Kamis, 31 Desember 2020
Dear, Sister of Deen: Pre-Order Sudah Dibuka!
Senin, 28 Desember 2020
Buku Perdana dan Rasa Takut
Ini pukul 1:08 pagi, dan aku masih terjaga.
Entahlah, ada yang aneh malam ini. Biasanya jam segini aku sudah terlelap, atau
setidaknya sudah mengantuk. Tapi kali ini, walaupun mataku terasa lelah, tapi
badanku sepertinya masih belum mau diajak beristirahat.
Sejak jam 10 malam tadi, aku mengirim undangan soft
launching buku Dear, Sister of Deen, buku pertamaku yang malam ini insya Allah
akan dilakukan peluncurannya. Aku mengirim undangan ke grup keluarga, kepada teman-teman dekat, serta beberapa orang yang kuanggap penting dalam hidup. Sambil meminta doa, betul-betul meminta doa dari mereka agar karya ini menjadi karya yang berkah. Perasaanku saat ini tidak karuan, excited tentu
saja, tapi ada satu perasaan yang sangat dominan, yaitu rasa takut.
Bukan, bukan takut bukunya tidak laku atau
hanya sedikit yang membeli, bukan itu. Tapi rasa takut diri ini akan menjadi
seseorang yang lain, yang terbang terlalu tinggi sehingga lupa di mana dia harus
berpijak. Takut apresiasi membuat diri ini menjadi sombong padahal segala puji
hanyalah bagi Allah. Takut aku yang menulis buku tidaklah sebaik apa yang
orang-orang kira, takut dicap Allah jadi orang yang mengatakan apa-apa yang
tidak dia kerjakan. Dan aku takut, tenggelam dalam kekecewaan atas diriku
sendiri karena tak cukup baik dalam mengamalkan apa-apa yang kutulis di dalam
buku. Malam ini rasanya gelisah, walaupun mungkin kegelisahan itu tak nampak
dari raut wajahku. Tapi rasa takut itu benar adanya.
Allah, di saat seperti ini, aku sangat butuh tuntunan-Mu agar apa yang kulakukan tetap berada dalam jalur yang benar.
Allah,
di saat seperti ini, aku sepertinya perlu lebih banyak merapal syukur agar
selalu ingat bahwa segala pencapaian dan keberhasilan adalah karena kuasa-Mu.
Allah, di saat seperti ini, aku sangat butuh
untuk dikuatkan dalam memegang niatku hanya untuk-Mu. Sungguh aku sangat takut
ada tujuan lain yang menumpang dalam perjalananku mengukir karya yang ingin
kupersembahkan hanya untuk-Mu.
Allah, karya ini merupakan karya yang tak
seberapa, tapi jika pesan-pesan di dalamnya membuat banyak orang untuk semakin
dekat kepada-Mu, lancarkanlah dan jadikanlah karya ini karya yang meluas.
Allah, semoga karya ini bisa mengalirkan
pahala jariyah untukku yang kelak akan terbujur kaku di dalam tanah. Semoga ada
banyak kebaikan berantai-rantai yang dihasilkan dari karya ini untuk
menggantikan dosa-dosa yang aku sesali dan ingin aku tobati. Semoga karya ini
bisa menjadi inspirasi agar semakin banyak hamba-hamba-Mu yang bersyukur dengan menghasilkan karya-karya besarnya, menampilkan citra muslim yang baik dan mengharumkan Islam
dengan berjamurnya muslim-muslim berkualitas.
Allah, kuatkan aku, bimbing dan tuntun aku,
istiqomahkan aku, agar ini tidak menjadi karya yang terakhir. Semoga tak ada
kata berhenti untukku mewujudkan syukur sampai Engkau berhentikan jantung ini
pada degup yang terakhir.
Allah, aku rindu. Tapi bekalku belum cukup untuk pulang. Semoga masih ada waktu.
Senin, 23 November 2020
Monday Love Letter #102: (Jangan) Melewatkan Doa
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!
Senang rasanya bisa menyapamu lagi. Kabarmu baik-baik saja, kan? Semoga apapun keadaannya kita selalu bisa menemukan hikmah yang bisa dipetik serta syukur yang selalu terjaga. Anyway, sebetulnya saya sudah tidak sabar untuk bercerita kepadamu tentang sebuah hikmah yang saya dapatkan belakangan ini. Jadi kita langsung saja, ya! Bismillah.
Sisterku, kamu pernah tidak merasa malas melakukan sesuatu, padahal kamu tahu betul aktivitas tersebut bernilai kebaikan? Pernah tidak merasa beraaat sekali untuk bangkit mengerjakan sederet to-do-list atau suatu hal yang menjadi kewajiban atau tanggungjawab kita? Padahal kita tahu itu adalah bagian dari tanggungjawab kita, padahal kita paham ada pahala yang menanti serta imbalan tak terduga yang mungkin sedang Allah siapkan. Tapi karena alasan capek, tidak mood atau malas, peluang amal shaleh itu akhirnya kita tinggalkan.
Kalau jawabannya pernah, sama sih, saya juga pernah. Hehe. Bahkan sedang terjadi di 2 minggu belakangan ini. Ada sebuah tugas rumah tangga yang rasanya malas sekali untuk saya lakukan padahal saya tahu ada peluang amal shaleh jika saya melakukannya. Apakah itu? Sebetulnya ini adalah tugas yang sangat sederhana, yaitu memasak.
Alasan saya tidak memasak biasanya karena aktivitas yang agak padat atau memang sedang malas atau bosan memasak saja. Memang sih, suami saya tidak meminta untuk selalu memasak, asalkan makanan selalu tersedia walaupun beli, itu juga tidak apa-apa. Tapi lama tidak memasak, lama-lama ada perasaan bersalah juga di diri saya.
Akhirnya setelah berhari-hari tidak masak, pagi itu saya memaksakan diri untuk pergi berbelanja dan memasak lagi. Tentu saja masakan ala kadarnya. Berbekal kangkung dan tahu yang saya beli dari warung, jadilah tumis kangkung dan tahu goreng sebagai lauknya. Agak tidak percaya diri juga karena setelah saya cicipi ternyata rasanya tidak seenak biasanya. Tapi yasudahlah, yang penting sudah masak lagi setelah sekian lama, begitu pikir saya. Saya pun menyajikannya untuk sarapan suami tanpa berharap pujian apapun.
Tak disangka, selesai makan beliau bilang, "Neng, enak masakannya. Alhamdulillah Aa punya istri yang bisa masak, jazakallah ya.." Wow! Terkejut saya mendengarnya. Sebetulnya saya biasa mendengar pujian itu setiap kali suami memakan masakan saya, bisa jadi karena masakan saya benar-benar enak atau sebagai bentuk apresiasi saja supaya istrinya ini lebih rajin memasak, hahaha. Tapi mendengar pujian yang dikatakannya pagi itu, saya tiba-tiba seperti diilhami sebuah hikmah berharga dari Allah.
Saya baru sadar, saya sudah lama tidak mendengar kalimat apresiasi itu dari mulut suami, karena saya sudah lama tidak memasak. Deg. Lebih sedih lagi, ketika saya sadar bahwa bukan hanya apresiasi yang saya lewatkan, tapi saya juga melewatkan sebuah doa darinya; jazakallah. Sebuah doa agar kebaikan yang saya lakukan digantikan oleh Allah dengan yang lebih baik. Hiks, pantesan kok rasanya 2 minggu kemarin itu uring-uringan nggak jelas :(
Saya jadi berpikir, jika saya memasak setiap hari dan didoakan oleh suami seperti itu, ada berapa banyak kebaikan ya yang akan saya dapatkan? Atau sebaliknya, jika saya tidak memasak berarti ada sebuah doa dari suami yang saya lewatkan, kira-kira ada berapa kebaikan ya yang saya lewatkan? Astaghfirullah,, ini baru perkara kecil seputar memasak. Lalu jika saya mengabaikan kewajiban yang lain hanya karena malas atau tidak mood, ada berapa banyak lagi kebaikan yang saya lewatkan? Huhuhu..
Jazakallah khairan katsira, adalah doa yang dalam jika kita memahami arti di baliknya. Bukan hanya sekedar ungkapan terima kasih, tapi juga sebuah doa agar Allah membalas kebaikan yang kita lakukan dengan kebaikan yang lebih lagi. Doa ini bisa kita dapatkan ketika kita menolong orang lain, ketika kita berbagi makanan, berbagi ilmu, berbagi rezeki, atau berbagi apapun yang bermanfaat kepada orang lain. Bahkan, doa ini bisa kita dapatkan dari hanya sekedar berkunjung ke rumah teman atau mengirim chat untuk sekedar menyapa kabar dan mendengar keluh kesahnya. Maka, tak heran jika orang-orang yang ringan tangan untuk menolong orang lain, Allah mudahkan kehidupannya. Pertama karena ia mengutamakan membantu urusan orang lain dibanding dirinya, kedua bisa jadi karena doa-doa baik yang diberikan dari mereka yang ia tolong.
Ternyata, kita tak pernah rugi apapun jika kita berbuat baik kepada orang lain, yang ada justru kebaikan untuk kita yang nantinya akan bertambah-tambah. Hikmah dari mogok masak itu ternyata membawa saya untuk lebih bersemangat dalam berbuat baik, baik dalam skala keluarga, tetangga, teman dan sahabat, maupun skala yang lebih besar lagi. Insya Allah. Selain itu, saya juga jadi terpacu untuk lebih sering mendoakan orang-orang baik yang ada di sekitar saya, yang selalu ada untuk saya dan menghargai keberadaan saya. Alhamdulillah Allah karuniakan mereka di hidup saya, semoga Allah senantiasa memberikan kebaikan di dunia dan di akhirat untuk mereka.. Aamiin..
Tentu saja, untukmu juga, sister. Saya sering sekali merasa terharu jika mendapat balasan surat dari para sister of Deen, tak hanya sekedar memberikan apresiasi, kami juga sering mendapati doa-doa baik untuk kami berdua, masya Allah. Jazakillah khairan katsiran untukmu, dan untuk semua sister yang tergabung dalam mailing list ini, yang terkadang harap-harap cemas menunggu datangnya surat di setiap Senin, hehe. Terima kasih untuk masih bersama-sama dengan kami sampai saat ini, memberi support dan doa-doa baik yang tersampaikan maupun yang terucap dalam hati. Tiada harapan dari kami selain agar kita terus bersama untuk saling menguatkan dalam perjalanan menjadi hamba Allah yang sejati hingga menuju kemuliaan hakiki.
Jangan lelah dalam mengupayakan kebaikan. Saling mendoakan ya, sister. Barakallahu fiik :)
Your sister of Deen,
Husna Hanifah
Senin, 21 September 2020
Monday Love Letter #100: Malam Penuh Syukur
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!
Sebelumnya, bagi kamu yang bertanya (atau bertanya-tanya) mengapa Senin lalu tidak ada surat yang masuk ke inbox-mu, kesalahan bukan terletak di email-mu kok, tapi pekan lalu kami memang tidak mengirimkan Monday Love Letter. Maaf ya sister, jika kamu yang sudah menunggu-nunggu. Karena satu dan lain hal, dengan berat hati Monday Love Letter #100 harus tertunda.
But.. Here we are! Alhamdulillah senang sekali bisa kembali menulis surat untukmu lagi. Melihat angka seratus, saya excited! Angka seratus memang bukan angka yang besar untuk dirayakan, tapi juga bukan angka yang kecil untuk sebuah pencapaian. Memulai sesuatu mungkin adalah hal yang mudah, tapi bicara konsistensi, itu lain cerita. Alhamdulillah, di tengah berbagai aktivitas, Allah masih mampukan kami untuk mengasuh sister of Deen dan menulis surat untukmu di setiap Senin.
Sejujurnya, tadinya kami bermaksud mengumumkan sebuah kejutan untukmu di Monday Love Letter ke-100 ini, sister. Tapi ternyata "hadiah" itu harus tertunda. Mohon doanya, ada project kebaikan baru yang sedang kami rencanakan yang insya Allah bisa segera kamu nikmati.. :)
Di surat kali ini, saya hanya ingin bercerita. Sejujurnya, belum tahu mau menulis apa. Saya baru saja menghapus beratus-ratus kata yang isinya berisi curhatan tentang apa yang saya rasakan belakangan ini yang jadinya tulisannya ngalor ngidul kemana-mana, haha. Entahlah, akhir-akhir ini saya sering mengalami writer block. Jadi topik hari ini yang ringan-ringan saja ya. Biasanya jika sedang tak tahu mau menulis apa, cara terakhir saya untuk menuangkan pikiran menjadi kata-kata adalah dengan memikirkan hal-hal apa saja yang saya syukuri. Bersyukur tak pernah membuat saya kehabisan kata, karena nikmat Allah tak terhitung saking banyaknya!
Satu hal paling besar yang kini sedang amat saya syukuri adalah kehadiran keluarga. Kemarin, selepas bepergian menyetir seharian, saya menyempatkan diri ke rumah orangtua saya. Alhamdulillah kedua orangtua saya sedang ada di rumah. Kami cukup lama mengobrol sambil bercanda, rasanya sudah lama tidak mengobrol selepas itu bersama orangtua. Sejak menikah, entah mengapa saya menjadi lebih berani bercerita dan mengungkapkan apa yang saya pikirkan atau rasakan kepada orangtua. Bahkan memeluk dan mencium kedua pipi mereka yang dulu amat sulit dilakukan, kini terasa lebih mudah. Hal ini membuat saya semakin menghargai keberadaan mereka. Rasa sesal dan kesal yang dulu pernah ada, kini hilang entah kemana, berganti dengan rasa syukur yang luar biasa karena Allah hadiahkan mereka di dalam hidup.
Rasa syukur kedua yang amat-amat saya syukuri sejak sepekan yang lalu adalah ketika sahabat dekat saya, yang sempat menjauh karena suatu hal, mengajak bertemu kembali setelah sekian lama. Dia bercerita tentang rekan-rekan kerjanya saat ini yang sangat jauh dari kata islami. Dua tahun bersama-sama dengan mereka sampai hampir "terwarnai" membuat dia akhirnya sampai di puncak kegelisahan sebab tak nyaman berada di tengah-tengah arus yang deras tanpa pegangan. "Aku ingin mulai ngaji lagi Na, aku takut lama-lama kebawa sama mereka," katanya. Hangat sekali saya mendengarnya. Sekaligus bersyukur karena Allah masih menjaganya walau berada ditengah-tengah lingkungan yang kurang kondusif untuk mempertahankan iman. Siapa yang mampu menjaga rasa gelisah saat banyak melihat yang salah? Siapa pula yang mampu menggerakkan hati untuk mantap kembali menjemput hidayah, jika bukan karena-Nya? Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari keburukan dan menuntun kita agar istiqomah di jalan-Nya. Aamiin :")
Dan rasa syukur yang paliiing besar adalah ketika Allah masih mengizinkan saya menjadi perantara untuk menyampaikan pesan-pesan indah-Nya kepada orang lain. Padahal siapalah saya ini, dosa banyak, akhlak masih banyak remedial, masih banyak yang harus diperbaiki dari diri yang penuh kekurangan ini. Tapi saya masih diizinkan oleh-Nya untuk berbagi, untuk menebarkan manfaat, menjadi perantara cahaya bagi hati yang berteriak hampa. Persis seperti apa yang pernah saya mintakan kepada Allah.
"Allah, jika Kau butuh lisan untuk menyampaikan pesan-pesan kebenaran kepada manusia, pilihlah aku menjadi salah satunya. Tunjuk aku untuk menjadi orang yang dengan lantang menyuarakan kebenaran dari-Mu..
Allah, jika Kau butuh lengan untuk menuliskan berjuta-juta nikmat dan kebesaran-Mu, pilihlah aku menjadi salah satunya. Jadikan goresan tinta dari tanganku menjadi perantara menyadarkan jutaan kepala tentang kebesaran-Mu.
Allah, jika Kau membutuhkan kaki untuk berkelana di bumi-Mu. Tunjuklah aku menjadi salah satunya. Gunakan kakiku untuk mengarungi luasnya bumi ciptaan-Mu, untuk mensyiarkan nilai-nilai islam ke seluruh penjuru dunia.
Apapun ya Allah, apapun yang ada padaku dan itu bisa kugunakan untuk berjuang di jalan-Mu. Ambillah, gunakanlah. Jadikan aku perantaranya."
Ternyata, Allah masih izinkan. Allah masih perkenankan. Hingga diri ini dipersaksikan kebesaran-Nya dalam membolak-balikkan hati dan menumbuhkan iman di dalam setiap hati. Semoga dengan potensi yang tak seberapa ini, dengan upaya yang masih seadanya ini, segala amal bisa bernilai ibadah dan menjadi jariyah. :"
Masya Allah, ini baru bicara tentang 3 hal yang disyukuri tapi rasanya sudah sebegini terharu. Gimana kalau jabarin syukur yang lain-lainnya. Huhuhu.. Terima kasih ya Allah, atas segala nikmat yang telah, sedang dan akan selalu Kau berikan. Maafkan jika wujud syukurku masih tak seberapa. Semoga Engkau selalu menuntun dan memampukanku untuk menjadi hamba yang tahu terima kasih.
Nah sister, kita penuhi langit malam ini dengan untaian syukur kita kepada Allah, yuk! Kalau kamu, apa saja hal yang paliing disyukuri saat ini? ;)
Yang masih belajar mewujudkan syukur,
Your sister of Deen,
Husna Hanifah
Kamis, 03 September 2020
Ketika Dunia Tidak Berputar Untukku
Tulisan ini adalah tulisan yang saya tulis dalam kulwap (kuliah WhatsApp) untuk Sister of Deen pada 12 Mei 2020 lalu, di malam ke-20 Ramadhan, 1441 H. Sepenggal cerita kehidupan yang semoga bisa diambil hikmahnya.
***
APA TITIK TERENDAH SAYA?
Sebenarnya, jika saya flashback perjalanan hidup saya bertahun-tahun ke belakang, saya sering kesulitan menjawab jika ada orang yang bertanya tentang titik terendah saya. Seingat saya, saya belum pernah mengalami ujian hidup yang ekstrim yang membuat saya stress berkepanjangan. Masalah hidup tentu saja ada, tapi jika saya mendengar pengalaman hidup orang lain, rasanya masih banyak orang-orang yang ujian hidupnya jauh lebih berat dari saya. Sementara untuk saya, rasanya banyak mudahnya dibanding sulitnya. Apakah menyenangkan? Sejujurnya iya, tapi tidak otomatis membuat hidup saya terasa "penuh". Kok bisa? Nanti saya ceritakan.
Walaupun begitu, saya pernah mengalami
pahitnya ditampar oleh realita ketika saya menyimpan ekspektasi yang terlalu
tinggi. Seperti ketika saya berekspektasi pada suami saya di awal menikah dulu,
ketika saya mempercayakan sebuah tugas penting kepada orang lain dan berpikir
bahwa hasilnya akan sempurna jika ia yang mengerjakannya, ketika saya
menceritakan impian saya namun tidak diterima, dan seterusnya. Melelahkan
sekali menjalani hidup dengan bergantung pada ekpektasi. Tanpa sadar, saya jadi
sering mengeluh, susah bersyukur dan lebih mudah marah, membuat saya jadi lebih
sulit bahagia.
BERDAMAI DENGAN EKSPEKTASI
Perlu beberapa kali Allah memberi "tamparan" itu sampai akhirnya saya menyadari bahwa apa yang ada di luar diri saya adalah di luar kendali saya. Tidak semua orang harus sempurna dan tidak semua keadaan harus selalu terkendali. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan adalah pikiran, perasaan, dan tindakan kita ketika menghadapi itu semua. Apakah mau menuntut keadaan terus-menerus atau menjadi yang menerima dan memperbaiki diri lebih dulu?
Sejak saya sadar bahwa rumus berdamai dengan
keadaan pertama-tama adalah menerima, ini yang kemudian saya latih terus
menerus ketika saya bertemu realita yang tak sesuai harapan. Awalnya sulit
tentu saja, sebab hati ini sudah terlalu terbiasa untuk berkeluh kesah.
Untungnya, hati kita tidak bisa melakukan 2 hal
dalam satu waktu. Jika saya mendapati diri saya mengeluh, saya langsung
menepisnya dengan syukur. Daripada mencari banyak hal untuk dikeluhkan, saya
paksa diri saya untuk menemukan hal-hal yang bisa disyukuri. Alhamdulillah,
atas pertolongan Allah pula, kebiasaan mengeluh itu kini sudah berkurang
banyak.
Kita mungkin tidak bisa menghentikan masalah
yang datang, tapi kita bisa mengontrol energi kita, apakah energi tersebut mau
kita fokuskan untuk mengeluh, atau mau kita gunakan untuk berikhtiar dan merapal
syukur? Keduanya sama-sama membutuhkan energi, tinggal kita memilih, mau fokus
pada yang mana?
PERJUANGAN SABAR YANG TAK MUDAH
Saya juga pernah mengalami ketika ikhtiar
yang saya lakukan terasa begitu jauuh garis finishnya hingga menguras energi dan
emosi saya. Seperti ketika saya menyelesaikan skripsi saya beberapa tahun lalu,
membuat saya harus menahan malu karena baru lulus di semester ke-11, menyisakan
beberapa kenangan buruk yang sejujurnya tidak ingin saya ingat lagi.
Ada pula beberapa ikhtiar kebaikan yang terkadang membuat saya berkali-kali ingin menyerah, membuat bimbang antara apakah saya perlu untuk tetap maju dan bertahan, atau memilih tidak peduli dan menghentikan perjuangan. Salah satunya, ketika datang masa-masa dimana saya mulai merasa "lelah" saat berikhtiar memiliki keturunan. Sebenarnya ini jarang terjadi, tapi terkadang menyisakan tanya didalam hati, "harus menunggu berapa lama lagi?"
Atau ketika saya diamanahi melakukan sebuah
project kebaikan. Nyatanya, mengupayakan kebaikan tidak selalu lancar dan
disambut baik oleh orang lain. Jika sedang di puncak lelah, rasanya ingin
menjadi orang yang juga melepas kepedulian dan menghentikannya. Tapi saya tahu
ini pikiran yang salah, lalu saya beristighfar dan mencoba bangkit sekali lagi.
Memang, ketika kita mengupayakan sesuatu, ada
saat-saat dimana kesabaran kita benar-benar diuji. Ketika menghadapi situasi
seperti ini, jika saya hanya fokus kepada hasil, yang ada hanyalah frustasi dan
kecewa. Setelah jatuh berkali-kali, akhirnya saya menemukan formulanya, bahwa
bersabar adalah tentang menjalani proses, bukan menunggu hasil. Fokus kita
adalah pada proses ikhtiarnya. Selama niat kita benar karena Allah dan
bertujuan dalam rangka ibadah kepada Allah, tidak ada alasan untuk berhenti
dari medan perjuangan. Hasil itu urusan Allah, maka tawakkal adalah kunci agar
hati kita terselamatkan dari rasa kecewa.
TERNYATA, BERSYUKUR PUN TAK SEMUDAH ITU
Seperti yang tadi saya ceritakan di awal,
dibanding ujian kesabaran, berbagai nikmat dan kemudahan hidup ternyata lebih
membuat saya gelisah dan lebih nyata tantangannya untuk saya. Menerima banyak
kebaikan dari Allah dan merasakan kasih sayang-Nya yang tiada henti, membuat
saya merasa "berhutang" kepada Allah. Saya jadi berpikir, apa
kiranya yang bisa saya lakukan untuk membalas semua kebaikan Allah ini? Apa
yang bisa saya persembahkan sebagai wujud terima kasih kepada-Nya?
Bagi saya ini jauh lebih sulit karena kenyamanan hidup seringkali membuat saya terlena menikmatinya, membuat saya hanya memikirkan diri sendiri tanpa tahu bahwa banyak orang lain yang perlu dibantu. Sebab kita ini diamanahi Allah bukan hanya untuk menjaga hubungan kita dengan Allah, tapi juga menjalin silaturahim dengan sesama manusia. Tak cukup hanya taat, kita juga harus jadi bermanfaat.
APAPUN JALANNYA, BERJUANG ADALAH PILIHAN
Dari perjalanan hidup saya itu, saya mendapat
kesimpulan bahwa selain bersabar, ternyata ada perjuangan yang juga sama
beratnya, yaitu: mewujudkan syukur. Syukur terhadap apa saja! Terhadap harta
kita, keluarga kita, kesehatan kita, waktu kita, bahkan terhadap hidayah Allah
untuk kita.
Karena itu saya berusaha sekuat mungkin untuk mengupayakan istiqomah, sebab itulah hal terbaik yang bisa saya berikan kepada Allah atas nikmat iman, nikmat islam, nikmat ibadah, dan nikmat ukhuwah. Karena itu saya memaksa diri saya untuk terus melakukan project-project kebaikan; dengan menulis, dengan berbagi ilmu, dengan mengasuh komunitas, dengan program sosial, dengan apa saja yang membuat kebaikan itu jadi berantai-rantai dan membuat saya bisa meneruskan kasih sayang Allah yang rasakan kepada orang lain. :”)
Ternyata.. mau bersabar ataupun bersyukur, sama-sama tidak ada yang mudah. Keduanya sama-sama meminta perjuangan dan pengorbanan kita, serta kebergantungan kita kepada-Nya. Pada akhirnya, tugas kita adalah menjalani kehidupan ini dengan sebaik-sebaiknya sesuai dengan ketentuan-Nya dan kembali pulang kepada Allah dengan membawa buah dari perjuangan sabar dan syukur yang kita jalani selama di dunia.
Sekian. Wallahu’alam bisshawab..
Senin, 31 Agustus 2020
Monday Love Letter #98: Rasanya Baru Kemarin
Monday Love Letter #96: Menjadi Diri yang Merdeka
Monday Love Letter #94: Akankah Berakhir Sia-Sia?
Monday Love Letter #92: Aku Ingin Pulang dengan Selamat
Senin, 06 Juli 2020
Monday Love Letter Special Edition: Untukmu yang Baru Saja Menggenap
Your sister,
Husna Hanifah