Senin, 06 April 2020

Monday Love Letter #75: Mewaspadai Kesombongan

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, sister!

Saya senang sekali bisa menyapamu kembali lewat surat ini. Kabarmu, apakah baik-baik saja, sister? Suasana hatimu, sedang cerah atau mendung? Keadaan jiwamu, apakah terasa hampa, ringan, atau berat? Isi pikiranmu, terasa kosong atau terlalu penuh? Isi hatimu, apakah ia tenang, gelisah, atau banyak mengeluh? Semoga kabarmu baik ya, dear.. Jikapun sedang tidak baik-baik saja, tak apa, hal-hal yang membuat nafasmu menjadi berat, dadamu terasa sakit, dan membuat kepalamu serasa mau pecah itu lebih baik kita terima saja lebih dulu. Agar kita bisa mencari bagian mana yang salah dan mulai memperbaikinya. Bukankah begitu? :)

Seseorang bercerita padaku tentang ia yang tak juga merasakan gelora semangat untuk menghadapi Ramadhan. Ini membuatnya gelisah dan bertanya-tanya, mengapa seiring dengan Ramadhan yang semakin dekat, ia tak juga mendapatkan energi untuk menyambutnya? Seseorang yang lain mengeluhkan tentang dirinya yang seperti sedang kehilangan koneksi dengan Tuhannya, entah sudah berapa lama ia tidak lagi merasakan nikmatnya beribadah, padahal ritual ibadah tak pernah absen ia lakukan. Ada pula yang merasa kecewa pada dirinya sendiri, sebab ia tak bisa melawan dirinya sendiri yang terus saja melakukan hal-hal yang ia tahu betul, Tuhannya tidak menyukai perbuatan itu. Namun apa daya, dorongan dan kecenderungan kepada duniawi begitu keras menariknya, mengalahkan ajakan-ajakan kebaikan dari hatinya yang berkata jangan.

Saya akui, hal-hal seperti itu juga beberapa kali menghampiri saya dalam setahun. Kualitas ibadah yang berkurang, hati yang gelisah dan mudah marah, pikiran yang terlalu sibuk memikirkan urusan duniawi, terlalu overthinking beserta gangguan sulit tidur, dan semacamnya. Rasanya sungguh tidak nyaman sama sekali. Seperti kehilangan diri sendiri, seperti merindukan sesuatu yang tak tahu apa. Tapi bersyukurlah orang-orang yang cukup peka untuk merasakan hal-hal yang tidak beres pada dirinya. Sebab, menyadari "ketidakberesan" adalah hal pertama diperlukan untuk membuat segalanya kembali normal, kembali hidup, kembali bersemangat, dan tentunya, kembali kepada jalan yang benar.

"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." 
(QS. Adh-Dhuha: 7)

Merasa bingung, merasa gelisah, merasa ada yang salah pada diri, insya Allah adalah awal dari hadirnya petunjuk-Nya asalkan kita terus mencari dan membuka hati untuk menerima hikmah dan jawaban dari-Nya. Mungkin kita sudah terlalu lama hidup dengan cara kita sendiri dan mengabaikan rambu-rambu yang Allah tetapkan. Mungkin kita sudah terlalu sering merasa percaya diri dengan segala kelebihan dan sumber daya yang kita punya bahwa kita pasti tidak akan pernah merasa kekurangan dan akan selalu merasa bahagia dalam hidup. Mungkin kita merasa sudah cukup baik dalam beramal sehingga tanpa sadar amalan-amalan itu menjadi sebatas rutinitas yang kehilangan 'nyawa' ketika dilakukan.

Sebetulnya jika kita telaah lagi, akar dari berbelok atau tersesatnya hidup kita adalah karena kita ini tanpa sadar sombong terhadap Allah. Dan sombong bukanlah perkara kita sok pamer, sok kaya, atau sok-sokan lainnya. Sombong adalah merasa bisa tanpa Allah, merasa segala hal baik yang terjadi adalah karena diri, karena keberuntungan, bukan karena Allah. Merasa bahwa khusyuknya kita dalam beribadah adalah karena hebatnya kita dalam mengatur waktu dan mengatur fokus, bukan karena pertolongan Allah. Lebih jauhnya lagi, sombong adalah meniadakan kehadiran Allah. Dan ini sangat mungkin dilakukan oleh orang yang percaya dan iman kepada Allah. Seperti halnya syetan, fir'aun, abu jahal, yang percaya adanya Allah namun merasa lebih baik, merasa dirinya tuhan, merasa percaya diri dengan cara hidup yang dijalaninya. Mereka dilaknat Allah karena tidak menempatkan diri pada tempat yang seharusnya, yaitu sebagai hambanya Allah.

Bagi saya, menyadari bahwa diri ini adalah hambanya Allah, adalah PR seumur hidup. Kita harus bisa memaksa diri kita untuk tunduk serendah-rendahnya di hadapan Allah, kita harus selalu memaksa diri ini untuk selalu ingat bahwa kita ini lemah dan hina jika hidup tanpa-Nya. Maka kiblat kita haruslah Dia, cara kita hidup, cara kita memandang hidup, haruslah berkiblat pada-Nya. Bukan mengandalkan katanya si X, si Y, si Z, apalagi mengandalkan prasangka kita sendiri. Semua harus katanya Allah itu seperti apa. Sebab hari ini, sudah terlalu banyak opini yang bertaburan yang katanya mengajarkan tentang bagaimana caranya hidup. Tapi sudahkah kita serius mempelajari sesuatu yang jelas-jelas disebut sebagai petunjuk oleh Pencipta kita, yang tidak ada keraguan di dalamnya; Al-Qur'an.

Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat sombong, dan menghantarkan kita pada lingkungan dan orang-orang sholeh yang senantiasa mengingatkan kita tentang hakikat hidup yang sebenarnya, mengingatkan kita pada kebenaran, dan membantu kita bersabar dalam taat dan istiqomah di jalan-Nya. Aamiin.

Your sister of Deen,
Husna Hanifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar