untuk menangguhkan kebaikan atau menghindarkan diri dari ujian.
Tak salah lagi, ketidaksadaran kita akan posisi diri dan Allah inilah yang menimbulkan masalah, membuat kita tak berlaku sopan kepada-Nya sebab menganggap segala hal berpusat dari dan pada diri kita. Tentang hal ini, seorang kakak pernah memberi nasehat kepada kami, bahwa sikap seorang mukmin adalah menerima segala ketetapan-Nya, tanpa tawar menawar. Ibaratnya, jika dicelupkan ke tinta merah, menerima; pun jika dicelupkan ke tinta biru, menerima juga. Diberi kondisi apapun, penerimaan dalam bingkai ketaqwaanlah yang menjadi responnya.
Tanpa kita sadari mengeluh adalah salah satu pertanda ketidaksadaran diri akan posisi di hadapan Allah. Sedih sekali kami mendengar nasehat ini, sebab sadar bahwa diri ini masih sering mengeluh, bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak pantas untuk kami keluhkan. Ah, tapi kesedihan itu tak boleh membuat kita jadi tak berdaya, bukan? Maka, bersama-sama denganmu, kami ingin menjadi lebih baik lagi, utamanya dalam menerima segala ketetapan terbaik.
Hmm, andai saja kita tahu bahwa semua yang Allah tetapkan adalah yang terbaik, bahwa hitungan dan takarannya selalu tepat, dan bahwa tak sedikit pun Allah berniat untuk mendzalimi kita, mungkin tak akan sedikit pun terpikir di benak kita untuk menentang-Nya, melakukan tawar-menawar dengan-Nya, seolah kitalah yang paling tahu tentang yang terbaik bagi diri kita. Astaghfirullah, yang berlalu sudah menjadi debu, semoga kita senantiasa berbenah dan memperbaiki diri setiap kali menyambut hari yang baru.
Selamat merenda kesadaran tertinggi bahwa Allah adalah Rabb dan kita adalah hamba, hingga tak ada lagi ruang di hati dan benak kita untuk tawar-menawar dengan-Nya.
Your sister of Deen,
Novie Ocktaviane Mufti dan Husna Hanifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar